Chereads / Billeca / Chapter 1 - Air Mata yang Kering

Billeca

🇮🇩WineAndesta
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Air Mata yang Kering

~POV Eca~

"Makan semua gaji sampah busukmu itu!!!" teriakan yang kesekian kalinya untuk pagi ini kembali terdengar dari mulut perempuan yang etah masih layak kupanggil ibu.

"Anjing kau! Keluar sana pelacur!!!" suara balasan dari suaminya, mungkin dia adalah ayahku, rasanya aku ingin saja pura-pura tak mengenali mereka.

Hempasan pintu bersahutan dengan dentuman gelas-gelas yang berderai. Aku mengambil tas dan berjalan santai menuju ruang tamu, mengambil sepatu sekolahku di rak paling atas.

"Anak setan!!! Sini kau!!! Mana makanannya?!" sebuah gelas kaca mendarat tepat di kepalaku.

Aku tak bergeming, kurapikan baju dan segera bangkit menuju pintu keluar sambil menyeka darah yang mengalir ke keningku.

***

Lonceng berbunyi dengan sangat berisik, pagar telah tertutup, aku berdiri di depan sekolah dalam diam.

***

Sebuah rol kayu panjang terdengar seperti ketukan berirama, memukul telapak tangan orang-orang yang berada di depanku, saatnya aku yang akan ditemuinya.

Lima, sepuluh, dua puluh. Pukulan pun berhenti, oh.. hanya segitu? Kenapa tidak sakit?

***

PR Bahasa Indonesia?

Aku tak tahu jika ada PR, kulirik sekeliling orang-orang sibuk membawa buku PR-nya ke depan kelas, aku harus bagaimana?

Aku harus bagaimana?

Aku harus bagaimana?

Aku harus bagaimana?

Suara sepatu berdentum semakin dekat.

"Mana PR kamu?" aku mendongak pada asal suara.

"kenapa diam saja? kamu selalu tidak membuat PR Bahasa Indonesia! Kamu satu-satunya anak perempuan yang paling malas di kelas ini! selalu bermasalah dan nilai juga rendah, mau jadi apa kamu, hah?" bentakan demi bentakan terus mengarah padaku.

"jawab!!!" teriakan itu menggetarkan jantungku seketika.

Apa yang harus kujawab?

Apa yang harus kujawab?

Apa yang harus kujawab?

"kamu bodoh atau tuli sih? Hah! Sudah cukup! muak saya dengan tingkah kamu, sekarang pergi keluar!" sorot mata tajam melayang padaku.

Keluar?

Aku diusir?

Kenapa?

Apa aku tak layak berada di kelas ini lagi?

Kulihat sekeliling, tatapan tajam ternyata berseliweran di sekitarku.

Aku berdiri dan berjalan ke luar.

Aku harus kemana?

Aku tak tahu!

Aku terus berjalan menyusuri koridor sekolah yang sepi.

Terus melangkahkan kaki ke depan.

Mengapa aku di sini?

Untuk siapa aku di sini?

Apa yang kucari di sini?

Langit mendung tampak kosong dan bingung.

Aku tak diinginkan di sini.

Aku tak diinginkan di rumah.

Aku tak diinginkan oleh siapapun.

Lalu mengapa aku hidup?

Jika hanya untuk diperlakukan seperti ini.

Apakah aku sedih?

Tidak!

Air mataku tak mengalir.

Sudah lama tak mengalir lagi.

Itu berarti aku sudah tak sedih.

Benar kan?

Apakah kematian itu damai?

Tanpa teriakan, tanpa pukulan, tanpa penyiksaan?

Aku menatap lurus lapangan basket yang berada cukup jauh dari tempat ku berdiri, aku cukup tinggi di sini.

Dunia ini tak menginginkanku, aku pun tak akan berharap untuk terus di sini.

Selamat tinggal kehidupan yang menyakitkan.

***

"Bodoh!"

Sebuah suara terdengar sangat dekat.

Tanganku, tanganku sepertinya tersangkut, aku segera membuka mata.

"Dasar bodoh! Menukar masa depan dengan kematian!" tanganku terasa ditarik dengan kuat.

Aku kembali ke atas, tempat di mana aku berdiri tadi.

Ada seseorang di sana, siapa dia?

"Lo bisa mengubah masa depan, bukan kematian jawabannya," sosok yang ternyata laki-laki itu menarik tanganku, menjauh dari bibir gedung.

Dia terus menyeretku entah kemana.

Apa yang kulakukan?

Mengapa aku mengikutinya seperti ini?

Tunggu dulu, siapa dia?

Eca!

Sadar Eca!

Sadar!!!

***

Apa yang terjadi?

Siapa laki-laki ini?

Aku segera menghentakkan tanganku dan menghentikan langkahku dengan paksa.

"Lo siapa? Ngapain lo tarik tangan gue?" tanyaku heran.

"Oh, lo udah sadar, oke, pergi sana! Kembali ke kelas lo!" bentak laki-laki itu dengan kasar.

"Ngapain lo bentak-bentak gue?" aku menantang matanya.

Dia tak menjawab, dan segera membalikkan tubuhnya, berlalu meninggalkanku.

Aku hanya bisa melihat punggungnya dengan bingung.

***

Apa yang terjadi padaku tadi?

Pena kuketuk-ketukkan di atas buku sambil terus berpikir. Saking kerasnya aku pun tak mendengarkan apapun yang dikatakan guru yang sejak tadi mondar-mandir di depan kelas itu.

Argh...!!!

Aku kehilangan ingatanku.

Apakah pecahan gelas tadi pagi ada yang menancap di otakku?

Sehingga aku tak bisa berpikir begini?

***

Lonceng berbunyi, tandanya untuk pulang.

Pulang? Ah... bisakah aku tidak perlu pulang? Bisakah aku tetap di sini? toh besok aku harus kembali ke sini.

Semua orang menuju pagar depan, menyusuri jalan pulang mereka.

Aku melihat jalanan, memandangi angkot yang hilir mudik.

Satu, dua, tiga...

Angkot merah yang menuju rumahku telah lewat berkali-kali, tapi aku tak bergeming.

Aku tak ingin pulang!

Tapi aku tak punya tujuan lain. Aku... aku....

Aku tak tahu harus bagaimana sekarang.

Kakiku melangkah dengan berat menjauhi area sekolah sedikit demi sedikit, tak tahu kemana.

Sengatan mentari terasa menusuk-nusuk kepalaku, langkahku gontai, kian lama terasa semakin lemah tak berdaya, aku tak sanggup lagi, lututku menggigil.

Mobil-mobil berhenti sambil mengeluarkan asap yang menyesakkan dada. Lampu merah di perempatan ini selalu lama, dan aku terjebak di sini, duduk di pinggir trotoar yang berdebu.

Mobil hitam mengkilat berhenti di depanku dengan halus, aku mendongak kepada mobil itu, entah untuk apa.

Sekilas terlihat sosok bayangan dari dalam mobil itu, postur tubuh yang sepertinya kukenali. Oh, laki-laki itu!!!

Mobil hitam itu terus melaju, dan meninggalkanku dengan cepat.

Sambaran keras menghantam ingatanku seketika. Itu dia!!! Aku ingat siapa laki-laki itu!

Dia adalah orang yang menarik tanganku, saat itu aku harusnya telah jatuh dari lantai tiga gedung sekolahku. Sebentar, ada yang aneh!

Saat itu aku sangat yakin hanya ada aku sendiri di atas sana, atau aku tak menyadari keberadaannya saja?

Oke, oke...

Dia telah menyelamatkanku, tapi aku tak menginginkan itu!

Dasar bodoh!

Harusnya dia tidak melakukan itu!

Dia pikir dia pahlawan? Badan kurus kering dan pucat seperti itu tidak usah bermimpi menjadi superhero khayalan.

Gambar demi gambar kembali melintas di pikiranku dengan cepat dan berulang-ulang.

Aku ingat, dia mengangkat tanganku, iya... dia menariknya, tangannya menarik tubuhku tanpa bantuan apapun. Astaga!!!

Bagaimana dia bisa melakukannya?

Coba kuingat-ingat lagi!

Kepala terasa panas dan berdenyut kuat seketika.

Benar! Itu benar!

Memang seperti itu!

Ini mustahil!