Tak ada yang salah dengan kejadian-kejadian sepanjang akhir pekan ini selain kebetulan demi kebetulan yang terjadi. Dimulai dengan pertemuan dengan sales tissue di klinik, lalu pertemuan tak sengaja di depan jendela Mang Ujang, cerita tentang cappuccino, pagi ini berlanjut hingga Kereta Pakuan.
Tapi kenapa benakku sampai berputar-putar pada Kereta Pakuan? Ada apakah dibalik kisah Si Tukang Tissue dengan cappuccino dan Kereta Pakuan? Entahlah, pasti ada sesuatu dibalik semua ini, dibalik kisah Kereta Pakuan ini. Benar kata banyak orang, segala sesuatu yang tidak jelas, tidak tuntas dan menggantung akan menyisakan tanda tanya besar. Begitu juga dengan semua yang terjadi saat ini.
"Jangan-jangan, ini trik Si Tukang Tissue. Dasar sales… modus kali ya?" pikirku.
Keheningan terpecah oleh deru KRL yang masuk stasiun. Tak banyak yang turun maupun naik. Sisanya lengang. Tak berapa lama, kereta segera bergerak menuju Bogor. Lalu hening lagi. Sampai lima belas menit berselang, tak begitu banyak orang berlalu-lalang, kereta juga belum lagi datang.
"Aduh… kenapa jadi mikirin kereta gini? Semalem cappuccino, lha ni sekarang Kereta Pakuan. Jangan-jangan nanti sore jadi membahas soal senja!" kecamuk benakku.
Segera kuakhiri lamunan ketidakmengertianku. Kasihan sungguh Tasya yang seolah jadi patung sejak tadi.
"Gimana, Tas, masih lama keretanya?"
"Tuh kan, tau gitu tadi naik KRL yang barusan lewat. Bentar lagi kita pasti udah sampai Cilebut."
"Cilebut apaan, Tas?"
"Stasiun Cilebut, itu stasiun terakhir sebelum masuk ke Stasiun Bogor. Coba naik KRL yang tadi, kaga sampai lima menit juga, kita udah sampai Bogor."
"Iya-iya… Maaf, orang ngga tau juga. Kamu sih, Tas, ngasi info juga setengah-setengah."
"Hehehe… tapi jadi penasaran, kan? Sekarang jadi tahu soal kereta juga, kan?"
"Hihi… iya, anyway, kamu sering naik kereta juga, Tas?"
"Sesekali sih, tapi lebih sering ke Kota. Jarang kalo ke arah Bogor."
"Emang asyiknya dimana? Berdesak-desakan, berjubel atau jangan-jangan sengaja naik kereta karena Tasya suka ama yang desak-desakan ya?"
"Iya kali… ya kaga lah!"
"Hihi… Tasya sering naik KRL ya? Ato Kereta Pakuan?"
"Enggak juga. Gara-gara itu tuh, Si Axl, jadi keseringan naik kereta deh sekarang. Apalagi kalo disuruh belanja ke Mangga Dua."
"Siapa Si Axl, Tas?" tanyaku kali ini penasaran.
"Axl… Si Tukang Tissue!" jawab Tasya santai.
"Si Tukang Tissue?" aku terkejut.
"Iya, Tukang Tissue yang ngirim ke klinik kemarin."
"Oh… jadi namanya Axl?" mulutku kehabisan kata-kata demi mendengar penuturan Tasya.
"Orang-orang memanggilnya Axl, ya Tasya ikutan aja."
"Hihi… Emang Si Axl bilang apaan kemarin sampai-sampai Tasya kehasut ikutan naik kereta?"
"Hehe… ada deh."
Aduh… Kenapa jadi ingin tahu begini? Untung saja Tasya tak menyadari keingintahuanku.
"Beneran, Tas, bilang apaan?"
"Koq… jadi kepo gitu, jangan-jangan kemarin juga didongengin ama Si Axl ya? Hayooo… ngapain aja berduaan di gudang kemarin?"
"Kemarin? Oh, kemarin cuma bantu beresin kardus yang berantakan. Malu kali, kalo inget kejadian kemarin, maksudnya pengin nebus kesalahan dengan membantu, eh, malah salah semua. Kirain cuma dirapiin gitu aja, ternyata ada posisinya sendiri-sendiri. Baru tau kemarin. Kasian tuh, sampai kerja dua kali."
"Tapi asyik kan berduaan di gudang? Tuh, kan, pipinya sampai jadi pink?"
"Apaan sih? Ngaco kamu, Tas!"
"Tapi asyik kan orangnya? Kalo udah kenal nih ya, rame deh pokoknya. Ada aja ceritanya, keren!"
"Keren apaan? Dekil juga?"
"Mmmm… belum tau sih. Tau kaga kenapa dekil?"
"Kenapa emang?"
"Itu karena baru pulang dari luar kota. Biasanya nih ya, kalo cambang ama bewoknya dicukur abis, trus rambutnya kaga diiket, uih… keren pisan, dah kayak Axl Rose."
"Axl Rose siapa lagi, Tas?"
"William Axl Rose, vokalisnya GnR. Makanya, orang-orang memanggilnya Axl… hihi… Udah yuk, keretanya datang tuh!"
Kereta mulai berjalan perlahan. Sejujurnya, benakku masih menyisakan banyak tanya tanpa dapat kutemukan satupun jawaban. Kuperhatikan dan kuperhatikan lagi sekeliling tempat dudukku. Bahkan sampai kuperhatikan lantai hingga langit-langit gerbong. Lalu kulihat juga pemandangan di luar jendela. Tak ada yang istimewa. Kereta terus meluncur, membawa kami melewati Stasiun Depok Lama, kemudian Stasiun Citayam, disusul Stasiun Bojong Gede, Stasiun Cilebut, lalu sampailah kami di stasiun terakhir, Stasiun Bogor.
"Bener juga, Tas, cepet naik kereta, untung ngga bawa mobil tadi."
"Hihi… Sebenernya nih, ya, ini barulah kali kedua Tasya naik kereta ke arah Bogor, makanya kemarin sempat nanya-nanya ama Si Axl, kan rumahnya di Bogor!"
"Aduh Tasya… ini apaan sih? Sepertinya semesta raya sedang menyudutkan diriku dengan semua ini deh!" protesku dalam hati.
Jarum jam tepat merujuk pada angka dua belas. Itu artinya sudah tengah hari, perut harus segera diisi. Tapi dimana? Kami berdua buta sama sekali soal kuliner di Kota Hujan ini. Setelah beberapa saat, akhirnya kami putuskan untuk meninggalkan Kebun Raya beserta pemandangan rusa-rusa totolnya dan mencari tempat makan di luar.
Sesampainya di luar, lagi-lagi kami kebingungan mencari tempat sekedar untuk makan. Gerbang keluar ini langsung berhadapan dengan pasar. Kemana kami harus mencari tempat makan? Belum lagi ditambah angkot-angkot yang berlalu-lalang. Sebagian lagi parkir sembarangan di tepi jalan. Semrawut, acak-acakan, tak teratur dan kumuh.
Belum juga kebingungan kami sampai pada ujungnya, telepon seluler Tasya berderit.
"Hallo, selamat siang?" sayup-sayup kudengar suara dari balik ponsel Tasya.
"Siang… eh, kebetulan nih." sahut Tasya kegirangan.
"Maaf, Mbak, hari ini klinik tutup jam berapa ya?"
"Klinik libur, Mas, mau mengirim tambahan orderan ya?"
"Iya, Mbak. Padahal saya mau kesana, terus gimana ini? Kemarin pesannya harus segera dikirim, kalau bisa sebelum hari Senin."
"Bentar-bentar, Mas. Ini saya lagi di Bogor. Kebetulan nih, mau sekalian tanya…"
"Ini posisi dimana sekarang?"
"Pintu keluar Kebun Raya, di depan pasar…"
"Tunggu lima menit. Jangan kemana-mana. Disitu aja. Saya segera meluncur!" potong suara dari balik ponsel itu kemudian langsung ditutup.
"Ini saya mau… ya ditutup… gimana ini?" suara Tasya semakin menambah kebingungan.
"Apanya yang gimana, Tas? Siapa yang telepon?"
"Axl… Si Tukang Tissue!"
"Haaa… Si Tukang Tissue?" kali ini aku benar-benar terkejut. "Eh, ngapain juga Si Axl itu telpon?"
"Itu dia, rencana tadi emang baru mau Tasya hubungi. Kan rumahnya di Bogor tuh, pasti tahu kan, tempat makan yang oke… hehehe… Eh, malah sudah nelpon duluan."
"Cerdas juga kamu, Tas. Tapi koq malah ditutup?"
"Enggak tau! Tadi cuma bilang, jangan kemana-mana, tunggu disini aja, terus ditutup deh telponnya."
Belum juga kalimat Tasya selesai, seorang lelaki dengan rambut panjang tergerai muncul dari belakang sambil menepuk bahu kami berdua. Untuk sesaat aku sempat kebingungan, siapa juga orang ini? Setelah rambutnya diikat, aku baru sadar kalau lelaki ini adalah Axl, Si Tukang Tissue.
"Hai…" kejutnya.
"Eh, hai…" sahutku spontan. "Tumben rambutnya tadi digerai? Loh koq, dicukur cambang ama bewoknya?"
"Hihi… biasanya juga begini, kemarin baru pulang dari Sukabumi, belum sempat cukur. Trus hari ini juga tidak ada agenda angkat-junjung, cuma ambil tagihan doang. Ini ada acara apa koq pada jalan-jalan ke Bogor? Kegerahan ya di Jakarta?" selorohnya sambil membetulkan ikatan rambutnya.
"Kebetulan sekali nih, baru aja mau telepon tadi." sahut Tasya.
"Berarti kita berjodoh… hihi… Gimana nih tambahan orderannya? Rencana mau saya kirim hari ini."
"Udah, tar aja, gampang soal itu. Sekarang yang penting-penting dulu aja!" potong Tasya.
"Ini juga penting, Neng Tasya…"
"Ini lebih penting. Laper nih, bingung mau makan dimana?" sahut Tasya sambil menepuk perutnya.
"Hehe… itu mah gampang. Ya udah, kita makan dulu aja yuk. Masih kuat jalan kan? Deket koq, tuh di sebrang jalan." tunjuk lelaki itu ke arah sebrang jalan.
"Mana? Kaga ada apa-apa juga?" protes Tasya.
"Udah, ikut aja, yuk!" ajaknya.
Sejujurnya aku masih agak kebingungan sekedar untuk memahami kejadian demi kejadian yang kami alami, ditambah lagi dengan kejutan sosok seorang Tukang Tissue yang seolah tiba-tiba berubah menjadi Axl.
Tapi benar sekali kata Tasya, Axl memang cukup keren dengan penampilan seperti ini. Masih mengenakaan celana pendek tiga perempat tanpa seragam, selain kaos dengan kemeja flannel yang digulung lengannya serta tak dikancingkan. Tadi juga sempat kulihat rambut tipisnya dibiarkan tergerai tertiup angin. Keren juga jika tidak dikuncir. Hidungnya terbilang mancung. Wajahnya begitu bersih, bahkan seperti bersinar tiap kali tersenyum. Baru kusadari pula, lelaki ini selalu tersenyum ketika berbicara. Bahkan jujur senyumannya terlihat begitu manis tiap kali kami bersitatap.
Kami berdua berjalan mengikuti langkahnya. Di pertigaan besar, lamunanku dikejutkan ketika tiba-tiba Axl menggandeng tanganku. Sedikit ditariknya lenganku untuk mengikutinya menyebrang jalan.
Sumpah deh, semrawut benar angkot-angkot di jalan ini. Untung saja Axl menyibak kesemrawutan hingga kami diberi jalan untuk menyebrang. Sesampainya di sebrang jalan, aku masih kebingungan, mau diajak kemana lagi kami berdua? Kulihat Tasya cuma cengar-cengir sambil telunjuknya diarahkan ke tanganku.
"Apaan sih, Tas?" bisikku membalas kodenya.
"Oh, maaf-maaf, kalau tidak dihadang seperti ini, tidak bakalan dikasih jalan sekedar buat nyebrang." tutur lelaki itu sambil melepaskan genggaman tangannya, aku hanya bisa tersenyum mengiyakan.
"Yee… kenapa juga cuma Bu Dokter yang digandeng? Tasya juga mau dong?" rengek Tasya.
"Apaan sih, Tas? Sekarang kita mau kemana? Laper nih!" protesku.
"Tenang… yuk… jalan dikit lagi ya?" ajaknya.
Berdua kami sempat saling tengok, mencari-cari tempat makan yang dimaksud lelaki tadi. Akhirnya kami hanya bisa pasrah dan mengikuti di belakangnya. Rupanya kami diajak menuju gang kecil yang menurun agak curam.
"Awas, hati-hati, udah deket koq… tuh di sebelah sana." tutur lelaki itu sambil menunjuk ke arah salah satu kedai di kiri jalan setelah turunan curam tadi.
"Akhirnya… kita ketemu tempat yang tenang dan bisa makan. Untung ada orang Bogor disini. Makasih yaaa…" kali ini Tasya tampak kegirangan.
"Sama-sama. Silahkan pesan makanan, saya permisi ambil motor dulu. Tadi masih saya parkir di sebelah Tahu Yun Yi."
"Loh… ngga ikut makan sekalian?" tanyaku.
"Udah duluan aja, nanti saya menyusul. Ini cuma mau ngasih nota, sekalian ambil motor. Bentar ya?"
"E-eh… menu yang enak a…"
"Cobain aja karedoknya. Enak banget tuh!" potong Axl sambil berlalu seolah tahu pertanyaanku.
Cerita apalagi kali ini bakal tersaji? Kebingungan demi kebingungan, kejutan demi kejutan, terus saja terjadi sampai saat ini. Cerita tentang cappuccino, senja dan Kereta Pakuan kemarin saja masih menggantung, ini malah ditambah lagi dengan kejutan karedok di tengah himpitan kesemrawutan Kota Bogor. Mau sampai kapan satu demi satu cerita ini akan tuntas?
Dingin, tapi selalu tepat sasaran. Diksi apalagi yang tepat untuk menggambarkan perjumpaan demi perjumpaan dengan sosok lelaki misterius ini? Aku masih tak habis pikir, sementara Tasya hanya cengar-cengir seolah tak peduli dan langsung menyantap karedok di depannya.
"Keren kan Si Axl kalo gitu?"
"Hihi… iya, emang beneran, kayak Axl-nya GnR, Tas?"
"Nih, liat sendiri video klipnya GnR…" Tasya menyodorkan ponselnya.
Penasaran, kulihat dengan cermat video klip dari grup musik rock itu. Benar juga kata Tasya, cuma beda rambut pirang dan tatoonya.
"Eh, beneran, enak karedoknya. Mau nambah kaga? Sekalian Tasya pesanin lagi kalo mau." kejut Tasya.
"Udah, Tas… ini aja belum abis."
"Kemana juga Si Axl tadi? Katanya cuma ambil motor bentar, koq ini sampai mau nambah belum juga nongol batang idungnya? Tasya ke belakang dulu bentar ya, sekalian mau pesan lagi. Beneran ngga nambah nih?"
"Udah sana kalo mau nambah!"
"Tuh dia… yang ditunggu-tunggu datang juga… Loh koq, dari belakang? Mau saya pesankan sekalian?" tutur Tasya bersamaan dengan munculnya Axl dari pintu dapur.
"Terima kasih, tapi saya sudah pesan barusan." sahutnya sambil menarik kursi di depanku.
Untuk sekian detik waktu, tak ada suara selain sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang berisi karedokku. Untuk sekian waktu pula sempat kulihat lelaki itu menyusun ulang beberapa lembar nota di tangannya.
"Udah kelar kirimannya?" kejutku. "Koq, tadi masuknya lewat belakang?"
"Sssttt… tadi lewat jalan tikus… hehe… Tidak ada kiriman koq, cuma ambil tagihan hari ini. Ini juga sudah yang terakhir. Tinggal kirim tambahan order ke klinik kalian."
"Makasih ya, untung tadi ketemu. Rasanya udah nyerah, bingung nyari tempat makan tadi."
"Sama-sama. Kemarin kenapa tidak bilang kalau mau ke Bogor? Kalau bilang kan bisa saya antar kemana-mana."
"Iya… penginnya cuma ke Kebun Raya aja sih. Si Tasya tuh, pengin liat rusa. Katanya belum pernah liat."
"Di Ragunan kan jenisnya malah lebih lengkap?"
"Tadinya saya bilang juga gitu. Eh, Tasya nya yang ngga mau, kejauhan katanya, ke Bogor aja yang deket, gitu dalilnya. Alih-alih mau refreshing, ngga taunya malah ribet soal tempat makan. Untung aja kita ketemu tadi. Sekali lagi makasih ya, buat waktu dan semuanya."
"Sama-sama. Kebetulan juga tadi saya lagi nagih di sebelah, ya sudah, saya tinggal saja dulu. Toh Tahu Yun Yi nggak bakalan kemana-mana… hehe… Sementara kalian? Nada telepon tadi terdengar cukup panik, belum lagi kalau sampai diganggu preman-preman pasar, tak kebayang deh!"
"Emang di pasar tadi banyak premannya ya? Suka malak orang? Gangguin cewek-cewek juga?"
"Iyalah, apalagi Bidadari cantik seperti kalian… hehe…"
Pembicaraan sempat terhenti ketika seorang pelayan mendekat dan menyajikan sepiring karedok dan segelas kopi. Dari aromanya sudah bisa kutebak. Khas, bahkan dalam takaran yang pas, cappuccino lengkap dengan gula setengah sendok dan pasti si pembuat bener-bener mengaduknya sampai 30 kali.
"Makasih, Mang Jajak!" tuturnya sembari mengambil segelas kopi pesanannya.
"Siap, Bos. Silahkan dinikmati." sahut pramusaji itu.
"Koq… kalian akrab? Sodaraan ya?" kali ini kucoba untuk bercanda.
"Ssst… bukannya Mang Jajak masih sepupu dari adik ipar nenekmu?" sahutnya ringan tanpa beban.
"Hahahahaha…" akhirnya kami bisa tertawa lepas.
"Itu pasti cappuccino dengan setengah sendok gula dan diaduk sampai 30 kali kan?" tebakku.
"Koq tahu?" lelaki itu tampak terkejut.
"Kan kemarin bilang seperti itu, bahkan masih berhutang kelanjutannya loh kemarin… hehe…"
"Hihihi… iya ya… nanti deh kelanjutannya."
Suasana sedikit mencair. Berikutnya, candaan lelaki di hadapanku ini mampu membuat kami berdua sampai terbahak dibuatnya. Apalagi cerita tentang tissue gulung yang baru saja dipakai Tasya untuk mengelap mulutnya, perut ini sampai hampir kram akibat tawa dan candaannya.
"Eh, sebenarnya kenapa sih, rambutnya selalu dikuncir? Kan keren kalo digerai kayak tadi?" tanya Tasya.
"Hahahaha… biar tidak buat rebutan gadis-gadis cantik." balasnya begitu santai. "Lagian nih ya, takut aja kalau kalian berdua kalah manis."
"Maksudnya?" tanyaku.
"Hihi… boleh pinjam anting jepitnya bentar?" pintanya.
Segera kulepas salah satu antingku tanpa tahu apa maksudnya. Axl melepas kuncirnya, mengibaskan rambut panjangnya. Kemudian memasang sebuah anting milikku tadi pada daun telinganya. Berikutnya Axl tersenyum.
"Gimana, Dok? Udah manis belum kalau seperti ini?" tanyanya mengejutkan sedikit lamunanku.
Aku benar-benar terkejut. Axl betul-betul terlihat manis dengan salah satu anting di telinganya.
"Yeee… malah nganga… coba Neng Tasya yang menilai deh… kalo dibandingkan ama Bu Dokter seperti ini, manis siapa, Neng?" lanjut Axl.
Kali ini aku benar-benar dibuat terkejut ketika Axl berdiri dan duduk tepat di samping kiriku, serta sedikit mendekatkan wajahnya pada wajahku.
"Sebentar… sebentar… kebalik tuh… masak anting ketemu anting… coba tukeran tempat, biar antingnya di kiri ama kanan telinga kalian." protes Tasya.
Axl menurut dan segera pindah duduk di sisi kananku. Pipinya kembali di dekatkan ke pipiku, bahkan sedikit menempel kali ini. Jujur benakku jadi pink.
"Gimana, Neng Tasya? Cantikan siapa kalo seperti ini?"
"Hahahaha… bentar-bentar…" sahut Tasya.
Tasya mengambil ponselku yang tergeletak di meja. Detik berikutnya, Tasya mengambil foto kami beberapa kali.
"Senyum dong, Dok… jangan tegang… kayak Axl tuh… pake gaya dikit lebih baik." lagi-lagi Tasya memprotesku.
Aku sempat tertawa kecil sebelum kuturuti maunya. Setelah beberapa kali pose, Tasya minta gantian foto bersama Axl. Bahkan Tasya yang kegenitan sambil sengaja menempelkan pipinya pada pipi Axl.
"Hihi… gimana hasilnya, Dok? Siapa yang paling manis di antara kita bertiga?" tanya Axl sambil melepas dan mengembalikan antingku.
"Hahaha… beneran deh… kami berdua kalah cantik…" komentar Tasya sambil melihat foto-foto kami.
"Hihihi… sekarang tau kan, kenapa rambut ini selalu kuikat? Capek digodain cowok-cowok!"
"Hahahaha…" tawaku lepas juga pada akhirnya.
Ajaib! Satu lagi diksi yang tepat untuk mendeskripsikan sosok Axl, lelaki penjual tissue di hadapanku saat ini. Tanpa kusadari, aku mulai tersenyum sendiri menyadari kekonyolan demi kekonyolan yang terjadi dua hari ini. Tentang senja, cappuccino hingga Kereta Pakuan yang membawa kami pada pertemuan siang ini.
"Koq, Bu Dokter senyumnya cuma setengah?" kejut lelaki itu.
"Yang setengah buat nanti di pondokan… hahaha…" kucoba menutupi merah benakku.
"Haha… lepasin aja, nanti malah kebayang-bayang terus lho."
"Hihihi… Bisa aja. Anyway, makasih buat semua ya?"
"Sama-sama."
Axl tersenyum begitu lepas. Benar kata Tasya, lelaki ini memang mirip Axl. Ah, sudahlah. Siapapun kamu, sekali lagi terima kasih atas kebersamaan dalam satu hari ini.
…Kalau saja talas yang dijual di Kota Hujan ini
bisa menjelaskan kepadaku perihal senja, cappuccino dan Kereta Pakuan, akan kuborong demi menjawab ketidakmengertianku selama ini,
terutama tentang Axl, lelaki misterius di hadapanku saat ini…