"QUIN!" Aku menghela nafas, rusak sudah ketenanganku di pagi yang cerah—secerah Porsche Carrera milikku—ini. Suara Zea benar-benar seperti toa masjid.
Dia sadar aku terganggu—yang entah untuk keberapa kalinya—oleh suaranya. Tapi, lihatlah betapa bahagianya dia melangkah kearahku dan kedua lelaki dibelakangku dengan senyum lebarnya itu.
Aku bukannya tak jengah setiap dia teriak seperti itu. Karena nyatanya, aku bahkan sudah bosan untuk menunjukkan rasa jengah yang kurasakan padanya.
Ia melangkah dengan melompat lompat kecil dan bersenandung ria. Melihat itu, seketika terlintas ide jahil di otakku ini.
Ku letakkan tanganku di bahunya sedikit keras—saat dia sudah ada di depanku, dan mulai merangkai kata dengan raut serius. "Zea, dengarkan saya. Sebentar lagi saya akan hitung satu sampai tiga dan Anda akan merasa tenang dan rileks hingga Anda melupakan bagaimana caranya mengeluarkan suara dengan keras." Ia terdiam, wajahnya benar benar menunjukkan reaksi seseorang yang terhipnotis oleh kata-kata ku.
Melihat reaksinya itu, aku melanjutkan trik kecil ku ini. Bunyi jentikan jari mengiringi setiap hitunganku, "Satu, Anda akan merasa rileks. Dua, semakin rileks dan semakin rileks. Tiga, Apapun yang terjadi Anda akan melupakan--"
"Apapun yang terjadi Anda akan melupakan ini, dan kembali seperti semula. Satu, dua, dan tiga" Bunyi suara tepukan tangan menutup kalimat yang memotong suaraku barusan. Ah, mengganggu saja.
Zea mengedipkan mata dengan bingung. Ia bertanya kepadaku apa yang terjadi. Dan kujawab dengan alasan yang sejujurnya. "Tadi ada yang mau menghipnotis dirimu, Ze. Tapi gagal. Lupakan saja" Dan Zea mengangguk patuh—mungkin masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
Selang beberapa detik—lebih tepatnya 2,9 detik, Ia kembali berseru kencang—seolah tak ada yang terjadi. "Pagi Quin!! Pagi Kalian!! Aku sudah menunggu kalian sedari tadi. Kau tau Quin, aku orang yang tidak bisa menunggu. Menunggu itu melelahkan." Seruan sedih itu berujung helaan nafas panjang.
Ia merangkul pundak ku dengan senyuman lebar. Baru saja ingin berjalan sambil menyeret ku ikut bersamanya, Ia dipanggil oleh seseorang di depan sana—sepertinya kenalannya di kelas XI IPS 3.
Kau tau, Aku sudah bersamanya selama lebih kurang 7 tahun. Aku tau hampir semua kebiasaan nya. Karena itulah saat ini aku sedang menyumpal kedua telingaku dengan jari ku—menghindari salah satu kebiasaannya yang menjengkelkan. "IYA!! AKU DATANG!!" Lihat kan? Kebiasaannya yang satu ini, tak pernah berubah.
"Quin, segeralah ke kelas, kau tau kan tas milikku? Aku sudah memindahkan bekalku di samping tasku agar tidak ada yang mengambil posisi disebelahku selain dirimu, begitu juga dengan kalian berdua. Aku sudah menandai meja dibelakang meja kami untuk kalian. Sekarang aku harus pergi, maklumlah Zeanta Malik orang super sibuk." Dan ajaibnya dia langsung berlari menjauhi kami setelah mengibaskan rambut panjangnya itu di depan wajahku—salah satu kebiasaannya yang lain. Dasar Zea!
Oh ya, Aku lupa masih ada dua lelaki yang berada dibelakangku menyaksikan interaksi kami berdua. Mengingat itu, reflek aku membalikkan badan dan berhadapan dengan kedua lelaki itu.
Aku hanya menunjukkan ekspresi datar saat berhadapan dengan lelaki yang menggagalkan rencanaku menghipnotis Zea tadi. Kesal ku belum hilang untuk perbuatannya. Dan dia? Cih. Hanya tersenyum sangat lebar sampai membuat matanya menyipit. "Kau menggagalkan rencana ku, Geo. Kau akan mendapat hukuman nanti. Tunggu saja, Quinella Pradipta, tidak akan mudah melupakan kesalahan orang lain."
Kau tau, aku mengucapkan itu dengan nada—Ya ... kau akan merinding jika mendengarnya. Tapi percayalah, setelah aku berbalik ke depan dan membelakangi mereka berdua, kau akan melihat aku yang bersusah payah menahan tawa. Sungguh, wajahnya yang ketakutan itu membuatku ... Argh, kau harus lihat sendiri lain kali.
"Oh ayolah Quin, kau marah padaku? Come on, Babe. Kalau aku tidak menghentikan mu menghipnotis dia, kau tau dia akan benar-benar terhipnotis." Ck, Geo ini! Aku lebih mengenal Zea. Lagipula aku bisa mengembalikan dia seperti semula—jika dia benar benar terhipnotis. Zea itu temanku, aku sayang padanya. Dan aku tau dia hanya--Ah lupakan.
Selama perjalanan ke kelas, Geo masih terus membujukku. Kau tau, aku bahkan tidak marah dengannya. Hanya kesal sedikit. Tapi ku putuskan untuk mengabaikan dia. Dia bahkan berusaha memelukku, mengecup pipiku. Tapi aku tidak akan luluh—untuk akting marahku—secepat ini.
Lelaki yang satunya lagi—di belakangku, hanya tersenyum sedari tadi. Saat aku memandangnya, terlintas ide jahil—lagi—dipikiranku. Dan entah karena dia bisa membaca pikiranku atau bagaimana, Dia memutuskan untuk mewujudkan ide jahilku. Dia menyeringai ke arahku dan berjalan lebih cepat untuk merangkul ku. Aku hampir tertawa saat melihat dia tersenyum sinis kearah Geo—orang yang sedari tadi sedang berusaha meluluhkan hatiku—seperti meremehkan usahanya. Dan kau tau kejadian selanjutnya? Dia mengecup pipiku dan memandang Geo sinis—lagi. Sontak tawa kami berdua pecah menyaksikan wajah Geo yang saat ini sedang menunjukkan ekspresi ingin menangis dengan bibir bawah maju dua centi.
"Kau curang, Quin tidak bereaksi apapun saat aku mengecup pipinya. Kenapa dia malah senang saat kau yang melakukannya?"
Geo mengatakan itu dengan bersungut sungut. Ah, melihatnya begitu aku tidak tega. Ku putuskan untuk merangkulnya dan berbaik hati mengecup pipinya kanan dan kiri. Dan lihat? Ekspresinya itu sungguh menggemaskan. Dia terlihat seperti anak kecil yang baru saja diberi permen satu kotak sebesar kotak lemari es.
Hei kau, iya kau yang sedang membaca ini. Jangan iri ya, mereka berdua milikku. Dan kau tau, wajah mereka berdua adalah wajah ter- ter- ter- rupawan yang pernah aku lihat—sama rupawannya dengan bayanganku di cermin.
Aku tidak berniat menyombongkan mereka. Tapi memang itu lah faktanya.
Selama perjalanan menuju kelas XI MIPA A—tepatnya sepanjang koridor yang kami lewati, aku yakin tak ada satupun dari siswa siswi baru disini yang tidak memperhatikan kami. Mereka memandang sinis, seolah kami baru saja melakukan hal yang salah. Terlebih lagi siswa siswi baru ini. Mereka jelas-jelas warga baru yang bahkan tak tau apapun. Menjengkelkan.
Hari ini adalah hari pertama untuk tahun ajaran baru di SMA Loyal I. Senin yang akan kumulai adalah senin yang sama dengan senin yang kalian pusingkan. Sungguh, aku sama seperti kalian yang tidak menyukai hari Senin.
Sekedar informasi, SMA Loyal I adalah Seri pertama dan yang paling unggul di antara SMA Loyal lain milik keluarga Pradipta. Seri kedua dan ketiga yang masih satu naungan Pradipta adalah SMA Loyal II dan SMA Loyal III. Khusus SMA Loyal I ada kelas istimewa untuk siswa ber IQ cukup tinggi. Kelas siswa siswi ber IQ diatas 140—kelas dengan inisial belakang A yaitu kelasku, XI MIPA A yang berisi 30 orang jenius.
Kelasku ini sebenarnya cenderung lebih diam dibanding kelas-kelas lain di SMA Loyal I. Cukup buang--maksudku tanpa adanya Zea, maka kelas ini akan sangat diam seperti di perpustakaan tanpa suara. Itu berlaku selamanya termasuk hari ini dan saat ini.
Tapi tunggu--
Kenapa pagi-pagi begini sudah seperti ini? Bukan kah Zea sudah kembali ke kelas? Seharusnya suara toa Zea yang menyambut kami kan? Ada apa ini sebenarnya?
Aku melirik ke kanan dan kiriku—menatap dua lelaki yang sedang sama bingungnya denganku saat ini.
Saat sampai didepab pintu—sebelum sempat aku bertanya pada mereka berdua apa yang terjadi, tiga seperempat meter didepan kami, seorang pria paruh baya dengan seragam khas kepala SMA Loyal I—sekaligus pemilik sekolah, memandang kami bertiga datar dan berseru tegas, "Sudah selesai adegan tatap-tatapannya? Masuk sekarang atau perlu Saya seret?" Orang tua—maksudku kepala sekolah ini, kurasa akan cepat tua.
=======
Hai kembali buat yang baca :)
Aku dedikasikan bab ke 2 ini untuk reader pertamaku siapapun dia :)
Makasih buat yang udah mampir :)
See you next time~
Up : Minggu, 13 Desember 2020
Revisi (1) : Senin, 14 Desember 2020