"chika? kamu hari ini ada janji sama arka ya? tadi dia sempat nelpon aku, nanyain kamu" Deg. chika membalikkan badan memfokuskan pandangan pada ani yang kini telah berada dihadapannya dengan ekspresi yang tak bisa chika artikan.
"ohh.. itu... ya?" benar-benar bodoh, chika merasa tingkah nya saat ini sangatlah aneh, bagaimana mungkin ia malah merespon pertanyaan ani seperti itu, chika terus merutuki dirinya. berbeda dengan chika yang terlihat tak tenang, ekspresi ani saat terlihat jauh lebih tenang. tapi entah mengapa pandangannya terasa menusuk tajam membuat chika terus mengalihkan pandangan tak berani menatap balik kedua bola mata ani.
"berhenti aja" lanjut ani. tanpa menutupi wajah kecewaannya ani menepuk pelan bahu chika. chika tak mengerti sama sekali arah pembicaraan ani, yang ia tau saat ini jika melihat dari ekspresi ani jelas ia sedang bersedih
"apa? apa sih maksudmu, bisa di perjelas?"
keduanya hanya terdiam, tak ada satupun yang bersuara atau berusaha untuk menjelaskan maksud dari perkataan ani. hingga akhirnya terdengar suara ana yang memecahkan kesunyian malam itu.
"oh chika, udah pulang ya, gak sholat?" ana berjalan dari arah mushola, nampaknya baru selesai melaksanakan sholat maghrib. Demi menanggapi pertanyaan ani chika hanya mengangguk kecil sembari berjalan menuju kamarnya.
"sebentar" suara ana menghentikan langkah kaki chika yang sudah berada tepat di hadapan pintu kamarnya "kamu ngangguk gitu maksudnya gak mau sholat? atau lagi gak sholat?". chika tersenyum kecil mendengar pertanyaan yang dilemparkan ana "ini aku lagi mau sholat loh, kalau nanya terus keburu habis waktu maghrib"
"oh oke oke... habis sholat mau makan sama-sama?"
"iya..." chika terdiam sejenak sebelum membuka pintu kamarnya. ia tampak sedang berfikir sambil mengerutkan kening, gusar. "tapi ngomong-ngomong, bukannya ini aneh?" ana mengamati chika menunggu kelanjutan dari ucapannya. chika menggaruk ujung alis, kebiasaan yang selalu ia lakukan saat sedang merasa bingung, perlahan telunjuknya mengarah pada ani dan dina "maksudku, mereka kelihatan serius banget, dan lagi tadi ani bilang aku harus berhenti, aku gak ngerti, apa aku buat salah... tapi kamu kelihatannya biasa aja, kalau aku bikin salah bukannya kalian semua harusnya marah? emm.. tapi entah lah, karena aku mau sholat bisa kamu yang tanyakan sama mereka? lagian tadi aku nanya, mereka cuman diam, aku tambah gak ngerti"
ana mengalihkan pandanganya pada kedua orang yang berdiri disampingnya. keduanya menundukkan kepala dengan fokus pandangan tertuju pada lantai keramik dipijakkannya. "bisa kita bicara?" tanya ana pada keduanya saat ia melihat chika yang telah memasuki kamar dan menutup pintunya. tanpa mengeluarkan suara, keduanya berjalan mengikuti ana menuju ke sofa. "apa maksud chika tadi?" suara ana terdengar santai sama halnya dengan sikapnya yang terlihat acuh dan menyibukkan pandangan pada televisi dihadapannya.
"bukannya tadi kamu cerita ke aku kalau arka menghubungimu?"
"ya lalu?" masih dengan sikap acuhnya, ana tak menatap balik ani yang terdengar menggebu-gebu.
"bukannya di telpon arka bilang kalau mereka ada janji, tapi chika malah jalan sama cowok lain"
"jadi... karena dia jalan sama cowok lain, makanya kalian suruh chika berhenti? maksudku... kalian minta chika buat berhenti, berhenti apa?" suara ana sedikit meninggi, jelas sekali ia kelihatan kesal, terlihat dari keningnya yang berkerut dan arah pandangannya kini menatap lurus pada keduanya secara bergantian.
"jangan libatkan aku, aku gak bicara apapun, aku gak tau apapun" dina mengangkat kedua tangannya dengan wajah datar, sembari mundur menarik jarak antara duduknya dengan kedua teman kembarnya itu.
"itu aku! aku yang nyuruh chika buat berhenti. dia... harusnya kalau dia benar-benar suka sama arka, dia gak boleh ingar janji begitu, sama aja kan dia lagi main-main dengar perasaan arka? makanya aku meminta dia untuk berhenti bersikap seperti pecundang"
ana menghembuskan nafas sembari jemarinya menggenggam remote menambah volume televisi, agar chika tak mendengar jelas ucapan ana.
"hhh... aku sepertinya sekarang mengerti apa yang ada dipikiranmu, kamu marah karena chika bersikap seperti mantan mu? bukan chika yang harusnya berhenti, tapi kamu! berhentilah, jangan menganggap chika seperti mantanmu, mereka berbeda, kamu lupa? chika bukan pacar arka, bukan hal yang salah kalau dia jalan dengan orang lain. jangan mencoba melampiaskan kekesalanmu padanya. kita sudahi ini"
"padahal aku adiknya. ck" gerutu ani. ana hanya melirik sekilas dan menggelengkan kepala, heran pada kelakuan ani yang masih juga tak berubah. masih seperti anak kecil.
"apa yang kalian lakukan disini? gak makan?" chika keluar dari kamar, wajahnya sudah lebih segar dari sebelumnya. ia melangkahkan kaki kearah sofa sembari memasang wajah penuh tanya pada ana, saat tanpa sengaja matanya mengamati ani yang tertunduk lesu. ana hanya mengangkat bahu dengan kepala menggeleng pelan.
"kita pesan makan aja yuk" ajak dina, pada ketiganya. ana menangguk merespon ajakan dina, sedangkan ani hanya diam sambil sibuk memainkan ponsel yang ada dalam genggamannya.
"ohh.. boleh juga tuh, pesannya pakai hp mu ya? aku pesan ayam bakar" ujar chika. tangannya merogoh kantong celana mengeluarkan selembar uang 100ribu.
"wah mau traktir kami?" dina bertanya penuh antusias, sambil tersenyum lebar kearah chika.
"enak aja. gak gak beli sendiri sana, krisis nih tinggal selembar" senyum dina seketika memudar mendapati jawaban chika tak sesuai dengan keinginan hatinya.
"aku sama ani samain aja ayam bakar juga"
"aku mau makan sate" kata ani. ia terlihat masih tak bersemangat sama sekali, melihat tingkah ani yang tak juga banyak bicara chika mendekat duduk di samping ana.
"kamu kenapa ni? ada masalah? kayanya lesu banget"
"kamu suka sama arka?" chika kaget mendengar pertanyaan ani. ia menutup rapat kedua bibirnya dan menunduk dengan pandangan mata kosong.
"bukannya sudah ku bilang buat gak usah di bahas lagi?" terdengar suara ana dari samping chika. mendengar dari percakapan mereka sepertinya chika mengerti kalau sebelumnya ani dan ana sudah membahas hal yang serupa seperti ini, itu lah mengapa ia terdengar kesal saat ani kembali menanyakannya secara langsung pada chika.
"aku tadinya gak mau membahas. tapi dia yang lebih dulu mengajak bicara, jadi sekalian ku tanyakan". chika mengangkat kepala, menatap ani yang sedari tadi juga menatapnya. chika melemparkan senyum lembut pada ani. melihat raut wajah ani yang tampaknya sendu membuat chika tak mampu untuk memasang wajah serius padanya.
"menurutmu bagaimana?"
"apa? bagaimana...? yah keliatan banget kan kamu menyukainya, dan lagi dia menyukaimu, tapi kamu malah bermain dengan laki-laki lain di belakangnya" chika terkekeh pelan menanggapi ucapan ani. terluka, sejujurnya ia cukup terluka mendengar penuturan ani, ia tak menduga kalau temannya sendiri akan mengucapkan kata semenyakitkan itu. bermain dengan laki-laki lain?.
"bagaimana kamu tau dia suka denganku? hanya karena dia bilang suka bukan berarti dia benar-benar suka kan? dan lagi kami tidak memiliki hubungan apapun. apa kamu lupa? bagaimana mungkin kamu bicara seperti itu? aku gak sedang bermain dengan siapapun. aku... aku sudah tidak terlalu menyukai nya, makanya aku mau menjauh. apa itu cukup menjawab rasa penasaranmu?"
hening tanpa suara, baik ana, ani maupun dina terlihat terkejut dengan rangkaian kata yang keluar dari mulut chika.
-nyatanya perasaan bisa selalu berubah-