Chereads / Bulan Ramadhan Yang Berbeda / Chapter 1 - Bulan Ramadhan Yang Berbeda

Bulan Ramadhan Yang Berbeda

🇮🇩Dewi_Apriliani154
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bulan Ramadhan Yang Berbeda

Pelita berjalan menelusuri gang, menuju masjid terdekat dari rumahnya, betapa antusiasnya ia menyambut bulan ramadhan tahun ini.

"Ta aku duluannya yah," tegur Yanti sahabatnya, bersama suami dari belakang.

"Iya ti, duluan aja ga papa kok," sahut Pelita pelan, sembari menghela nafas sejenak.

"Kapan yah, aku punya seseorang yang mencintaiku," gumamnya dalam hati, lalu melangkah ke dalam masjid.

Suara adzan isya pun, terdengar dari toa masjid.

Pelita pun menjalankan shalat isya, sekaligus shalat terawih berjamaah di masjid.

Setelah itu, Pelita pun tadarus bersama jamaah yang lain.

"Neng kapan atuh, kamu nyusul Yanti nikah?," tanya wanita paruh bayah di sampingnya.

"Belum tau bu, jodoh kan rahasia Allah," jawabnya singkat.

"Tapi neng inget, umur atuh sudah mau dua enem," sambung ibu itu lagi.

"Iya bu, insyaallah jika memang jodohnya sudah dekat, pasti neng nikah doain aja," Pelita, yang menahan amarahnya dengan pertanyaan ibu tadi.

Sore hari, Pelita membeli takjil di pinggir jalan.

Ketika ia hendak mengambil kolak, bersamaan dengan tangan seseorang.

"Maaf, kamu mau beli kolak ini?," tanya laki-laki itu.

"Iya, ini kan tinggal satu," jawab Pelita sedikit ketus.

"Yaudah, buat kamu aja aku bisa cari yang lain," sambung laki-laki itu lagi, sembari pergi meninggalkan Pelita.

"Berapa bang jadinya?," tanya Pelita pada penjual takjil.

"Udah dibayarin neng, sama cowok yang tadi," jawab penjual takjil itu.

"Yahudah, makasih bang," Pelita, bergegas pergi mencari laki-laki tadi.

"Cepet banget sih ngilangnya, padahal kan aku mau gantiin uang dia," keluh Pelita, yang tak berhasil menemukan laki-laki itu.

Suasana di rumah pun hening, ketika waktu berbuka puasa tiba, Pelita masih memikirkan kejadian tadi.

"Neng lagi mikirin apa atuh?," tanya Emak perlahan.

"Ga mikirin apa-apa kok Mak," jawab Pelita berdalih.

"Neng kamu kapan menikah? Abah sama Emak, sudah tua mau nimang cucu," Abah pada putrinya.

"Kalau Allah, sudah menghendaki neng menikah Bah," sahut Pelita.

"Iya tapi kapan neng? Abah jodohkan kamu, tidak mau suruh cari sendiri belum dapet juga" ucap Abah kesal.

"Udah dong Bah…jangan mojokkin neng terus kasian," Emak pelan.

"Tau tuh Mak, si Abah mah gitu, ga ngerti perasaan neng," keluh Pelita pada Emak.

Dan mereka pun, menikmati kembali hidangan berbuka puasa, yang dibelikan Pelita setelah itu shalat magrib berjamaah di rumah.

Pukul 10.00 pagi, Pelita menghadiri majlis ta'lim di masjid bersama Emak, itu kegiatan mengisi waktu kosong dibulan puasa.

Berkumpul di masjid, mendengarkan tausiyah dan tadarus al-quran di sana.

Waktu pun berlalu begitu cepat, menandakan shalat dzuhur Pelita sekilas melihat laki-laki, yang ia temui di tempat takjil menuju tempat imam, seraya mengambil speaker kemudian adzan.

"Oh…jadi, ternyata dia seorang mua'dzin," gumamnya dalam hati.

Dan Pelita pun, memutuskan untuk shalat dzuhur di masjid, karena ia ingin membayar hutangnya pada laki-laki itu, sementara Emak pulang ke rumah.

Setelah shalat, Pelita menghampiri laki-laki itu seraya berkata.

"Ini, aku kembalikan uang kamu," ucap Pelita, yang secara spontan menyodorkan uang pada laki-laki itu.

"Ga usah diganti, saya ikhlas kok memberikannya," laki-laki itu.

"Tapi aku ga mau, nerima pemberian orang yang ga aku kenal," sambung Pelita ketus.

"Ya sudah perkenalkan aku Zaid, kamu siapa?," tanya Zaid singkat.

"Aku…Pelita, kok malah minta kenalan gini sih," gerutu Pelita.

"Barusan kata kamu, ga mau nerima sesuatu dari orang yang ga kamu kenal, makanya aku ajak kenalan," ucap Zaid pelan.

"Yaudah, kalo kamu ikhlas makasih, assalamualaikum," ucap Pelita, yang begitu saja meninggalkan Zaid.

"Wa'alaikumsalam" jawab Zaid sambil tersenyum.

Sesampainya di rumah, Pelita masuk ke dalam kamarnya.

"Si neng kenapa Mak? Kok mukanya ditekuk begitu," tanya Abah.

"Emak juga ga tau Bah, kan tadi pas waktu dzuhur, pulang duluan ga bareng sama si neng," jawab Emak panjang lebar.

"Coba, Emak ke kamar tanyain sana," sambung Abah.

"Yaudah, Emak ke kamar Pelita dulu yah Bah," ucap Emak, sembari melangkah ke kamar putrinya itu.

"Neng, kenapa kok ditekuk gitu mukanya abis pulang dari masjid?," tanya Emak perlahan.

"Ga kenapa-kenapa kok Mak," jawab Pelita.

"Jangan bohong sama Emak, inget neng lagi puasa," Emak sembari tertawa kecil.

"Iya deh neng mau cerita, tapi Emak janji, jangan bilang-bilang sama Abah," ucap Pelita.

"Siap atuh," sambung Emak.

"Tadi di masjid, kan neng ketemu sama cowok mau bayar hutang, yang waktu itu dia bayarin takjil neng, eh malah dia ngajak kenalan kan bikin kesel,"ucap Pelita panjang lebar.

"Emang, sebelumnya neng ngomong apa sama dia?," tanya Emak.

"Yah…neng Cuma bilang, ga mau nerima pemberian dari orang yang neng kenal," jawab Pelita.

"Atuh pantes, dia ngajak kamu kenalan, kamu sendiri yang bilang begitu," Emak.

"Tapi kan, neng Cuma niatnya gantiin uang dia, yang waktu itu Mak," keluh Pelita.

"Iya Emak tau kok, tapi yang penting orangnya ikhlas kan ngasih itu sama neng," ucap Emak pelan.

"Iya Mak, tadi dia bilang ikhlas ngasih takjil itu sama neng," Pelita, sembari bersandar di bahu Emak.

Pelita sedang berjalan, menelusuri gang sempit ia hendak pergi, ke sebuah pusat perbelanjaan yang cukup jauh.

"Terpaksa deh, pergi sendiri karena Emak ga bisa ikut ada acara di balai warga," gumamnya pelan.

Lalu ia pun, menaiki kendaraan umum menuju mall.

Setengah jam berlalu, Pelita pun sampai di sana, ia langsung bergegas menuju toko busana muslim dan hijab, sedang asyik-asyiknya melihat gamis dan hijab.

Tiba-tiba saja, ada yang memanggilnya.

"Kak Pelita, sedang apa di sini?," tanya seorang gadis muda itu padanya.

"Eh de Zahra, ini kakak lagi liat-liat baju, buat dipake pas lebaran nanti," jawab Pelita.

"De…kamu dimana? Udah ketemu belum bajunya?," teriak seorang laki-laki dari jauh.

"Ini lagi cari baju, tapi belum ada yang pas, sahut Zahra.

Dan, laki-laki itu pun menghampiri Zahra.

"Kamu…," ucap Pelita dan Zaid bersamaan.

Sementara Zahra, tampak bingung dengan semuanya.

"Kalian udah kenal?," tanya Zahra ragu.

"Iya…de, ga sengaja ketemu di jalan," Zaid gugup.

"Ini siapanya kamu Zahra?," tanya Pelita.

"Oh…ini, kakak sulung aku kak," jawab Zahra, sembari tersenyum pada Pelita.

Sedangkan, Pelita hanya mengangguk pelan.

"Yahuda Zahra kakak duluan, udah dapet nih gamis sama hijabnya," pamit Pelita, meninggalkan kedua kakak beradik itu.

"Hati-hati yah kak…salam buat Abah sama Emak," ucap Zahra lantang, sembari melambaikan tangan.

Dan Pelita, hanya menoleh dan tersenyum tipis padanya.

Zaid pun, mulai penasaran dengan Pelita, sampai adiknya pun mengenal gadis itu.

"De kok, kamu bisa kenal sama dia sih?," tanya Zaid heran.

"Dia siapa nih…kan temen aku banyak bang," jawab Zahra.

"Yang kemaren, ketemu di mall pas beli baju," Zaid menjelaskan.

"Oh…kak Pelita, yah jelas kenal lah kan dulu satu kampus, Cuma dia kakak kelas aku," ucap Zahra panjang lebar.

"Kok, abang kepoin kak Pelita sih…jangan-jangan abang naksir lagi sama dia," ledek Zahra, yang melihat wajah abang sulungnya itu memerah.

"Jangan ngomong sembarangan gitu de, ga baik tau…jadi fitnah nanti kalau ga bener," ucap Zaid berdalih.

"Fitnah atau fakta nih…bentar lagi juga kebukti kok,," ucap Zahra sembari tertawa melihat abangnya jadi salah tingkah.

"Udah akh…mending abang ke masjid aja," ucap Zaid ketus, berlalu pergi meninggalkan adik bungsunya itu.

Pelita terus, memikirkan kejadian yang menimpanya belakangan ini.

"Kenapa yah…aku sering banget ketemu si Zaid itu, masa kebetulan sampe tiga kali sih?," gumamnya dalam hati, sembari tiduran di kasur setelah membantu Emak memasak di dapur.

"Neng…dipanggil Abah tuh di depan," panggil Emak, yang seketika membuyarkan lamunannya.

"Iya Mak sebentar, neng mau pake hijab dulu," sahut Pelita, yang terburu-buru memakai hijabnya, lalu pergi ke teras menemui Abah.

"Ada apa bah? Manggil neng?," tanya Pelita.

"Abah Cuma mau pesen, beliin takjil di pinggir jalan sana yah neng," jawab Abah pada putri semata wayangnya itu.

Pelita pun keluar dari rumah, untuk membeli takjil di seberang jalan sana.

"Bang beli takjilnya tiga yah," ucap Pelita pada penjual takjil.

"Semuanya, jadi lima belas ribu neng," penjual takjil.

Pelita pun, memberikan uang dan pergi dari seberang jalan itu, berjalan pulang ke rumahnya.

"Kok tadi, ga ketemu Zaid sih kayak waktu itu," keluhnya dalam hati.

"Gimana neng, ada takjilnya?," tanya Abah, yang sedang asyik dengan burung kesayangannya.

"Nih ada kok Bah," jawab Pelita, sembari masuk ke dalam rumah menuju ke dapur.

"Neng, nanti malem siapa imam shalat terawihnya?," tanya Emak pelan.

Sementara Pelita, melihat jadwal imam dan bilal seketika itu ia terdiam sejenak.

"Neng…udah, diliat belum siapa imamnya?," teriak Emak dari dapur.

"Iya mak udah diliat, Zaid," sahut Pelita.

"Subhanallah…masih muda, udah bisa jadi imam shalat terawih," puji Emak.

"Kok, aku jadi makin penasaran sih sama sosok Zaid," gumam Pelita dalam hati, seraya membantu Emak di dapur, mempersiapkan hidangan untuk berbuka puasa.

Selepas berbuka puasa, Pelita bergegas mengenakan mukena dan melangkah keluar menuju masjid.

"Kak Pelita…," panggil seseorang dari belakang, kemudian Pelita pun menoleh.

"Eh…de Zahra ada apa?," tanya Pelita menyapa.

"Abis terawih, tadarusan dulu yuk di masjid bareng aku," ajak Zahra.

"Boleh…kakak malah seneng, ada temennya soalnya yang tadarusan kebanyakan ibu-ibu sama nenek-nenek," Pelita sembari tertawa.

"Akh…kak pelita bisa aja deh, yahudah kita berangkat yuk," ucap Zahra, yang bersemangat berjalan bersama Pelita menuju masjid.

Acara tadarus al-Quran pun, dimulai Pelita duduk bersebelahan dengan Zahra dan ibu-ibu serta nenek-nenek yang ada di masjid, dengan khusyu' mereka melantunkan ayat suci secara bergantian, sampai waktu menunjukkan pukul 23.00 wib.

Tadarus ditutup, dengan bacaan Alhamdalah dan setelah itu Pelita dan Zahra keluar dari masjid.

"De…tungguin abang, mau pulang bareng," teriak seseorang.

Lalu keduanya pun, menoleh saat Zaid menghampiri mereka.

"Eh…ada Pelita," ucap Zaid sembari tersenyum.

"Bang, ayo pulang bareng, Zahra sama kak Pelita," pinta Zahra.

"Oh…iya hayu jalan deh," ajak Zaid.

Kemudian, sepanjang perjalanan pulang mereka hanya diam, sampai tiba di rumah Zahra.

"Kak…Zahra masuk dulu yah, assalamualaikum," pamit Zahra.

Ketika Zaid, ingin masuk bersamaan Zahra berkata.

"Abang ga kasian, liat kak Pelita pulang sendirian malem-malem…ntar kalo ada apa-apa gimana hayo," Zahra pada Zaid.

"Ga usah repot-repot de, kakak bisa pulang sendiri kok," ucap Pelita.

"Yahudah, abang anterin takut ada apa-apa di jalan, ntar abang yang disalahin de Zahra," ucap Zaid.

Dan keduanya pun, pergi menuju rumah Pelita yang tak jauh dari rumah Zaid.

Pelita berjalan bersama dengan Zaid, tanpa sepatah kata pun terlontar dari keduanya hingga tiba di rumah Pelita.

"Makasih udah nganterin aku," ucap Pelita pelan.

"Sama-sama, yahudah aku pamit dulu assalamualaikum," Zaid, berlalu pergi begitu saja dari hadapan Pelita.

"Wa'alaikumsalam," jawab Pelita perlahan, seraya masuk ke dalam rumah.

"Kenapa tadi, di jalan aku ga ngobrol apa-apa sih sama Pelita…kan jarang-jarang aku bisa sedeket itu sama dia," gerutu Zaid, ketika tiba di kamarnya.

"Bang…belum tidur?," tanya Zahra dari luar.

"Ini baru mau tidur de," jawab Zaid, dari dalam kamarnya.

"Ngobrol apa aja sama kak Pelita bang?," tanya Zahra penasaran.

"Kepo banget sih de…udah akh, abang mau tidur ntar saur kesiangan lagi," ucap Zaid sembari tertawa.

"Akh…abang, pake malu-malu kucing segala sama adenya sendiri, iya deh…Zahra juga udah ngantuk mau tidur nih," Zahra, yang masih menggoda abang sulungnya itu, bergegas melangkah ke kamar untuk memejamkan mata.

Siang itu, Emak mengajak Pelita pergi ke pengajian, di masjid bersama Abah juga.

"Neng, ikut Emak sama Abah yuk ke pengajian ada tausiyah, terus katanya ustadnya masih muda terus ganteng lagi," ajak Emak panjang lebar.

"Gantengan mana Mak, Abah sama ustad itu?," sambung Abah.

"Yah…gantengan Abah atuh, kalo ga mah ngapain Emak nikah sama Abah," jawab Emak sembari tertawa kecil.

"Aduh…so sweet banget Abah sama Emak," ucap Pelita.

"Makanya neng, cepet nikah biar bisa kayak Abah sama Emak," sindir Abah.

"Tuh kan mak, Abah ngomongin masalah nikah lagi…," keluh Pelita pada Emak.

"Udah Bah…jangan mojokin neng terus, kasian kan nanti dia stres, karna mikirin omongan Abah gimana hayo," ucap Emak panjang lebar.

"Iya deh…Abah ga akan, ngomongin masalah itu lagi sama neng," Abah.

Dan mereka pun, berangkat bersama menuju pengajian di masjid.

Betapa terkejutnya Pelita, melihat ustad muda yang memberikan tausiyah, yang tidak lain adalah Zaid laki-laki yang sering bertemu dengannya.

"Neng, kalo nyari calon suami tuh yang kayak gitu tuh…baru Abah suka nih," ucap Abah, yang duduk di sebelah Pelita.

"Emak juga pengen, punya calon mantu kayak gitu neng," sambung Emak.

"Ikh…apaan sih, pada ngaco nih omongannya," Pelita, yang menutupi rasa gugupnya.

"Kok, muka neng jadi merah gitu sih…jangan-jangan neng udah kenal yah sama ustad muda itu," ucap Abah dan Emak bersamaan.

"Ga kok…neng Cuma kenal sama Zahra ,adenya ustad itu di kampus dulu," ucap Pelita berdalih.

"Wah…kalo gitu, bisa pedekate juga dong sama kakaknya," goda Emak.

"Udah akh…ga baik ngomongin orang, lagi puasa apalagi orangnya ada di sini," ucap Pelita, sedikit kesal pada orangtuanya.

"Yahudah, kita dengerin lagi deh tausiyah ustad ganteng dan muda itu, biar makin suka," Abah, yang tertawa kecil melihat putrinya salah tingkah seperti itu, ketika membicarakan ustad muda.

Malam takbir pun tiba, Pelita menyambutnya dengan antusias bersama Abah dan Emak, membuat ketupat untuk esok hari.

"Tok…tok…assalamualaikum," suara ketukan pintu, dan salam dari luar rumah Pelita pun bergegas membukanya.

"Wa'alaikumsalam," jawabnya, sembari membuka pintu dari dalam.

Ia nampak bingung, dengan kehadiran Zaid dan keluarganya.

"Silahkan masuk," ucap Pelita pelan.

"Abah ada de?," tanya Zaid.

"Oh…Abah ada di dapur, sebentar yah aku panggilin dulu," Pelita, seraya pergi ke dapur memanggil Abah.

"Bah, ada yang nyariin tuh," ucap Pelita.

"Siapa neng?," tanya Abah.

"Zaid sama keluarganya," jawab Pelita singkat.

"Oh…ustad muda, yang tausiyah tempo hari," sambung Abah, sembari berjalan menuju ruang tamu.

"Ada perlu apa yah, bertemu dengan saya?," tanya Abah perlahan pada Zaid.

"Begini Bah, maksud kedatangan saya dan keluarga, ingin mengkhitbah putri Abah Pelita" jawab Zaid mantap.

Seketika itu, Pelita terdiam dan menunduk.

"Neng, bikinin minum buat tamu dulu sana," pinta Abah, lalu Pelita pun kembali ke dapur, untuk membuatkan minum untuk Zaid dan keluarga.

"Mak, gimana ini…Zaid ngekhitbah aku," keluh Pelita.

"Alhamdulillah atuh neng…kok, bukannya seneng malah gelisah kayak gitu," ucap Emak.

"Bukannya ga seneng mak, tapi neng Cuma grogi aja," Pelita.

"Mungkin Allah, memberikan neng ramadhan yang berbeda dengan khitbah Zaid itu," ucap Emak.

"Subhanallah yah mak…neng ga pernah menyangka, kalo ramadhan tahun ini dapet hadiah yang begitu indah," gumam Pelita perlahan.

"Yahudah, minumnya dibawa atuh ke ruang tamu, ga enak sama Zaid dan keluarganya," ucap Emak.

Dan keduanya pun, duduk di ruang tamu membicarakan masalah Zaid dan Pelita.

"Gimana neng, keputusannya semua ada dikamu, mau nerima ato ga khitbah Zaid ini?," tanya Abah.

"Neng mau kok Bah, nerima khitbah kak Zaid," jawab Pelita malu-malu.

Sementara yang lain mengucap Alhamdulillah, dan Zaid hanya menampakkan senyum di wajahnya.

Akad nikah pun, berlangsung khitmat dengan dihadiri keluarga dan kerabat terdekat di rumah Pelita.

Ia amat begitu cantik, mengenakan gamis dan hijab beruansa putih, dan Zaid mengenakan koko dan peci putih begitu tampan.

"Saya terima nikahnya, Pelita Khumairah binti Walid dengan seperangkat alat shalat dan hafalan surat ar-rahman dibayar tunai," jawab Zaid mantap, ketika akad dilangsungkan.

Setelah itu ia pun, membaca surat ar-rahman hingga ayat terakhir semua yang ada di sana mengucap syukur.

Kedua pengantin pun, bertukar cincin dengan rona kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya, Pelita mencium tangan Zaid dan Zaid pun mencium kening Pelita.

Semua keluarga dan kerabat, bersuka cita merayakan pernikahan begitu dengan Zahra, yang berhasil mempersatukan mereka berdua.