Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Is It Okay for A Beggar To Marry A Prince?

Amethyst1984
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.4k
Views
Synopsis
Mara hanyalah seorang pengemis dari suku Dolores, suku termiskin di benua Quinlan. Hidupnya berubah ketika sang putra mahkota kerajaan mendatanginya untuk menikahinya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1: Lamaran

Cring. Dua keping koin dilemparkan seorang ibu ke dalam mangkuk yang diletakkan di pinggir jalan. "Terimakasih, semoga berkah dewa menyertai Anda."ujar perempuan yang duduk di belakang mangkuk tanah liat tersebut.

Mara mengambil mangkuk tanah liatnya dan menghitung uang yang ada di dalamnya. Sudah berjam-jam lamanya ia duduk di pinggir jalan Qua, meminta belas kasih orang-orang yang lalu lalang. Namun, dua keping koin itu adalah satu-satunya yang ia punya hari ini.

"Woof! Woof!" Seekor anjing kecil menghampirinya, mengendus-endus tangannya. "Geli, Dee!"ujarnya sembari tertawa. Ia mengusap pelan kepala anjing kecil itu. "Syukur kepada dewa Qua, kita bisa makan hari ini."ujarnya sembari tersenyum. Ia mengangkat Dee dengan tangannya, memakai tudung jubahnya dan berjalan menuju pasar.

"Mengapa pasar ramai sekali hari ini?"tanya Mara pada penjual roti. "Kau tidak tahu?"tanya Rudolfo. "Tidak, ada apa?"tanya Mara lagi. "Tentu kau ingat dimana rumah kepala suku Dolores, bukan?"tanya Rudolfo. "Si tua bangka, Preston?"tanya Mara. "Dia akan menghajarmu jika ia mendengarmu memanggilnya begitu. Tapi, aku setuju."ujar Rudolfo sembari tertawa kecil. "Hmph, dia sendiri yang membuat semua orang memanggilku, Mara."ujar Mara dengan cemberut.

"Benar, aku yakin semua orang yang ada di sini lupa siapa namamu yang sebenarnya."ujar Rudolfo dengan nada mengejek. "Kalau kau berani melupakannya, akan ku tulis namaku di setiap sudut kiosmu saat malam tiba."ujar Mara dengan nada mengancam. "Huh, maniak."jawab Rudolfo. "Terimakasih, aku tersanjung."

BRAK! Suara tendangan yang keras terdengar dari arah kerumunan. "Aku punya firasat yang buruk untuk ini,"ujar Rudolfo. "Bah, terserah. Cepat berikan rotiku."ujar Mara, tak peduli. "Kau tak ingin melihat apa yang sedang terjadi?"tanya Rudolfo. "Tidak, terimakasih. Sekarang, berikan rotiku." Rudolfo memberikan sepotong roti yang baru saja dipanggang kepada Mara. "Hei, bukan ini yang ku mau."kata Mara sembari mengembalikan rotinya. "Ambil saja, anggap itu hadiah dariku."ujar Rudolfo sembari tersenyum. "Hahah, kau tau aku tak bisa menolaknya. Terimakasih."

"Woof!" Mara menurunkan Dee dan membuka bungkusan roti yang dipegangnya. "Kau lapar, Dee?"tanya Mara sembari menyobek sepotong roti. "Woof!" Dee meloncat-loncat sembari menatap potongan roti di tangan Mara lekat-lekat. "Hahaha, ini dia!"ujar Dee sembari menyuapinya.

"Maraaaa!"teriak seorang perempuan dari kejauhan. "Maria!"teriak Mara. "Kemarilah, aku punya makanan untukmu!"ujarnya sembari melambaikan tangannya. "Darimana kau hari ini?"tanya Mara sembari memberikannya sepotong roti. "Rumah Preston, kau harusnya ke sana Mara!"teriaknya dengan girang. "Ada apa?"tanya Mara. "Kau harus lihat muka jeleknya saat pangeran Isaac menolaknya!"

Maria menirukan wajah Preston dengan jeleknya. "Hahahaha! Memangnya kenapa pangeran menolaknya?"tanya Mara sembari menghapus air matanya. "Pangeran Isaac bilang, peramal istana menyuruhnya menikahi seorang perempuan bernama Amadea dari suku Dolores. Lalu, si pak tua itu mengaku-ngaku bahwa nama putrinya adalah Amadea. Tiba-tiba, sang peramal turun dari kereta kuda dan mengatakan bahwa putrinya bukanlah Amadea yang dicari Pangeran Isaac."

Hahahaha! Aku menyesal tak menyetujui ajakan Rudolfo untuk ke rumah Preston tadi! Membayangkan wajahnya saja sudah membuatku tertawa geli. Rasakan apa yang kau tuai dari keserakahanmu itu, orang tua!

"Lalu? Lalu?"tanya Mara lagi. "Preston mengatakan hanya ada satu Amadea di Dolores, dan itu putrinya. Semua orang tentu tahu dia berbohong karena semuanya tahu nama asli putrinya, Deena. Sebentar, jangan bilang nama Dee diambil dari...." Mara menggeleng, "Ya, namanya Deena, artinya seorang hakim. Oh, aku tak pernah tahu kalau nama putrinya juga Deena. Kukira namanya Dolores. Karna obsesi ayahnya, kau tahu."

"Benar, Preston memang sangat tergila-gila dengan kekuasaan. Kurasa bukan hanya kau yang bingung mengapa ia tak menamai anaknya Dolores. Mungkin karena nama Dolores sudah diberikan pada anak laki-lakinya."ujar Maria. "Mungkin saja. Rasanya aneh jika orang-orang memanggil mereka, 'Dolores 1! Dolores 2!" Maria dan Mara tertawa terbahak-bahak.

"Lagipula,"kata Maria dengan pelan. "Bukankah Amadea adalah namamu yang sebenarnya?"tanya Maria mengecilkan suaranya.

Trak. Trak. Trak. Suara derap kaki kuda? Mengapa mereka kemari? Semua orang tahu daerah bantaran sungai adalah daerah para pengemis! Ada urusan apa mereka kemari? "Maria, cepat pergi!"bisik Mara. Maria mengangguk dan mengendap-endap kemudian berlari pergi.

Mara mengambil rotinya dan menggendong Dee dengan tangannya yang lain. Ia berlari ke arah hutan dan bersembunyi di balik pohon. "Woof?"salak Dee, pelan. "Ssh, diam Dee."ujar Mara sembari mengintai. Dua orang prajurit turun dari kudanya dan memeriksa sekitar bantaran sungai. Mereka menemukan tikar milik Mara, memeriksanya kemudian pergi menanyai penduduk sekitar.

Tak lama, mereka pergi. Mara menghela napas dan mengendap-endap, kembali duduk di tikarnya. Begitu ia hendak memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya,

"Selamat siang, Amadea." GLEK. "Uphh. Uphh."ujar Mara sembari memukul-mukul dadanya. "Astaga, maaf, aku tak bermaksud,"

Byur! Glek. Glek. Glek. "Fuahh!" Sang lelaki menatap Mara dengan tatapan kaget sekaligus terheran-heran. "Meminum air sebelum dimasak akan membuat perutmu sakit."ujar lelaki tersebut sembari tersenyum.

"Kau sendiri hampir membuatku mati."ujar Mara dengan dingin. "Maaf,"ujarnya dengan murung.

Darimana dia tahu nama asliku? Apa dia mendengarkan percakapanku dengan Maria tadi? Sejauh apa dia mendengarkan? Dan mengapa aku tak menyadari keberadaannya?Siapapun dia, orang ini berbahaya. Aku harus mengusirnya, lebih cepat lebih baik.

Mara memperhatikan lelaki itu dengan seksama. Baju putih dengan ornamen di sana-sini, rambut pirang dan mata biru, serta simbol kerajaan di dadanya. Siapa orang ini? Salah satu rombongan yang tertinggal?

Jika benar ia adalah anggota kerajaan, sulit untuk memintanya pergi dari sini. Lebih baik aku berhati-hati.

"Siapa kau?"tanya Mara. "Ah, benar. Aku belum memperkenalkan namaku."katanya sembari tersenyum. Lelaki tersebut berdiri dan meletakkan tangan kanan di dadanya.

"Namaku, Isaac Jacqlin Alaric, pewaris tahta kekaisaran Quinlan. Aku datang untuk melamarmu."