9. Menjadi diri sendiri
Hari sudah malam saat aku tiba di rumah, syukurlah Henry sudah tidak ada di sini, jadi aku bisa membersihkan seluruh make up ku. Karena wajah asliku walau mirip dengan Cassandra tapi ada sedikit perbedaan, karena aku memakai softlens warna biru sedangkan warna mataku hitam, juga tulang rahangku sedikit lebih besar dari milik Cassandra, sehingga aku harus sering menggunakan shading untuk menyamarkan tulang rahang, jadi kalau ada Henry di rumah, aku tidak bisa menghapus semua make up. Sekarang aku mau membersikan make up, melepaskan softlens, lalu menggunakan masker untuk kemudian tidur. Aku sudah sangat lelah.
Hari ini memang melelahkan tapi menyenangkan, bercanda bersama anak-anak panti, tertular kebahagiaan, membuat diri merasa sangat bersyukur. Apalagi saat ada donat yang dikirimkan oleh seseorang, anak-anak tambah bahagia, kami seharusnya juga membawa makanan ringan tapi karena dananya kurang jadi kami hanya bisa membeli alat gambar.
Pagi hari yang cerah, secerah hatiku. Aku harus segera bekerja, pekerjaan yang tertunda juga harus aku selelsaikan.
-Tok tok-
"Masuk."
"Nyonya, tuan menitip pesan, kalau hari ini akan ada acara bersama teman-temannya jam 8 malam, jadi nyonya diminta mempersiapkan diri."
"Baik. Terimakasih Bu Ida."
Haiss. Tumben banget dia ngajak, biasanya juga ga pernah. Haduh aku harus tanya Kak Mey ini. Dengan cepat aku sudah sampai di agensi.
"Kenapa ditolak? Ini kesempatan bagus buat Cassa, supaya mereka makin dekat, supaya Cassa diterima dikalangan mereka."
"Tapi Kak Mey, aku ga kenal mereka, aku ga hafal mereka, nanti kalau ketahuan penyamarannya bagaimana?"
"Duh, gampang lah, kalau kamu ga tahu, kamu pura-pura lupa aja, atau kamu diam saja. Nanti aku kirim foto-foto teman-temannya Henry, kamu harus hafalin mereka. Sekarang ambil foto buat iklan dulu."
"Hufft... iya kak."
Bagaimana ini Kak Mey, malah menyarankan aku pergi, padahal aku kaku kalau harus berada bersama Henry, ahh ya sudahlah, jalani saja dulu, ikuti arahan Kak Mey.
Hari ini bekerja hanya sampai jam 04.00 sore, biasanya sampai larut malam baru selesai, untung hari ini semua berjalan lancar. Sekarang aku harus menghafal nama teman-temannya dan sedikit informasi tentang teman-teman Henry.
Gregorius Alfonso, 33 tahun, CEO PT. Jamu Sido Mulyo. "Oh dia toh pengusaha jamu itu, produknya bahkan sudah ada diseluruh negara. Keren banget." Hobinya menembak, golf dan berkuda, "Hobinya orang kaya, pastinya." Humoris. Pakai kacamata.
Fajar Al Gazhali, 33 tahun, CEO PT. Pembangunan Indonesia. "Wow pengusaha properti." Hobinya memancing. "Orangnya pasti tenang dan pendiam ini, hobinya aja mancing." Wajahnya rada Arab.
Dr. David Heart, 33 tahun, CEO Starlight Entertainment, "Oh... dia toh pemilik Starlight, aku ingin sekali bisa menjadi model profesional disana, ahhh... andai aku tidak sedang menjadi Cassandra, mungkin aku bisa minta sedikit bantuannya." Selain itu dia juga dokter bedah plastik.
Mereka teman satu kampus dulu, mereka lulusan Harvard University. "Oh wow... aku membaca biografi singkat mereka saja sudah merasa kecil, mulai minder."
Aku bersiap, kata Kak Mey, aku harus tampil elegan, Kak Mey sudah membawakan pakaian yang menurutku terlalu terbuka bagian dadanya, warna merah cerah. "Ini seleranya Cassandra? Ini sih terlalu seksi, bukan elegan, ahh, aku malas sekali pakai ini. Tapi harus pakai, aku ini Cassandra bukan diriku sendiri."
Aku masih mematut diri saat Henry masuk ke dalam kamar kami. "Kamu sudah siap?" Tanya Henry.
"Sudah." Aku berdiri dan siap pergi.
"Apa kamu akan pergi dengan pakaian seperti itu?"
"Iya, kenapa?"
"Ganti. Aku bawakan kamu pakaian."
"Tapi..."
"Ga ada tapi! Ganti saja!"
Ya sudahlah ya, nurut aja deh daripada ribut. Aku buka gaun yang dia berikan, wah, ini sih seleraku, gaun sederhana dan tertutup. Aku mengganti pakaian lalu kami pergi ke salah satu club di Jakarta, mereka menyewa satu hall untuk berkumpul, hanya lima orang saja pakai menyewa satu hall, benar-benar pemborosan. Padahal rumah juga cukup luas jika hanya untuk berkumpul lima orang.
Saat masuk hall tersebut, aku sampai terpana, "Wow..." Ups, hampir saja ketahuan kampungannya, ya ampun, ruanganya cantik banget, dekorasinya membuat suasana makin hangat, ternyata ada banyak orang disini, ada teman-teman Henry juga pasangannya masing-masing, juga ada artis ibukota, tokoh politik muda, juga altlet terkenal, dan yang paling menyebalkan ada Dian and the genk, musuh Cassandra.
"Wow... pengantin, baru kita sangat serasi sekali." Gregorius menyambut kami dengan ramah. Greg tampak menyenggol lengan Henry, membisikan sesuatu yang membuat Henry menendang tulan kering Greg. "Yo dude, I'm just kidding."
"Aha? Not funny at all!"
Kami duduk di meja bundar, tapi baru saja aku menaruh bokong semok ini, Fajar mengusir ku, "Ehem, ini meja kaum nomor 1, kaum nomor 2 disebelah sana." Fajar menunjuk kumpulan wanita yang sedang berbincang-bincang. Aku agak kesal mendengar istilah 'kaum nomor dua', cih! Apa hebatnya sih laki-laki? Aku mencari tempat duduk di area bar, agak canggung juga kalau harus berkumpul dengan wanita-wanita dari kelas atas, aku takut tidak bisa mengimbangi, karena aku tidak punya pengalaman datang ke acara seperti ini.
"Cola mas satu." Aku memesan cola pada bartender, aku tidak mau minum alkohol, karena besok masih harus bekerja. Baru datang saja aku sudah merasa asing disini, tidak ada satu orangpun yang aku kenal.
"Hai Cassa."
"Hai juga." Ada pebasket nasional yang terkenal karena ketampanan dan ke-playboy-annya.
"Baru kali ini ya kesini?"
"Iya. Kenapa?"
"Gak papa, tapi kamu keren juga bisa datang sama Big Boss." Sambil menyesap minumannya Dirga si pebasket ini berbicara, seolah-olah aku berhasil menggoda Henry, si big boss.
"Ya, diajak sama dia."
"Really?"
"Iya." Kenapa harus heran gitu sih dia?
"Ya ga mungkinlah, lo jangan percaya omongan perempuan murah macam Cassa." Ohoho, si Dian udah muncul aja, aduuuh Cassa kenapa sih lo banyak banget musuhnya?
"Ya, terserah kalian sih mau percaya atau ngga. Aku ga peduli juga." Sahutku santai sambil minum cola yang sudah diberikan bartender.
"Nih ya Dirga, kalau dia diajak Henry, trus ngapain dia bengong sendirian disini? Diusir lagi sama Fajar?" Ocehan Dian terdegar menyakitkan tapi Dian ada benarnya juga aku diusir, lalu kenapa aku diajak?
"Lalu kamu bisa kesini siapa yang ajak?" Tanyaku santai pada musuh.
"Diajak dr.David dong." Jawabnya dengan nada menyebalkan.
"Ya, coba lo duduk disana, kalau emang lo diajak David." Aku memandang sinis pada Dian, Dian bergeming, "Kalau takut diusir ya udah."
"Eh kata siapa gue takut!" Dian menghentakan kakinya, berjalan menuju meja 'kaum nomor satu' itu. Aku dan Dirga hanya mengamati dari jauh, dan ternyata Dian juga diusir, bahkan tanpa suara, hanya dengan lambaian tangan dan pelototan mata saja. Aku dan Dirga tersenyum, menahan tawa.
"Ini semua gara-gara lo!"
-Plak- Dian menamparku. Aku ditampar? Aku d i t a m p a r!
-Plak plak- Aku balas tamparannya dua kali.
"E-e-elo berani lo nampar gue!" Dian tampak akan menangis dan marah.
"Eh mak lampir! Kalau ga mau ditampar ya jangan nampar!" Aku sudah tidak tahan dengan si Dian ini, deuh, gerombolannya ikutan maju lagi. Minta dihajar bareng-bareng kali ya?
-Suuur-
Salah seorang anggota genk si Dian menuangkan minumannya ke kepalaku sampai membasahi gaunku, gaun kesukaanku.
-Bruk-
Aku dorong dia.
-Splash-
Aku siram dia pakai cola yang tinggal separuh!
"Lo tahu! Ini baju, baju favorit gue! Berani lo siram gue! Dasar kumpulan mak lampir lo semua! AAAAKK." Salah seorang anggota genk Dian menjambak rambutku yang ku. Aku tarik lengannya, aku banting dia dengan satu hentakan, untung kurus nih orang.
"Aduh..." Orang itu kesakitan.
"Siapa lagi sini, ayo lo semua maju deh! Capek gue ribut satu-satu gini!" Nafas gue udah habis karena emosi dengan kumpulan mak lampir ini. Lalu mataku bersirobok dengan mata Henry, dia terkejut, mulutnya menganga melihat kelakuanku, lalu tersadarlah aku, aku sedang menjadi diriku sendiri bukan Cassandra yang manja dan lemah.
Tolong dukung karya ini dengan:
1. Kasih Power Stone ya...
2. Komen , bintang 5, juga masukin ke library kamu.