7. Masak setiap hari.
Aku marah, aku kecewa, aku merasa terhina. Walau itu hanya jepit rambut plastik, tapi itu pemberian sahabatku, Rian yang selalu ada saat aku susah, Rian yang selalu mengerti aku, saat aku banyak masalah Rian hanya akan menemaniku, tanpa bertanya ada masalah apa, Rian hanya menemaniku. Seenak jidatnya saja Henry membuang jepit rambutku!
Aku berhentikan taksi lalu kembali ke kosan ku, aku tidak kembali ke rumah Henry, aku ke kosku, ingin menangis sepuas hati, menangisi kebodohan diri. Entah jam berapa aku bisa tidur, yang pasti pagi ini kepalaku terasa pusing karena kebanyakan menangis. Aku mandi ir hangat supaya badanku segar kembali, lalu mengenakan kaos, celana olahraga dan sneaker.
Aku kembali ke rumah Henry, aku harus mengambil pakaian dan make up untuk photo shoot hari ini. Akh, ada mobil Henry di garasi, itu berarti dia ada di rumah. Ingin menghindar, tapi tidak bisa, ada pekerjaan yang harus aku laksanakan hari ini. Aku lihat dia di meja makan dengan korannya dan piyamanya, dia tidak bekerja rupanya. Aku tidak peduli, aku langsung naik ke atas.
"Dari mana kamu?" Pertanyaan Henry menghentikan langkahku.
"Rumah."
"Dusta! Jangan berbohong, aku ke rumah orang tua mu semalam, aku tidak menemukanmu."
Apa? Henry mencariku? Sejak kapan dia jadi peduli begini sama Cassandra, bukannya dia benci banget sama Cassandra?
"Jawab jangan diam saja! Kau habis tidur dengan siapa tadi malam?"
Akh, sial si pahit lidah ini? Dia masih anggap aku pelacur. "Tuan Kesuma, apakah anda berpikir kalau saya hanya memiliki satu rumah? Dengan siapa semalam aku tidur? Yang pasti dia lebih baik dari kamu!" Karena terlalu marah dan emosi, aku sampai lupa menggunakan cara bicara Cassandra, aku menjadi diriku sendiri. Oh, semoga dia tidak menyadarinya, masih lima minggu lagi.
Aku naik keatas mengambil beberapa pakaian dan make up untuk shooting nanti, lalu segera turun, Henry menungguku di luar kamar. Aku melengos dan melewatinya.
"Tunggu." Henry menarik tanganku. Lembut sekali nada bicaranya. Henry memelukku. "Maaf. Maafkan aku Cassa."
Duh nih orang gampang banget berubah-ubah, ini ngapain dia minta maaf? Dimana kesombongan yang selalu jadi andalannya itu?
"Jangan pergi seperti itu lagi ya, kalau kamu marah padaku, tetap pulang ke rumah ya, aku mengkhawatirkanmu." Henry meletakan kepalanya di pundakku. Membuat jantung ini berdebar seperti genderang yang mau perang. Aku hanya diam, tidak menjawab. Dia juga merubah sebutan untukku dari kau menjadi kamu.
"Henry, kepalamu panas, kamu demam?" Aku berbalik dan memegang dahinya, panas seperti terbakar. "Ayo masuk kamar, istirahat dulu." Aku mengamit tangannya membawanya ke kamar. Aku akan keluar mengambil kompresan.
"Jangan pergi." Tangan Henry menangkap tanganku.
"Aku hanya akan ambil air untuk kompres dan menelepon dokter."
Henry mengangguk membiarkanku pergi, aku ambil air hangat dan handuk kecil, memanggil Andre untuk meelepon dokter.
"Andre bisa tolong telepon dokter, Henry demam."
"Baik nyonya, mungkin karena semalaman tuan tidak tidur, mencari nyonya ke semua relasi nyonya."
"Oh?" Aku merasa bersalah, ternyata dia masih peduli pada istrinya.
Dokter datang dan memberikan suntikan, Henry tidur dengan nyenyak, aku membatalkan jadwalku hari ini, menelepon Kak Mey dan menceritakan situasinya sehingga dia membantuku megatur ulang jadwal.
"Ibu... ibu..." Henry mengigau.
Aku ke dapur membuatkan bubur untuk Henry, Bu Ida membantuku. "Bu, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Apa itu nyonya?"
"Ada apa dengan ibunya Henry? Dia terus mengigau soal ibunya."
"Orang tua tuan Henry bercerai saat tuan berumur 8 tahun, lalu ayahnya terlalu keras mendidiknya, sering pukul, sampai ayah tuan Henry menikah lagi, lalu tuan Henry diurus oleh neneknya."
"Apa ibu nya tidak pernah datang menemuinya?"
"Dulu saat masih baru bercerai, ibu nya pernah datang, tapi di hadang oleh para penjaga, lalu ayah tuan berbicara sesuatu pada ibunya, lalu ibuya tidak pernah datang sejak saat itu."
"Tapi kenapa? Maksud ku, ibunya kan bisa menemuinya diam-diam?"
"Oh, dulu mereka tinggal di Jerman, ibunya tuan orang Jerman, lalu saat pindah ke Indonesia, mereka lost contact."
"Oh." Andai aku bisa menemukan ibunya, pasti dia akan senang. Tapi apakah ibunya masih hidup? Entahlah.
Aku keatas menemani Henry, panasnya belum turun banyak, tapi dia bisa tidur nyenyak tidak mengigau. Tak terasa hari sudah sore, aku lapar, aku makan dulu, aku lupa belum makan seharian.
-Drrt drrt drrrt-
Ponselku bergetar, adikku meneleponku. Jelita.
"Halo Je, tumben nelpon."
"Mbak, aku ga usah sekolah kedokteran ya mbak? Mahal banget mbak biayanya."
"Masuk aja gak papa dek, bulan depan mbak udah ada uangnya."
"Mbak, aku kasihan sama mbak, harus pura-pura menjadi Cassandra demi biaya kuliahku."
"Kalau kamu kasihan, belajar yang rajin, yang benar, tiru Mas Rian, biar bisa jadi dokter yang baik dan pintar seperti dia."
"Iya mbak. Mbak gak papa kan disana? Mbak masih suka dipukuli?"
"Ngga, dia sudah baik sama mbak."
"Hati-hati ya mbak, jangan malah jatuh cinta, repot."
"Akh, ya ga mungkinlah. Udah dulu ya, mbak lagi makan, kelaparan. Bye."
Aku mematikan panggilan telepon, tersenyum memikirkan adik perempuanku yang lebih muda 5 tahun dariku, Jelita sangat cantik dan pintar, Jelita bercita-cita jadi dokter. Jelita harus meraih cita-citanya, jangan seperti aku.
"Habis nelepo siapa?"
"Astaga."
Henry tiba-tiba muncul di ruang makan. Mengagetkan saja.
"Kamu sudah bangun?" Aku berdiri dan menyentuh dahinya, panasnya sedikit turun. "Kamu mau makan?" Henry menangguk. Aku ambilkan bubur sayur yang aku buat dan segelas teh manis panas. "Makanlah."
Kami makan dengan tenang, Henry sepertinya kelaparan makannya lahap sekali. "Mau nambah?" Henry mengangguk, aku ambilkan lagi, dan dia dengan lahap memakannya lagi. Apakah enak sekali rasanya? Padahal masakanku rasanya biasa saja.
"Maaf ya, aku membuatmu mencari-cariku, membuatmu demam."
Henry menatapku, meletakan sendoknya, menyesap tehnya.
"Iya, kamu berhutang padaku, kamu harus menebusnya!"
Duh, nih tuan galak udah kembali ke mode original, ketus dan pahit. "Kenapa aku jadi berhutang?"
"Ya berhutanglah, kamu sudah membuang-buang waktuku, waktu adalah uang, jadi kamu berhutang padaku."
Aku melongo tak percaya, ternyata begini caranya dia menjadi kaya, memeras orang lain. "Baiklah, bagaimana aku melunasi hutangku?"
"Masak setiap hari untukku."
"Tiap hari? Kadang aku harus bekerja dan tidak bisa masak."
"Masak satu kali saja setiap hari."
"Baiklah. Aku akan memasak setiap hari."
"Buatkan aku kalpertaart lagi ya?"
"Sekarang?"
"Lebaran kuda! Ya sekaranglah."
"Kamu bisa ga sih bicaranya lebih halus? Udah minta dibuatkan malah marah-marah." Gerutuku.
"Terserah aku lah! Kamu ga berhak protes!"
Dasar bunglon, sebentar-sebentar berubah, berubah kok sebentar!
Tolong dukung cerita ini dengan:
1. Beri power stone
2. Kasih bintang 5
3. Komen dan like
terimakasih