6.
Senang rasanya bisa bertemu sahabat, walau lama tidak berjumpa dan berbincang, tapi kami masih memliki ikatan yang sama, same chemistry, bisa-bisanya kami hanya saling tatap lalu menertawakan hal yang sama. Rian dulu pernah menyatakan perasaannya padaku, tapi aku tolak dia, karena rasanya aku hanya merasa dia lebih baik menjadi sahabat, bukan karena aku tidak suka padanya, aku hanya takut dia akan kecewa dengan keluargaku, aku takut hubungan kami akan kacau. Jadi sebaiknya kami tetap bersahabat saja. Aku juga tidak berpikir untuk menikah, aku rasa tidak akan ada laki-laki yan tertarik dengan wanita dari keluarga yang kacau.
Aku pulang saat sudah sore, seperti biasa, rumah mewah ini akan selalu sepi, beda dengan rumahku yang akan selalu ramai, entah karena tetangga yang berisik di luar rumah, atau karena orang tuaku adu mulut, maklum rumahku terletak di gang di pinggiran ibu kota. Walau begitu, rasanya lebih nyaman tinggal di rumah.
Segera aku menuju dapur untuk mengambil air minum di kulkas. Ah, lega rasanya minum air dingin ini. Aku naik ke kamarku, aku akan mandi sebentar lalu istirahat.
-Deg-
Astaga. Kenapa monster ini masih disini dengan piyamanya? Apa dia tidak pergi?
"Ckckck, istri macam apa yang izin pergi joggin, tapi baru pulang sore hari. Kamu jogging atau sibuk menggoda pria lain?" Henry menatapku tajam, dengan rokok yang mengepul di tangan kanannya, dihisapnya rokoknya itu dan disebulkannya asap itu ke wajahku.
"Uhuk... uhuk... uhuk..." Akupun terbatuk. Aku diam tidak menjawab pertanyaannya.
Henry mendekatiku, aku mundur, entah kenapa aku merasa bersalah karena sudah pergi untuk bertemu Rian. Aku berhenti karena terpentok dinding. Henry menendus leherku dengan hidunnya, gesekan hidungnya membuat bulu kudukku merinding.
"BAU!" Teriaknya, membuat jantungku hampir copot.
"MANDI! Setelah itu ikut aku!"
Aku mengangguk lalu berlari ke kamar mandi, menutup pintunya dengan cepat lalu menguncinya. Sial! Aku lupa membawa pakaianku, juga jubah mandiku, hanya ada handuk kecil.
Aku mandi, aku berendam cukup lama, aku membuang sedikit waktu untuk tidak bersamanya!
"Hey! Cepatlah! Jangan sampai aku dobrak pintunya!"
"Iya!" Sahutku, aku keluar setelah sedikit menguping dari pintu, masih ada orang atau tidak. Aku keluar hanya dengan handuk yang melilit, masuk ke dalam ruangan pakaian. Dan, kenapa tuan kejam ini ada disini, sedang memilih dasi. Biasanya dia tidak pernah memakai pakaian yang ada disini.
"Kenapa benong saja, cepat bersiaplah!"
Aku segera mencari pakaian semi formal, karena aku tidak tahu akan dibawa kemana, dan tidak berniat bertanya, jadi aku mengambil gaun midi warna hijau pupus.
"Arkh... a-apa yang kamu lakukan Hen-ry."
"Apakah seorang suami perlu menjelaskan saat ingin memeluk istrinya?"
Dag dig dug dag dig dug, jantungku berdebar sangat cepat, hingga aku keringat dingin. Ya, dia suami Cassandra, dia berhak untuk tubuh Cassandra, tapi aku bukan Cassandra. Henry mencium leherku. "Ahhh..." tanpa sadar aku mendesah. Oh, apa yang aku rasakan barusan, hingga membuatku mendesah? "Ahh..." lagi-lagi aku mendesah karena semakin kencang hisapannya dileherku dan tangannya meraba dadaku. Aku ingin menolak, tapi dadaku semakin aku busungkan meminta lebih dari Henry. Henry membalik badanku, tatapan matanya berbeda, tidak seperti akan menyiksaku. Aku hanya bisa mengerjapkan mata saat bibir Henry melumat bibirku, lembut, ciumannya lembut, dia tidak pernah mencium seperti ini, biasanya dia dengan kasar mencium dan menggagahiku, kali ini berbeda, membuatku membalas ciumannya, lidahnya juga masuk dan bermain dimulutku, rasanya geli.
"Cantik..." Katanya.
APA! Henry memuji? Memujiku? Apa dia sedang konslet?
"Ahh..."
Entah apa yang sudah Henry lakukan, yang aku rasakan hanya tubuhku menuntut Henry terus, menuntut untuk dipuaskan. Hingga aku mencengkram punggungnya dengan kuat dan meneriakkan namanya, "Henry... Ahh..."
"Cassa... Ahh..."
Apa yang sudah kami lakukan di ruang ganti pakaian? Henry ambruk diatasku. Apa yang baru aku rasakan? Kenapa rasanya berbeda? Tidak seperti yang sudah-sudah? Henry mengangkat badannya, menatap wajahku, lalu membelai rambutku, kemudian menjadi marah. Dia memakain pakaiannya kembali dengan gusar, membuatku kebingungan.
"Kenapa diam saja! Cepat berpakaian! Aku tunggu di mobil!" Dengan nada kasar Henry memerintahku. Sial! Apakah aku baru saja mengizinkan dia menikmati tubuhku dan aku menikmati tubuhnya? Oh kacaunya! Aku segera bersiap dan masuk ke dalam mobilnya.
Henry sibuk dengan laptopnya. Bekerja.
"Jalan." Henry memerintah Andre, kepala sekretaris yang selalu mengemudi untuk Henry, asisten kepercayaan Henry. Sepanjang perjalanan Henry hanya sibuk denan laptopnya, sementara aku sibuk melihat langit sore ibu kota yang tidak seberapa cantiknya lalu tertidur di kursi. Kami berhenti disebuah mall, apa yang akan kami lakukan disini?
"Silahkan tuan, nyonya." Andre membukakan kami pintu.
"Terimakasih."
"Tugas saya nyonya."
Aku mengekori Henry dan Andre yang berjalan cepat didepanku, aku sudah terlalu lelah hari ini. Henry berhenti, menungguku, lalu mengamit lenganku, dan berjalan cepat supaya aku mengikuti langkahnya.
"Kenapa jalanmu lambat sekali!"
"Aku capek!" Jawabku ketus, lama-lama emosi juga kalau dikasari terus. Henry tetap menarikku sampai di toko perhiasan. Kami berjalan, naik lift hingga lantai 5.
"Selamat datang tuan, nyonya, ada yang bisa kami bantu."
"Keluarkan seluruh koleksi jepit rambut kalian!" Perintah Henry pada pelayan toko.
"Baik tuan, disebelah sini tuan koleksinya." Pelayan toko membawa kami ke salah satu sudut dan memperlihatkan jepit rambut, tusuk rambut, juga aksesori rambut lain yang terbuat dari emas dan berlian.
"Pilih!" Henry menyuruhku untuk memilih, aku bingung, kenapa dia mau membeli jepit rambut, untuk siapa?
"Untuk siapa aku memilih?" Tanyaku.
"Ya untukmu bodoh! Apa kamu pikir aku bagus memakai jepit rambut?" Dengan sinisnya dan tatapan penuh kebencian itu. Akh, menyebalkan sekali orang ini. Aku memilih satu penjepit rambut yang terlihat sederhana.
"Pilih lagi!"
Aku memilih lagi satu tusuk rambut yang sederhana juga berbentuk bunga.
Henry melepas jepit rambut yang diberi Rian tadi. Menggantinya dengan jepit rambut yang berhiaskan berlian dan ruby. Aku mengambil jepit rambut dari Rian aku masukan kedalam tas kecilku
"Ayo." Kami keluar toko dengan membawa dua perhiasan tesebut yang harganya fantastis. Henry meminta jepit rambut yang ada di tasku. Jepit rambut dari Rian, lalu dia membuangnya ke bawah, jatuh kedalam kolam yang ada di lantai paling bawah.
"Kenapa kamu buang?" Itu pemberian sahabatku, aku selalu menjaga setiap pemberian orang lain, karena aku merasa disayang jika aku diberi suatu hadiah. Aku segera berlari kebawah menggunakan ekskalator.
"Cassa! Berhenti!" Aku tidak menggubrisnya, itu hadiah ku, apa yang kamu beri ini milik Cassa, bukan milikku.
-Byur- aku masuk ke kolam yang dangkal itu, mencari jepit rambutku, untungnya kolamnya bersih sehingga degan mudah menemukan jepit rambutku. Dengan malu aku keluar dari kolam dan segera menuju parkiran.
Tolong dukung cerita ini dengan:
1. Beri power stone
2. Kasih bintang 5
3. Komen dan like
terimakasih