Selepas salat Subuh, Audia langsung menuju dapur, tidak sabar mencoba peralatan dapur mewah itu. Dengan bersenandung, dia membuka kulkas dan memindai isinya. Ternyata lumayan cukup banyak stok makanan dan bahan mentah di sana. Tanda Alvin sepertinya gemar memasak juga, atau well bisa saja mendadak kulkas ini terisi bahan makanan karena dirinya akan menikah? Audia memilih yang nomor 1. 'Boleh, dong, ya, ngarep punya suami udah ganteng, pinter, kaya, eh, pinter masak, ... eh, kenapa jadi ngelantur gini, sih. Sadar Didi! Dia masih dosen yang nyebelin itu, lho!' Audia bermonolog dalam pikirannya.
Audia lantas mengeluarkan bahan-bahan yang akan digunakannya membuat sarapan pertamanya—di dapur mewah itu. Karena tidak ada nasi, pilihan jatuh pada menu pasta. Sementara Alvin duduk santai di ruang sebelah sambil membuka-buka aplikasi yang ada di ponselnya. Berselancar sejenak di dunia maya. Karena akhir pekan dan belum resmi bekerja di perusahaan Mandala Hutomo, plus mendapat cuti menikah tiga hari —terhitung mulai Senin besok—dari kampusnya, dirinya bisa sesantai ini. Tidak perlu terburu-buru menyiapkan bahan untuk persentasi.
Satu bungkus pasta spagethi, susu cair, telur, maizena, keju cheddar, smooked beef, butter, bawang putih, bawang bombay, oregano, peterseli, lada hitam, garam, minyak zaitun, dan minyak goreng telah siap berjejer di atas meja granit yang akan Audia eksekusi.
Pertama-tama Audia memanaskan air hingga mendidih—sambil menunggu air panas, Audia menyiapkan bumbu-bumbunya—bawang putih dan bawang bombay—dicingcang kasar, lalu smooked beef dipotong-potong memanjang.
Setelah air mendidih Audia menyiapkan dua gelas kosong untuk membuat kopi latte instan, yang ditemukannya di dalam lemari kitchen set. Sebagian air ia gunakan untuk menyeduh dua gelas kopi itu. Selebihnya untuk merebus spagethi, sambil diaduk sesekali selama 10-15 menit agar pasta memiliki tekstur yang kenyal dan tidak terlalu matang. Kemudian ditiriskan dan diberi 1 sdm minyak zaitun agar tidak menempel.
Prepare selesai, Audia mulai memanaskan sedikit minyak dan butter, kemudian menumis bawang putih dan bawang bombay hingga harum.
Aroma wangi kopi dan bumbu sudah menguar dari dapur mengundang selera Alvin dan seketika perutnya terasa lapar. Diletakkannya ponselnya di atas meja. Perlahan, dia melangkahkan kakinya menuju dapur. Dan duduk di kursi meja makan. Memperhatikan istrinya yang mondar-mandir, memasak dengan serius.
Tampak Audia tengah memasukkan smooked beef dan mengaduknya hingga rata. Kemudian menuang susu cair—disisakan secukupnya untuk finishing. Memasukkan parutan keju, sedikit garam, lada, oregano, peterseli, kemudian mengaduk kembali hingga merata dan mencicipinya. Setelah dirasa pas, Audia memasukan spagethi dan mengaduknya lagi hingga rata.
Alvin kemudian beranjak dari kursinya mengambil mangkuk kecil, diambilnya setengah sendok teh maizena dan dilarutkan dengan air secukupnya. Larutan maizena itu ia sodorkan pada Audia yang langsung tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Kemudian dituangnya ke dalam spagethi. Diaduknya lagi hingga rata.
Terakhir, Audia menuang kocokan telur dan sisa susu, mengaduknya kembali dengan api kecil hingga kuahnya jadi creamy. Dan segera mematikan kompor dan Audia menatanya di dua piring saji. Sebagai sentuhan terakhir, Audia menaburi keju parut dan daun parsley di atasnya. Dan ..., voila! Spagethi carbonara ala chef Audia telah jadi. Bon appetit!
Untuk sejenak, sepertinya hal ini terasa menyenangkan bagi Audia dan Alvin. Mereka pun menyantap sarapan pagi itu dengan lahap ditutup dengan segelas kopi latte buatan istri.
"Ah, ternyata istriku pandai memasak," puji Alvin jujur membuat Audia tersenyum.
***
"Kamu mau pulang ke mama?" tanya Alvin setelah membantu Audia membereskan bekas sarapan pagi mereka berdua. Alvin berdiri bersisian di pinggir meja granit yang sudah bersih.
"Lupa? Aku, kan masih kuliah, Mas. Dan buku-buku aku, tas, alat tulis semua masih di rumah, kan. Baju-bajuku juga, lho." 'Salah siapa coba, tiba-tiba melamar trus langsung nikah tanpa pemberitahuan?' lanjutnya dalam hati.
Tiba-tiba saja Audia teringat lagi kalau Alvin suaminya adalah pak Mandala yang menyebalkan itu. Matanya lalu menelisik wajah Alvin. Setiap inchi dari wajah Alvin diteliti sambil sesekali Audia memicingkan matanya.
"Kenapa?" tanya Alvin terdengar menggoda. Seketika suara baritone-nya memecah konsentrasi Audia.
"Masih mikir, mas Alvin sama pak Mandala betulan orang yang sama?" jawabnya polos. Seketika membuat Alvin tertawa dan mengacak-acak rambut Audia.
Alvin kemudian beranjak meninggalkan dapur sambil masih tertawa.
"Eh, beneran, lho, ini aku nanya. Pak Mandala yang aku kenal itu nyebelin, udah gitu jutek, pelit senyum, muka datar, angkuh, sok cool, killer. Pokoknya nyebelin!" tutur Audia seraya mengekor Alvin. Menghentak-hentakan kakinya setiap kali melangkah.
"Terus? Yang kamu kenal ini?" tanya Alvin memancing.
"Yang ini, selalu tersenyum, meski sedikit gila, jahil, dan ... dan ...." Seketika wajah Audia memerah, teringat kejadian semalam.
"Dan apa?" tanya Alvin, seraya memasang kacamata yang biasa dia kenakan saat mengajar selama lima bulan lalu.
"Dan ... wow! Pak Mandala!" Audia terkesiap. "Pak Mandala, eh, bukan ... bukan, Mas Alvin bermuka dua, ya?" pertanyaan konyol lolos begitu saja dari mulutnya. Membuat Alvin gemas kemudian menjepit hidung Audia di antara telunjuk dan jempolnya. "Auch! Sakit, dong!" jerit Audia dan spontan memegang hidungnya.
"Lagian, ocehan kamu aneh. Muka dua. Masa ngomong gitu sama suami." Alvin maju selangkah dan merapatkan tubuhnya, sehingga jarak antara Audia dan dirinya hanya beberapa inchi. "Kamu lebih suka yang mana?" tanya Alvin dengan muka serius.
"Pak Mandala mau ngapain?" tanya Audia polos. Seketika tubuhnya meremang, teringat kejadian semalam, lagi. Tanpa peringatan bibir mereka sudah menyatu, membuat Audia merasakan kembali hal yang aneh itu, seperti tadi malam. Badannya terasa lemas.
Tiba-tiba Alvin menjauhkan bibirnya dan melepas kacamatanya. Matanya lurus menatap mata Audia.
"Bagaimana rasanya dicium sama dosen kamu?"
"—" Audia terlalu syok untuk menjawab. Matanya terlihat menganak sungai.
Tak disangka reaksi Audia saat itu hanya terdiam, menundukkan kepalanya, perlahan bulir-bulir air mata meluncur deras membasahi kedua pipinya yang memerah. Bahunya bergetar.
Alvin langsung merengkuh tubuh Audia. Mencoba menenangkan. Namun, bukannya mereda, tangisan Audia makin menjadi.
"Aku benci Pak Mandala!" ucapnya di antara isak tangisnya.
"Maaf," ucap Alvin lirih. Tadinya dia hanya ingin menggoda istrinya itu, tapi sekarang malah diliputi rasa bersalah. Didekapnya makin erat tubuh istrinya itu hingga perlahan getaran di bahunya berhenti.
"Jadi ke rumah mama papa?" tanya Alvin kemudian, seketika membuat tangis Audia berhenti. Masih dalam pelukan Alvin, Audia mendongakkan kepalanya agar bisa melihat jelas wajah tampan suaminya itu. "Gimana? Jadi gak?" tanyanya lagi.
Audia menganggukkan kepalanya. Kemudian menyeka hidungnya yang meler akibat menangis. Hidung dan pipinya terlihat memerah, tampak menggemaskan, menggoda Alvin untuk menciumnya kembali, namun ....
"Igh, Didi ... kamu meper!" Seketika membuat Alvin melepas pelukannya. Dilihatnya lengan dan sebagian ujung lengan baju kaos pendeknya telah menjadi korban cairan lendir—ingus dari hidung Audia–saat menangis tadi, akibat ulahnya sendiri.
"Rasain!" rutuk Audia puas, kemudian memajukan bibirnya dan beranjak dari tempatnya berdiri, menjauhi Alvin. Hatinya benar-benar kesal. Bisa-bisanya pak Mandala alias Alvin, yang kini menjadi suaminya membuat dirinya menangis, lagi.
***