Ricky Alviano adalah seorang anak laki-laki yang berasal dari keluarga yang cukup berada. Ia sangat di manja oleh orangtuanya, berhubung dia anak semata wayang dari pasangan Rendy Alviano dan Wilona Alviano.
Walau begitu, ia adalah seorang remaja yang sulit jatuh hati. Di usia yang hampir menginjak kepala dua, dia masih belum menemukan seorang wanita yang pantas ia cintai ataupun di kagumi.
Hingga di saat orientasi kampus, ia bertemu seorang wanita bertubuh kecil dan pendek yang mampu menarik perhatiannya.
Jantungnya deg-degan kala itu.
'Apa yang terjadi denganku? Kenapa juga aku merasa malu dan seperti salah tingkah berada dekat dengannya?' batin Ricky sembari memegangi bagian dadanya.
"Hei, siapa namamu? Kenapa melamun? Apa kau ingin mendapat hukuman sekarang?" tanya Kakak Senior yang terlihat menyeramkan itu.
"Hei, apa kau mendengarku?" tanyanya lagi dengan suara lantang membuyarkan lamunan Ricky.
"Eh, maaf, Kak. Aku sedang tidak enak badan," imbuh Ricky mencoba berkelit untuk mengamankan diri.
"Hem, kau sedang tidak enak badan atau karena tertarik dengan seseorang di sini?" selidik Kakak Senior itu.
Seketika Ricky gugup tak bisa berkata apa-apa. Sifat aslinya memang seperti itu, pendiam, polos dan jujur.
"Tampaknya kata-kataku tidak salah. Sekarang maju dan jelaskan apa yang baru saja kami sampaikan!" perintah Kakak Senior itu dengan tegas membuat para peserta sedikit takut dan akhirnya memperbaiki posisi dan berusaha fokus.
"Ayo, ayo, cepat maju. Waktunya sebentar lagi akan habis, biasakan menggunakan waktu dengan baik," imbuh Kakak Senior yang lain.
Ricky kemudian maju dengan membawa buku catatan kecil berisi pesan-pesan penting yang sempat ia dengar dan tulis.
"Ayo dimulai!"
Ricky terdiam, ia mencoba mengolah kata-kata yang ia tulis.
"Baiklah, aku beri kau keringanan. Dalam dua menit lagi, kau harus bisa mengutarakannya dengan baik dan jelas!" ujar Kakak Senior penuh penekanan.
Ternyata kalimat itu semakin membuat ia gugup, sedikit menatap ke depan, ternyata pandangan wanita yang ia pikirkan sedang menuju padanya. Kegugupan semakin menghantui dirinya. Dua menit berlalu, Ricky masih terdiam dan tidak memulai.
Satu
Dua
Tiga
Empat
"Baiklah, kesempatanmu untuk selamat telah hilang. Segera push-up sebanyak seratus kali. Dan, kalian semua harus ikut menghitung!"
Beberapa kali, semua peserta di sana terlihat fokus menghitung, berbeda dengan Ayu yang tampak iba dan memasang wajah kasihan.
"Okey, sudah cukup. Hei, kamu, iya kamu, kemarilah!" tunjuk Kakak Senior pada Ayu.
"Iya, ada apa, Kak?" tanya Ayu merasa gugup.
"Aku ingin bertanya, apa kalian memiliki hubungan khusus? Kenapa kau tampak sangat peduli dengannya?" selidik Kakak Senior.
"Eh, tidak, Kak. Kami tidak memiliki hubungan, kami bahkan saling tidak kenal."
"Aku lihat dari tadi, kau memperhatikan dia terus, begitu juga kau. Sejak dia dihukum, kau terus saja memperhatikannya. Tapi baiklah, mungkin kau sangat ingin membantunya. Sekarang coba jelaskan apa yang kami sampaikan tadi," lanjut Kakak Senior dengan memerintah Ayu.
Ayu memiliki kemampuan dalam bidang menangkap pelajaran dengan cepat dan baik. Walau masih merasa gugup dan sedikit malu, ia mencoba mengutarakan yang tersimpan di otaknya.
"Dan, e ..." Ayu tergeragap dan kemudian terdiam, seperti ada yang terlupa. Ayu mengernyitkan dahi, tak lagi dapat berkata-kata.
"Ada apa? Huh, tampaknya kau juga tidak fokus. Tubuhmu ada di tempat ini, tapi pikiranmu melayang jauh. Sekarang, kau juga mendapat hukuman yang sama. Segera push-up sebanyak lima puluh kali."
Tanpa perlawanan, Ayu menurunkan tubuhnya. Namun, masih di hitungan ke dua. Tubuh kecil Ayu ambruk di lantai. Sepertinya kekebalan tubuhnya tidak kuat seperti yang lain.
"Ini nih kelebihan cewek. Sangat cakap dalam bersandiwara," protes Kakak Senior menyangka itu hanyalah kepura-puraan.
"Maaf, Kak. Ini adalah kesalahan saya. Saya yang akan menggantikan dia dan dua kali lipat," timpal Ricky merasa bersalah.
"Baiklah, segera lakukan dan jangan terlihat lemah!" perintah Kakak Senior.
Masih beberapa kali hukuman itu terlaksana, Kakak Senior membubarkan acara dengan alasan habis waktu.
"Lain kali bersikaplah lebih baik, jangan bermain-main. Jika waktunya belajar, maka fokuslah belajar. Tentang perasaan dan urusan pribadi bisa diurus di luar. Sekarang kalian istirahatlah!" ujarnya setelah ruangan sepi, tampaknya ia merasa bersalah karena memberikan kesan menyakitkan di masa perkenalan itu.
"Untung Kakak itu baik," gumam Ayu sangat pelan namun masih bisa terdengar oleh Ricky.
"Iya, itu benar," jawab Ricky mencoba menyahuti sebagai jalan pendekatan di antara mereka.
"Hem," sahut Ayu singkat kemudian meneguk air dari botol tupperware-nya.
"Em, aku juga haus. Apa kau tak berniat berbagi?" tanya Ricky polos karena memang memang sedang kehausan.
"Apa maksudmu? Em, aku bukan pelit hanya saja botolnya hanya satu dan maaf aku tidak mau berbagi botol dengan orang lain," ucap Ayu jujur.
"Haha ... Tenang saja, aku punya botol sendiri, hanya saja isinya sudah habis. Jadi, maukah kau berbagi sekarang?" tanya Ricky terlihat senang karena mendapat sedikit kedekatan dengan Ayu, si gadis yang sedang ia kagumi.
Tanpa basa-basi, Ayu menerima sodoran tangan Ricky dan mengisi botol itu. "Apa cukup?" tanyanya.
"Lebih dari cukup. Aku juga tidak mau nantinya kau menaruh dendam padaku hanya karena air minum ini."
"Haha ... Pikiranmu jauh sekali, aku bahkan tak berpikir ke sana."
"Haha ... Tenang, aku hanya menerka. Tapi, baguslah jika kau tak berpikir seperti itu. Kedengarannya baik," sahut Ricky cengengesan.
"Ya, ya, ya, tapi jangan lupa satu hal."
"Hal apa?" selidik Ricky tidak mengerti.
"Jangan lupa berterimakasih. Itu maksudku," canda Ayu.
"Terima kasih, em, siapa namamu? Aku jadi bingung," ujar Ricky basa-basi.
"Oh iya, kita bahkan belum berkenalan. Perkenalkan, namaku Ayu Sarah." Ayu mengulurkan jemarinya dan dibalas oleh Ricky tentunya dengan penuh kehangatan.
"Nama yang indah. Oh iya, namaku Ricky Alviano. Apa kau pernah mendengar marga itu sebelumnya?"
"Belum, apa ada yang salah dengan itu?" balas Ayu.
"Tidak, ku pikir margaku begitu terkenal makanya aku bertanya."
Mereka berbincang banyak hingga waktunya untuk pembagian kelas. Tak ingin kehilangan kesempatan, Ricky membulatkan tekad untuk meminta nomor whatsapp.
"Dasar ya kamu, sama saja dengan laki-laki lain. Bisanya modus aja," ledek Ayu.
"Eits, jangan salah, aku meminta itu untuk urusan kampus ya, bukan modus," balas Ricky sembari menyodorkan ponselnya.
"Hem, bisa aja emang manusia sekarang. Nih, silahkan isi nama aku dengan nama Ayu imuuttt," pinta Ayu seraya menyodorkan ponsel yang baru saja ia ketikkan nomor whatsapp.
"Baik, terima kasih. Ini lihat saja sendiri, sesuai keinginanmu, sudah aku pasang dengan benar." Ricky menunjukkan layar ponselnya pada Ayu. Dan benar saja, Ayu tertawa terbahak-bahak melihat namanya.