Aku sedikit mendongakkan kepalaku keatas. Bulan pada malam ini seperti sedang tengah terbakar, menunjukkan semburan apinya kepada seluruh manusia di bumi ini. Malam ini adalah bulan berdarah. Aku rasa tidak akan ada satu orangpun yang melihat langit malam ini tanpa merasa takjub. Ini sudah tengah malam. Aku rasa mama tengah panik mencari-cari keberadaanku. Namun apa boleh buat, aku masih berumur 5 tahun yang tak tau jalan pulang ke rumah. Kulangkahkan kakiku menuju bulan, mencari suatu tempat yang aku pikir cocok untuk dapat mengidentifikasi setiap detail langit malam ini. Mungkin bukit dibelakang sekolah adalah tempat yang aku cari. Jalan disepanjang Versailles kini sangat sepi namun tetap dapat mengundang angin yang berhembus dengan sempurna, meninggalkan suara sepoi-sepoi, dan meminta rambut cokelat Panjang dan halusku untuk menari. Aku menghentikan langkahku ketika aku mendengar suara nyanyian,
City of stars, are you shining just for me?
City of stars, there's so much that I can't see
Who knows?
I felt it from the first embrace I shared with you
Lagu itu terasa familiar dibenakku. Aku mengikuti sumber alunan nyanyian itu dan ternyata itu berasal dari tempat yang tadinya ingin aku tuju. Samar-samar aku melihat seorang anak laki-laki tengah berdiri sembari menyanyikan lagu itu. Aku tebak dia berumur empat tahun? Atau empat setengah? Entahlah. Yang jelas dia lebih pendek dariku. Aku tidak meledeknya. Aku hanya mengatakan fakta. Aku mendekati anak itu pelan-pelan agar tidak ketahuan. Naasnya, aku hanya memakai sendal jepit yang licin. Karena itulah aku tergelincir dan terjatuh, dan membuatnya menoleh ke arahku. Aku mencoba mendirikan tubuhku walaupun terlihat sedikit lunglai. Aku menoleh kearahnya. Dia mendekatiku pelan-pelan tanpa merasa takut.
"Kamu tidak apa-apa, mademoiselle?" Dia bertanya saat jaraknya padaku sudah cukup dekat. Aku tidak menanggapi pertanyaannya namun sibuk membersihkan dress putih yang kupakai. Gawat, mama mungkin marah jika menemukan noda yang menempel pada dress ini. Apalagi ini adalah hadiah ulang tahunku dari mama. Aku kembali menatap ke arahnya. Anak laki-laki ini memiliki warna rambut blonde dan iris mata berwarna biru. "Kamu ngapain malam-malam ada disini?" aku menaikkan alisku. Dia jelas terlihat lebih muda dariku tapi mengapa dia mempertanyakan pertanyaan yang seharusnya menjadi dialogku? Dia terlihat bingung melihatku tidak menanggapi segala pertanyaannya. "Kamu tadi bernyanyi,"
Anak laki-laki itu melangkahkan kakinya ke ujung tebing itu dan menduduki sebuah batu besar yang terlihat kokoh. Ia menoleh kearahku lalu bergeser sedikit dan menepuk-nepuk batu disebelahnya pelan, menyuruhku untuk duduk disebelahnya. Aku hanya menurut. Tangannya terangkat mencoba mengarahkan pandanganku pada bulan berdarah yang tengah melayang di langit. Aku menarik nafas panjangku dan menghembuskannya perlahan.
That now our dreams
They've finally come true
"Nequitia(?)" sahutnya. Aku tidak tau apakah dia bertanya atau hanya menyebutkan suatu nama.
"Nequitia?" aku menaikkan alisku. Dia menatapku sejenak dan mengalihkan pandangannya kembali ke depan. "Kamu tau lagu itu?" dia bertanya padaku namun pandangannya masih mengarah ke depan. Sudut di kedua bibir ku terangkat sedikit. "Mama menyanyikanku lagu itu setiap malam sebelum aku tidur," dia menoleh sejenak. Matanya mengelilingi wajahku, mencoba melihat-lihat dengan detail setiap inchi dari wajahku. Aku menceritakan padanya bagaimana mama dengan ekspresi bahagianya dapat menyanyikan lagu yang sama di setiap malam tanpa rasa bosan. Dia tertawa mendengar ceritaku membuatku semakin ingin bercerita. Angin semakin banyak menabrak tubuh kami sementara kami sibuk menceritakan segala cerita yang dapat kami lontarkan dan membuat masing-masing dari kami tertawa.
"Kembali kesini saat bulan berdarah berikutnya, mademoiselle?" aku mengangguk. Dia mengeluarkan tangan kanannya dan mengeluarkan jari kelingkingnya. "Une promesse?" aku tersenyum mengangguk dan membalas jari kelingkingnya. "Namaku Selena," aku mengulurkan tanganku. "Aku Xavier," dia membalas uluran tanganku dan tersenyum manis.
"Ngh..?" silau. Aku membuka mataku dan mendapati mama tengah membuka tirai kamarku. Ternyata hanya mimpi. Ini sudah hari ke-3 aku putus kontak dengan Alex, namun semenjak itu pula aku bermimpi mimpi yang sama selama tiga hari. Entahlah, aku pikir itu hanya kebetulan saja. "Kamu lihat jam berapa sekarang?" tanya mama dengan ucapan tegas namun tetap tersenyum. Aku menggerutu dan melihat jam di ponselku. Jam 06.30. Aku masih memiliki waktu satu jam untuk bersiap ke sekolah. Aku beranjak dari ranjangku dah langsung melesat bersiap-siap.
Aku menuruni tangga dengan seragam yang lengkap dan rambut diikat satu. "Selamat pagi, Selena," itu papa. Papa tengah duduk di meja makan dengan pakaian kantor yang lengkap dan terlihat menawan. Aku membalas sapaan papa dan berjalan menuju meja makan. Mama sudah menyiapkan sarapan pagi ini dengan lengkap di meja makan. Menu pagi ini adalah soupe a l'oignon dan ditemani dengan segelas susu. Kami menyantap sarapan dengan tenang. "Kamu sama papa pagi ini?" aku mengangguk lemas. Biasanya Alex akan menjemputku dan Sherina untuk berangkat ke sekolah. Sepertinya mama sudah menceritakan kepada papa bahwa Alex telah meninggalkanku.
"Lena, jangan biarkan kepergian satu orang menghancurkan perhatianmu pada orang disekitarmu," aku menatap papa yang tengah menatapku dalam. Aku mencoba untuk tersenyum dan beranjak dari kursi untuk mengambil tas sekolah dan memasang sepatuku. Tidak lupa aku memakaikan jaket tebalku. "Papa sudah siap?" tanyaku pada papa yang baru saja siap memakai sepatu pantofelnya. Papa hanya mengangguk dan menghidupkan mobil yang terparkir di garasi.
Versailles pada pagi hari memang sangat padat dan juga dingin. Namun aku tetap sampai di sekolah dengan tepat waktu. Sherina langsung menghampiriku begitu aku turun dari mobil dan mengucapkan salam pada papa. "Kamu datang tidak sepagi biasanya," ucapnya. Wajar saja dia berkata seperti itu, tinggal lima menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi. Aku berjalan bersamanya melewati koridor sekolah hingga sampai ke kelas.
"Aku bermimpi aneh, Rin," Sherina menatapku dan menunggu penjelasanku. "Aku bermimpi saat berumur lima tahun aku bertemu anak laki-laki bernama," aku terdiam sejenak dan menyentuh keningku mencoba untuk mengingat kembali mimpiku. "Bernama?" Sherina menatapku. "Entahlah aku lupa. Yang jelas setelah Alex pergi aku terus bermimpi seperti itu," Sherina hanya diam. Ia mencoba memikirkan sesuatu. "Aku rasa itu ingatan masa lalu kamu Len," Ingatan masa lalu? Bermimpi tiga kali sangat tidak kebetulan untukku. Tetapi memang benar aku tidak bisa mengingat apapun di masa kecilku.
**