Chapter 27 - KEPUTUSASAAN PART 3

Suara burung-burung yang berkicau saling bersahut-sahutan dan sinar matahari yang masuk dari celah jendela membuat mataku yang sejak tadi terpejam, kini terbuka. Tanpa terasa waktu telah berganti menjadi pagi. Malam ini aku tidur begitu nyenyak. Aku berharap Renata pun merasakan hal yang sama denganku.

Aku menoleh dan menatap ke arah samping, Renata sudah tidak terlihat. Sepertinya dia sudah bangun dan hanya aku yang masih tidur lelap hingga tanpa terasa hari sudah begitu terang. Aku mencoba bangun dan beranjak dari tempat tidur. Meskipun malas karena rasanya ingin sekali seharian ini berbaring di tempat tidur untuk menghilangkan semua rasa lelah. Jika saja aku sedang berada di kamarku sendiri maka itulah yang akan aku lakukan, terus berbaring hingga ibu datang dan membangunkanku. Haah, sungguh kurindukan saat-saat itu.

Tetapi saat ini aku sedang berada di rumah orang lain dan sudah saatnya bagiku untuk pergi dan kembali melanjutkan perjalanan. Setelah merapikan penampilan, aku pun bergegas keluar dari kamar.

Kugulirkan mata ke sekeliling rumah begitu melewati pintu. Rumah tampak sepi, aku bahkan tidak melihat Zero di mana pun.

Tap ... Tap ... Tap ... Tap ...

Namun aku yakin mendengar suara langkah kaki banyak orang dari luar. Jika di dalam rumah begitu sepi seolah rumah ini tak berpenghuni, lain ceritanya dengan kondisi di luar karena aku bisa mendengar sangat ramai di sana. Ada apa sebenarnya?

"Ayo cepat!"

"Di mana tempatnya?"

"Di dekat gerbang."

"Cepat ... Cepat ..."

Tidak salah lagi memang begitu ramai di luar rumah, bahkan suara beberapa orang yang berbicara bisa kudengar dengan jelas dari dalam rumah. Rasa penasaranku mulai naik ke permukaan, aku lalu mengintip dari jendela dan aku lihat begitu banyak orang sedang berlarian. Entah apa yang terjadi, tapi satu hal yang pasti sesuatu terjadi sehingga orang-orang berlarian untuk melihatnya. Rasa penasaran dan keingintahuanku yang besar, membuatku bergegas keluar dari rumah dan ikut berlari bersama orang-orang itu.

"Maaf, apa yang terjadi? Kenapa sangat ramai?" tanyaku pada beberapa orang yang kini berlarian bersamaku.

Tetapi tidak ada seorang pun yang menyahuti, aku mulai merasa kesal karena sikap penduduk di desa ini begitu aneh dan menyebalkan. Sejak menginjakan kaki di sini kudapati mereka semua begitu cuek pada pendatang baru dan sama sekali tidak bersahabat. Meski Lily dan keluarganya cukup baik karena masih mengizinkan aku dan Zero untuk menginap di rumah mereka tapi tetap saja mereka pun sangat pendiam, tak banyak bicara.

Dalam situasi seperti ini sepertinya hanya ada satu cara untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di desa ini. Aku harus tetap berlari bersama mereka dan melihat dengan mata kepalaku sendiri apa sebenarnya yang terjadi sehingga penduduk desa terlihat panik dan berlarian menuju suatu tempat seperti ini.

Aku menghentikan lari ketika melihat orang-orang berkerumun di dekat gerbang. Aku tidak bisa melihat apa pun karena terhalang oleh kerumunan orang-orang itu. Aku berjalan berusaha menerobos keramaian penduduk desa yang berdesakan dalam kerumunan ini.

Sedikit demi sedikit, aku berhasil berjalan ke depan hingga akhirnya berhasil mencapai garis terdepan. Sesaat lagi aku bisa mengetahui sumber dari keramaian ini.

Aku menatap ke arah depan, ke arah yang sedang ditatap semua penduduk desa yang berkerumun ini lebih tepatnya. Dan kuyakini tatapan mereka tertuju pada satu arah yaitu menatap gerbang masuk desa. Seketika itu juga kedua mataku membulat sempurna, bukan hanya keterkejutan yang aku rasakan namun aku pun merasakan ketidakpercayaan dan kesedihan yang amat besar yang bercampur aduk menjadi satu di dalam hati.

Tepat di depanku pemandangan yang mengerikan terlihat. Seorang gadis tengah tergantung tepat di depan gerbang. Seutas tali menjerat lehernya dengan amat kuat sehingga kepalanya terkulai lemas. Kedua mata gadis itu melotot seram yang memperlihatkan betapa kesakitan dia saat berada di detik-detik akhir hidupnya. Mulut terbuka dengan lidah yang menjulur keluar pertanda dia meregang nyawa dengan amat tersiksa. Tampaknya tali yang mengikat lehernya dengan sengaja diikatkan pada besi di atas gerbang. Namun yang menjadi alasan terbesarku merasakan ketidakpercayaan dan kesedihan ini karena gadis yang tergantung itu sudah sangat aku kenal. Tidak, bahkan semalaman aku berbincang-bincang dengannya.

Renata ... Gadis itu adalah Renata.

***

Pemakaman Renata terasa begitu sepi. Hanya aku, Lily, Josh dan Zero yang menghadiri pemakaman gadis malang itu. Entah ini hanya perasaanku saja atau sebuah kenyataan, aku merasa penduduk desa ini sangat marah kepada Lily dan Josh setelah mereka menyaksikan Renata tergantung di depan gerbang. Bukankah seharusnya mereka turut berduka atas kejadian ini, ketika salah satu penduduk desa ini mengalami peristiwa menyedihkan seperti ini? Tapi entah kenapa penduduk desa ini justru terlihat sangat marah dan sama sekali tidak berduka. Bahkan tidak ada satu pun dari mereka yang mengucapkan turut berduka pada Lily dan Josh.

Lily dan Josh tidak henti-hentinya menguraikan air mata. Ya, aku rasa itu hal yang wajar, satu-satunya putri mereka tewas dengan sangat mengenaskan. Satu hal yang tidak henti-hentinya aku pikirkan, bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Kenapa Renata bisa tergantung di sana? Mungkinkah ada yang sengaja menggantungnya? Jika benar demikian, ini sebuah pembunuhan yang sangat kejam.

Meskipun pemakamannya telah berakhir, di dalam rumah, Lily dan Josh tetap terdiam dengan air mata yang tak kunjung berhenti berjatuhan dari kedua mata mereka yang terlihat mulai membengkak karena terlalu banyak menangis.

"Giania, lebih baik kita pergi sekarang juga."

Sebuah suara yang tiba-tiba terdengar dari arah belakang telah sukses membuatku tersentak. Perkataannya itu membuatku semakin yakin bahwa pemilik suara itu memang seseorang yang sangat egois dan tidak perduli pada penderitaan orang lain. Aku menatap Zero dengan penuh amarah, aku tidak menyangka dia akan mengatakan perkataan yang amat kejam seperti itu padahal dia tahu persis dalam situasi seperti ini Lily dan Josh pasti sedang membutuhkan orang lain untuk menghibur mereka atau setidaknya menemani mereka sampai suasana hati mereka mulai membaik.

"Bagaimana mungkin kau tega mengatakan itu? Di saat mereka sangat membutuhkan kita. Mereka baru saja kehilangan putri mereka dan kau dengan kejamnya menyuruhku untuk pergi meninggalkan mereka begitu saja?"

"Bukan begitu, Giania. Ini semua demi kebaikanmu."

Aku memicingkan mata, selalu itu alasan yang dikatakan Zero setiap kali dia mengajakku untuk pergi di saat orang yang membantu kami sedang tertimpa masalah. "Cukup, Zero. Terima kasih karena sudah menunjukkan padaku betapa kejamnya kau ini."

"Kali ini saja, aku mohon turuti perkataanku."

Aku berdecak, "Dengarkan aku, Zero. Di sini sedang ada pembunuhan. Seharusnya kau membantu mencari pembunuh Renata bukannya mengajakku untuk pergi."

"Ini bukan pembunuhan, aku melihatnya ketika Renata pergi dari rumah."

Aku terbelalak mendengar pengakuannya ini. "Lalu apa kau mengikutinya?"

Zero menganggukkan kepala, melihat hal itu aku yakin Zero mengetahui apa yang telah terjadi pada Renata.

"Apa yang terjadi pada Renata? Kenapa dia bisa tergantung di sana?"

"Dia sendiri yang mengikatkan tali itu."

"A-Apa kau bilang?" Tentu saja aku memekik, luar biasa terkejut mendengar ini.

"Dia sendiri yang mengakhiri hidupnya."

Ketidakpercayaan yang amat besar seketika kurasakan. Bukankah itu artinya Renata telah bunuh diri? Tapi kenapa? Kenapa hal ini bisa terjadi?