Chapter 7 - MIMPI

Arsyla dengan antusias menyambut abahnya yang baru saja pulang dari rumah orang tua Rayyan untuk memberikan jawaban bahwa lamaran untuk putra mereka telah di terima oleh Arsyla dan keluarga.

Abah Arsyla pun juga telah menyampaikan kepada istri dan putrinya kalau lamaran akan dilaksanakan bulan depan, setelah Rayyan pulang dari tugas.

"Nduk, calon suami kamu adalah seorang perwira. Apakah kamu siap mendampinginya, andai ia ditugaskan keluar pulau?" tanya abah Arsyla sambil menatap serius putrinya.

"Insyaallah, Syla siap, Bah. Arsyla akan berusaha menjadi istri yang baik dan tidak membuat Abah dan Umi malu." Gadis dengan mata jeli itu pun makin menundukan kepalanya untuk menyembunyikan air matanya yang sedari tadi ditahan.

"Bagus, jadilah anak kebanggan kami, dan istri yang berbakti pada suami." Abah Arsyla pun beranjak dari ruang tamu menuju kamar untuk beristirahat. Tak lama kemudian, disusul oleh umi Halimah. Sementara Arsyla masih duduk di tempatnya. Diam sesaat menikmati sisa-sisa rasa sesak di dadanya.

Kedua orangtuanya tidak pernah tahu seperti apa beban yang ia pikul saat ini selain Robbnya. Sedikit pun, gadis cantik itu tidak berani mengatakan rahasia hatinya ini pada mereka. Sekalipun pada umumnya karena dia takut, dan malu dengan perasaannya sendiri.

Dia tahu, masalah dan beban ini dia sendiri yang buat. Tapi, sungguh, ini berada di luar keinginannya. Dia sedikitpun tidak pernah menginginkan ini. Dalam hati ia juga sadar kalau ini adalah salah. Salah besar.

Tak lama kemudian, gadis itu beranjak meninggalkan ruangan tersebut dan masuk ke dalam kamarnya.

Arsyla berdiri di depan jendela kamarnya, pandangannya menerawang jauh tak jelas, seperti apa yang ada dalam hati serta pikirannya semua berkecamuk menjadi satu.

Ia pun sadar, ini adalah waktunya untuk berangkat kuliah. Di sepanjang perjalanan, Arsyla masih memikirkan tentang mimpinya beberapa hari lalu saat ia menginap di pondok.

Tanpa sadar ia mulai berkhayal bahwa Jordhan lah sebagai pengantin prinya.

Mereka berdua duduk di pelaminan dalam ikatan suci dengan balutan gaun pengantin putih lebar nan indah, keduanya saling tersenyum dan bahagia.

Serta hari-hari setelah pernikahan yang berjalan penuh bahagia, makan bersama, berjamaah, bahkan ke kampus pun bersama-sama.

Arsyla terbuyarkan dari lamunan saat kenek angkot meneriakan nama kampusnya.

Dengan segera gadis berhijab lebar dan memakai masker untuk penutup wajahnya itu segera mengulurkan selembar uang sepuluh ribuan, kemudian turun dari angkot.

Arsyla sedikit tersenyum saat mengingat bayangannya barusan, hingga ia tersadar saat melihat seorang pria berjalan di depannya, tepatnya beralawanan arah dengan dirinya. Pria itu mengenakan setelan celana jeans panjang robek di bagian kedua lutut, dengan kaus putih dan kemeja kotak-kotak biru, tak lupa kalung berleontin salip dengan ukuran lumayan besar selalu menghiasi leher pria tampan berambut pirang itu. Seolah menunjukkan dengan bangga simbol keyakinan dirinya yang melekat erat di hati.

Arsyla berusaha bersikap tenang dan menyembunyikan kegugupannya. Ia menunduk saat mereka sudah kian dekat hingga mereka berpapasan.

Sungguh di luar dugaan gadis kalem itu. Jordhan yang dia bayangkan akan meminta penjelasan seperti depkolaktor, ia justru nampak cuek. Jangankan memandang, melirik padanya saja sepertinya tidak. Lewat begitu saja kayaknya orang asing yang tidak pernah saling kenal sebelumnya.

Arsyla membuka matanya yang terpejam saat hidungnya tak lagi mencium aroma khas tubuh pria itu. Sejenak dihentikannya langkahnya dan menoleh ke belakang melihat punggung lebar Jorhan yang berjalan terus menjauhi dirinya. "Dhan. Apakah itu masih dirimu? Kau bahkan sudah nampak asing bagiku." Kembali, gadis berhijab lebar itu membakikkan tubuhnya, dan melanjutkan langkahnya menuju ruangan.

Sementara Jordhan, yang juga menahan agar tidak menyapa apalagi meminta penjelasan pada Arsyla juga melakukan hal yang sama. Ia juga menghentikan sejenak langkahnya, melihat ke arah belakang, pada hijab dusty yang Aryla kenakan terus melambai-lambai mengikuti gerakan langkah kakinya.

"Ternyata benar kau sudah tak peduli padaku, Sil?" Jorhan tersenyum getir, dan melanjutkan langkahnya menuju kantin untuk menemui Dion.

Kembali Arsyla mengumpat dalam hati, mengutuk dirinya sendiri, 'Dasar, kau halu! Jelas aja itu hanya ada dalam mimpi dan khayalanmu, dia itu Kristen protestan taat, mana mungkin bisa berpindah agama kalau bukan karna inginkan sesuatu? Jika sudah bosan, ya pasti kembali ke keyakinan sebelumnya. Jadi muslim itu beraat."

Arsyla mengelengkan kepalanya ringan dan terus berjalan melewati pria yang sebenarnya sudah seminggu ini dia cari kabar dan keberadaannya.

'Jordhan saja sudah tidak peduli sama aku. kenapa aku harus masih memikirkan dirinya? Cukup fokus saja dengan masalahku, pertunangan ku,' gumam Arsyla dalam hati.