Kebingungan adalah milik Riri. Mana mungkin harus ke rumah Gia subuh ini. Rumah Dimas ? Itu sama sekali kemustahilan sebab kejadian tadi siang.
Dengan uang seadanya Riri memberanikan diri menyewa kamar motel.
Di motel itu Riri merenungi dirinya. 3 tahun bersama Reza tentu bukan hal yang biasa-biasa saja. Banyak kenangan, rintangan, dan tantangan.
Reza adalah cowok yang rapi, meskipun wajahnya biasa-biasa saja. Awal kenalan mereka di sosial media. Sampai akhirnya bertemu dan jadian.
Seperti kisah cinta pada umumnya, Riri dihadapkan dengan perlakuan romantis. Ucapan selamat pagi, semangat kuliah, selamat tidur dan beberapa perhatian kecil lainnya.
Saat pertama kali mereka berkencan Reza menunjukkan gelagat yang baik. Tidak ada satupun tatapan yang menyeringai dari sosok Reza.
Riri memiliki banyak teman, sesekali Riri mengajak Reza ikut nongkrong bareng di salah satu cafe favorit Riri.
Reza nampak cemburu dengan perlakuan teman-teman Riri. Entah kenapa beberapa hari setelah itu perangai Reza mulai berubah. Reza banyak menuntut pertemuan berdua.
..
Gadis itu menantikan sesuatu yang entah apa. Ia selalu menghalau setiap yang mendekat. Membuang jauh-jauh yang mulai terasa. Menyibukkan diri dengan kesendirian. Siklus hidupnya tidak bervariatif dan biasa saja.
Itu benar terjadi. Berdampak sejauh ini dan seterusnya. Setelah ada seseorang yang memberi warna jingga, merah ruby kemudian ungu yang lebam dan hitam yang kelam.
"Kamu cantik Ri". Reza berbisik di telinga gadis itu. Riri hanya diam dan tersenyum. Dalam hatinya penuh debar dan malu.
Hanya mereka berdua yang tahu, apa yang terjadi. Disaksikan dinding kamar yang membisu. Ada yang hilang dan berlalu pergi.
"Za, kenapa harus? dengan sedu memegang tangan Reza di sampingnya.
"Tenang Ri, aku hantar pulang kok". Hanya kalimat itu yang terucap dari Reza dan mengelus rambut Riri.
...
Setelah malam itu berlalu. Reza menjadi benalu yang tak tahu diri. Riri hanya mengiyakan dan membisu. Jauh didalam hatinya ia meringis. Ada ingin untuk beranjak tapi ada ketakutan untuk meninggalkan.
Hal yang terjadi membekas dihati dan meninggalkan jejak dipikiran. Kemarahan Riri hanya meradang dalam diam. Penyelasannya terus berkecamuk.
Reza, ia adalah pecundang yang menang. Menawarkan manis yang legit kemudian memberi getir yang pahit. Reza telah memberi warna yang tidak berwarna. Mengukir hal bermakna tapi menyakitkan dan berbekas.
Riri dihempas habis-habisan tanpa ampun atas nama cinta. Selain kehormatan, wajah cantiknya juga kadang lebam oleh hantaman genggaman. Reza tidak segan-segan melakukan itu. Hal sepele menjadi luar biasa. Posesif adalah karib bagi Reza.
Riri bagai kapal karam yang malang, sementara Reza bagai perompak tanpa rasa kasihan.
"Udah Za, sakit. Ampun. Aku mohon" Riri menangis saat Ian menendang perutnya. Hanya karena teman satu kelas Riri menanyakan perihal tugas kuliah.
"Aku udah bilang jangan macam-macam!!!" Reza mengakhiri tendangan itu bersamaan dengan teriakkan yang cukup keras.
"Aku minta maaf Za. Maaf.." dengan tersedu-sedu sambil memegangi perutnya.
..
Riri memejamkan matanya. Bulir diujung mata mulai mengalir. Ia begitu tidak habis pikir dengan semua kejadian antara dirinya dan Reza.
Sebuah belenggu yang membuatnya menjadi sosok yang bisu atas perlakuan yang sebenarnya merugikan dirinya sendiri.
Dalam hatinya timbul pertanyaan. Apakah ia benar mencintai Reza atau hanya perasaan takut yang membuatnya bertahan?