Aku untuk kamu
Kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin
Iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu
Kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta takkan bisa pergi
Aku hanya diam mematung begitu baris lagu ini mampir di telingaku. Suara lagu ini terus mengema, terdengar biasa saja mungkin bagi orang lain, tapi bagiku lagu ini seperti menghentak-hentakan hatiku dan seolah membuat aku untuk kembali kedalam 5 tahun lalu. Dimana aku benar-benar menjadi seorang wanita, begitu dicintai, dihormati dan di jaga sepenuhnya. Bahagia? Tentu saja, walaupun itu sangat singkat.
Yogyakarta, 2015
Gerimis tipis tampak begitu menawan di kota pelajar sore ini, di hari minggu di tahun 2015. Aku suka hujan, terlebih gerimis karna entah kenapa itu bisa membuatku merasa tenang. Tidak, ini hanya gerimis tak sampai hujan.
Kota pelajar memang kota yg sangat aku sukai, dengan berbagai alasan. Sebagai kota yg ramah, kota yg tenang dan kota yg memiliki budaya yg masih kental. Aku bukan berasal dari sini sebenarnya, aku berasal dari kota sebelah yang terkenal dengan candi besarnya yg dulu masuk ke dalam tujuh keajaiban dunia. Walaupun begitu, aku juga tetap bangga dengan kota kelahiranku.
Gerimis semakin rapat, dan sayangnya aku tak membawa payung. Saat ini aku sedang berdiri di depan salah satu pusat perbelanjaan di daerah Malioboro, aku ingin sekali menerobos gerimis ini. Tapi, aku juga benci jika harus menerima kenyataan kalo aku pasti akan flu. Memang, aku suka hujan, tapi badanku tidak.
Fikiranku mulai ribut sendiri, tak mungkin aku akan berdiri disini sampai gerimis itu hilang, sedangkan aku menenteng 2 plastik ukuran jumbo berisi keperluan sehari-hari. Mungkinkah tanganku akan patah? Entahlah, aku tau itu berlebihan.
"Kenapa? Terjebak gerimis? " sebuah suara membuat aku langsung menoleh karena kaget, apa aku terlalu asik melamun sampai aku lupa kalau ternyata ada orang berdiri disebelahku dan itu entah sedari kapan.
" mau aku antar, tp aku nggak bawa payung, " orang itu tersenyum, sedangkan aku hanya diam karna masih kaget dan sebetulnya aku juga tidak tau dia siapa.
" Aku wangXi, " dia mengulurkan tangannya tak lupa tersenyum, " kita bisa gunakan jaketku, sebelum gerimis semakin deras," tawarnya
" ti.. tidak, aku bisa menunggu, " walaupun sedikit gagap, aku masih bisa menemukan suaraku kembali, aku sedikit bingung, kenapa aku bisa segagap itu sama orang asing, itu terlihat bukan seperti aku yg biasanya.
" dengan menenteng 2 plastik jumbo,? Apa nggak berat,? " aku heran dengan orang di depanku ini, bagaimana di bisa se care itu sama orang asing.
" tak apa, terimakasih, " aku masih tetap pada pendirianku
" jangan takut, aku bukan orang jahat. Kata Tuhan, bukankah kita harus saling menolong? " dia meyakinkanku. Tapi bagaimana bisa aku berfikir kalo dia orang jahat, dari segi fisik saja dia tidak ada tampang penjahat sama sekali. Dia terlihat menawan malahan. Tanpa aku bertanyapun aku sudah tau kalu dia pasti orang tionghoa, terlihat dari matanya yg sipit, kulitnya yg putih dan hidungnya yg mancung. Kalau ditanya orang tampan versi aku seperti apa, ya seperti orang yg didepanku sekarang.
" mm.. Sampai depan warung padang ya, sepupuku menunggu disana, " akhirnya aku mengiyakan ajakannya.
" oh iya, " dia tersenyum kembali dan ya allah, dia menawan sekali pas tersenyum. " Namamu siapa?," dia melepas jaketnya yg mengangkatnya menjadikan jaketnya sebagai payung
" Ria, " jawabku sambil memegang lebih erat kedua plastik jumboku
" aku Wangxi, tapi kamu bisa panggil aku Wang, " kami berjalan menembus gerimis dengan jaket milik wangxi, entah kenapa dia rela mengorbankan jaketnya hanya untuk memayungi aku yg baru beberapa menit bertemu.
" Iya wang, terimakasih, " kataku pelan
" tak apa, bukan hal yg sulit, " jawabnya seraya menoleh kearahku. Duh ya allah, mungkin saat itu dia tak tau kalo pipiku merah sekali dan untuk detak jantungku yg tidak karuan, hanya allah dan aku sendiri yg tau.
Kami terus berjalan menembus gerimis yg tak ada niatan untuk berhenti, dan wangxi masing tetap memegangi jaketnya. Jarak antara pusat perbelanjaan dan warung yg aku tuju tidak jauh sebenarnya, hanya 100 m tapi harus menyebrangi jalan yg banyak lalu lalang kendaraan.
Wangxi menurunkan jaketnya ketika kami sudah sampai di depan warung padang, aku kembali mengucapkan terimakasih dan dia tersenyum. Awalnya aku berencana untuk menawarinya teh hangat atau minuman lainnya, tapi wangxi langsung pamit karna sudah ditunggu keluarganya.
Begitu Wangxi pergi, aku masuk kedalam Warung padang, sepupuku sudah menunggu disana dan ternyata dia melihat aku diantar oleh seorang laki-laki.
" siapa?" sapanya begitu aku masuk kedalam.
" mm.. Dia tadi menawari tumpangan karna gerimis, " jawabku sambil merapikan kantong yg aku bawa tadi.
" pake jaket? Gayanya sok Romantis. Bisa kan pake ojek payung, cuma 5rb," ocehnya dan hanya aku tanggapi dengan menatap wajahnya sekilas.
" Hati-hati, kita bukan di kota sendiri," dia berjongkok didepanku sambil membantuku merapikan belanjaan.
" Semua kota sama, " jawabku singkat
"Iya, semua kota sama. Yg perlu waspada hanya kita sendiri. Kamu Adik sepupuku, aku yg bertanggung jawab tentang kamu disini. Jangan kecewakan Bapak sama Ibukmu, " petuahnya, aku tau maksud dia baik. Itulah kenapa Bapak sama Ibuk hanya mengizinkan aku pergi jika bersama sepupuku.
" Pulang dulu sana sama Si om. Nanti warung aku yg jaga, " Warung padang ini milik Om aku. Tidak, dia bukan orang padang, dia asli orang Jawa. Hanya saja, dulu dia pernah bekerja di salah satu Rumah makan padang, dan berkat pengalamannya dia sekarang mendirikan warung padang sendiri sampai mempunyai karyawan.
~OoO~
"Mbak, tadi kata mas Arvi mbak diantar sama cowok pas pulang dari supermarket, siapa mbak? Temen?, " itu suara tanteku, kebetulan sedang memasak untuk makan malam dirumah.
"Bukan tante, aku nggak kenal juga. Tadi cuma nawarin bareng aja karna hujan, " jawabku sambil mengaduk-aduk sayur sop yg akan menjadi menu makan kita malam ini.
" tak kira teman. Nggak macam-macam kan dia mbak? " tanyanya kembali.
"Nggak kok tante, hanya itu saja dan orang itu pergi, " kupasang senyum dibibirku untuk meyakinkan kalo memang tidak terjadi apa-apa padaku.
" yasudah kalo gitu, pesanku cuma satu. Mbak perempuan, jangan lupa selalu jaga diri dan jaga harga diri, " pungkas tante sambil mengusap pelan bahuku.
"Pasti tante," kujawab sambil tersenyum.
~OoO~
Walaupun dikota ini baru satu minggu, tapi jogja bukanlah kota asing bagiku. Pasalnya, setiap liburan sekolah tiba aku pasti datang untuk mengunjungi jogja sebatas untuk liburan dan belajar. Jika diulik lebih dalam, banyak hal yg bisa kita pelajari dari kota gudeg ini. Tidak hanya terkenal dengan kota pelajar dan gudegnya. Jogja juga terkenal dengan keindahan alamnya, bangunan bersejarah, wisata alam salah satunya pantai parangtritis yg terletak di daerah Bantul Yogyakarta, juga pantai pasir putih yg terletak di Gunungkidul. Kalo di tulis satu persatu, aku yakin tidak akan muat dalam bagian pertama ini.. 😁
Dan jangan lupakan dengan acara budaya jogja yang terkenal dengan sebutan Grebeg, acara kebudayaan yang ada pada bulan Maulud dalam kalender jawa, ya jogja sesuai dengan jargonnya jogja istimewa.
Krincingg.. Krinciingg.. Krinciinggg
" Budhe, Sate," Teriakku. Ada satu hal yg unik disini, suara lonceng adalah simbol kalo ada penjual sate yg lewat, dan cara berjualannya pun sangat unik. Rata-rata mereka adalah ibu-ibu, memakai kain jarik sebagai tapih, juga menjajakan dagangannya dengan cara di taruh diatas kepala.
" Badhe ngresake pinten mbak? "*
" 20rb mawon budhe, "* jawabku
"Ngangge lontong mboten mbak,? "* tanyanya kembali
" enggeh budhe," *
Aku yakin kalian pasti sudah sangat tau dengan sate, makanan khas Indonesia yang begitu melegenda. Biasanya di sajikan dengan potongan lontong, dan ditaburi oleh sambal kacang serta kecap manis. Bagi yg suka pedas biasanya akan ditambah dengan irisan cabe dan bawang merah. Soal rasa jangan di ragukan lagi sih, sudah pasti enak. Apalagi untuk anak perantauan sepertiku, selain enak, murah juga mengenyangkan. 😂
Aku masih Setia menunggui Budhe sate meracik sate untukku, dengan aroma sate yg begitu menggiurkan membuatku ingin cepat-cepat untuk segera menyantapnya. Dan benar saja, tak butuh waktu lama sate pesenanku jadi.
" Monggo mbak, "* tegur penjual sate begitu sateku sudah siap.
" Nggeh, niki artane. Maturnuwun budhe, "* aku menyerahkan 2 lembar uang sepuluh ribuan, dan segera berbalik untuk masuk kedalam rumah.
*mau beli berapa mbak?
*20rb saja budhe
*pake lontong nggak mbak?
*iya budhe
*silakan mbak
*iya, ini uangnya. Terimakasih budhe.
~oOo~
Aku masih semangat mengayuhkan kakiku diatas pedal sepeda, di hari minggu, pagi hari untuk sekedar mencari angin keliling kota. Aku pikir ini masih terlalu pagi, karna sang Mentari juga belum menunjukan kegagahannya. Benar saja, selepas sholat subuh aku langsung bergegas memacu kuda besiku, sekedar berolahraga dan mecari udara segar.
Aku sangat suka ketika bersepeda di pagi hari seperti ini. Kita tak perlu mendengar alunan klakson dari kendaraan lain yang kadang begitu ramai memekik di telinga. Tapi aku yakin, tak berapa lama lagi pasti jalanan akan ramai dengan alunan itu.
"Ria, " aku mendengar namaku dipanggil sesorang, aku segera menoleh karna kupikir suara itu tak asing bagiku. Dan benar saja, seseorang telah memandangku dengan senyum menawan, tapi aku lupa dengan orang di seberang.
" Pagi-pagi sudah bersepeda ya, rajin sekali, " sapanya seraya tersenyum. Ya allah, menawanya makhluk ciptaanmu satu ini. Tapi tunggu sebentar, ingatanku sangat buruk untuk mengenal visual sesorang.
" siapa ya?," tanyaku pelan.
" Lupa ya Ri?," dia masih tersenyum, ya allah " Aku Wang, yang kemaren kita ketemu pas kamu nenteng 2 plastik jumbo, " jelasnya, kini senyumnya bertambah lebar. Sumpah, dia mahkluk apa sih sebenernya, tersenyum lebar pun dia malah terlihat lebih menawan.
" ahh iya, wang ya? Maaf, " jawabku sedikit belibet.
" hehehe... Santai saja Ri," dia tertawa " Ri, kamu tinggal di daerah sini ya? " tanyanya kembali.
"Bukan, aku tinggal di daerah Giwangan sana. Kesini ya cuma buat sepedaan aja, " jawabku lancar Jaya, " kamu sendiri Wang,? " akhirnya aku bertanya juga tentang Wang.
" Deket dong berarti, aku tinggal di Perum Lowanu sana, "
" koko, dipanggil mama," seorang anak kecil sekitar 5 tahunan berlari dan berbicara dengan Wang.
" Oke, sebentar koko kesana, eangen duluan aja, nanti koko nyusul, " Wang berjongkok menyetarakan badannya dengan anak kecil yang dipanggilnya, Eangen.
"Jangan lama-lama, nanti dicariin mama, " ucap bocah kecil itu sebelum pergi.
"Ri, boleh minta nomormu nggak? Kali aja kita bisa jadi teman, " tawarnya sambil mengaruk lehernya. Aku mengangguk dan memberi tahu beberapa digit angka untuk dia tulis di ponselnya.
" Makasih ya Ri. Aku duluan ya, nanti aku kirim pesan ya" dia melambaikan tangannya sebelum pergi dan kemudia lenyap di persimpangan tangga.
Haaahh,, entahlah. Mungkin sebaiknya aku seperti ini sekarang. Belajar untuk merelakan dia yang sampai sekarang tak pernah peduli terhadapku. Aku nggak tau lagi apa yg harus aku lakukan, semua yang aku lakukan pasti akan selalu salah dimatanya. Bahkan aku ingat pasti ketika dia menyuruhku untuk berhenti menyukai kpop.
" Jef, aku lebih suka kalo kamu bilang putus, daripada alasanmu menyuruhku untuk hal yg tak jelas," Aku menghela nafasku kasar dan kemudian kembali menginjak pedal sepeda.