Austin Pov
Kenapa bayangan gadis itu terus saja menghantuiku. Tidak mungkin aku terpesona padanya kan? Tapi kenapa senyumnya suaranya begitu membekas dalam ingatanku bahkan ini sudah seminggu sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Tapi aku tidak bisa mengenyahkan bayangannya dari ingatanku.
Arghhh...sial!!!
Bahkan kini aku tidak lagi sibuk mengenang Angel, aku merasa bersalah padanya. Baru dua tahun kepergiannya dan aku mulai memikirkan wanita lain.
Oh wanita itu bahkan belum bisa dipanggil wanita. Dia masih sangat belia...
Arghhh!!!
Aku memandang keluar jendela yang berada di kantorku, bisa kulihat kesibukan kota New York dari kantorku yang memang berada di lantai teratas dari gedung Klein Corp.
Pikiranku mengelana, sampai suara ketukan dari arah pintu kudengar. Sialan mengagetkan saja, ini susahnya jika tidak mempunyai sekretaris. Ya si Shinta sudah kupecat karena pekerjaannya tidak benar. Membuatku kesal saja. Aku butuh sekretaris yang handal. Bukan sekretaris yang bisanya cuma menggoda atasannya saja. Menyebalkan sekali.
Mungkin itu pihak HRD yang datang karena aku meminta mereka membuka lowongan kerja, bahkan aku membuka kesempatan kepada para mahasiswi yang ingin mencoba bekerja. Ya walau itu sedikit merepotkan tapi aku suka semangat orang muda. Biasanya mereka itu menggebu-gebu dalam bersikap.
Buat para mahasiswi itu tentu bukan sebagai sekretarisku karena mereka pasti juga harus menyesuaikan dengan kuliah mereka. Sedang aku butuh sekretarisku hampir full time di kantor.
Jadi aku memberi kesempatan mereka sebagai asistenku.
"Masuk," kataku sambil berjalan menuju meja kerjaku.
Dan seperti dugaanku yang masuk adalah tuan Noah kepala bagian HRD.
"Duduk," ujarku singkat, aku terlalu malas untuk berbasa-basi. Biar saja mereka mengataiku arogan atau apa pun aku tidak peduli selama pekerjaan mereka bagus. Aku akan mempertahankan mereka.
"Ini data pelamar yang masuk ke kantor ini," kata Noah sambil menyerahkan beberapa map berisi data pribadi pelamar.
"Apa ini sudah diseleksi?" tanyaku sambil membolak-balik isi dokumen pribadi itu.
"Iya pak, selanjutnya apa bapak akan mewawancarai mereka langsung?" tanya Noah hormat.
"Tentu aku tidak mau seperti kejadian si Shinta terulang lagi, wanita itu sama sekali tidak becus apa pun," gerutu Austin.
"Baik pak, saya minta maaf akibat kelalaian saya membuat bapak tidak nyaman," kata Noah sambil membungkukkan badannya, saat menerima Shinta itu memang keteledoran lelaki itu, apalagi Noah yang mudah tergoda oleh rayuan Shinta sehingga meloloskannya menjadi sekretaris CEO-nya yang terkenal dingin. Membuatnya kini tidak terlalu dipercaya oleh bos besarnya itu.
Mau bagaimana lagi, Noah hanyalah lelaki normal dengan hasrat yang membara. Resikonya ya begini. Posisinya bisa saja terancam.
"Hemm, lalu bagaimana dengan mahasiswi yang melamar?" tanyaku penasaran, pasalnya aku tidak melihatnya membawa dokumen lain.
"Emmm begini pak, saya merasa mereka yang melamar tidak memenuhi kriteria yang anda inginkan jadi saya tidak membawa dokumennya," kata Noah sambil menunduk.
"Bagaimana dengan tawaran magang dari beberapa kampus?" tanyaku lagi.
"Oh ada beberapa dari kampus yang meminta untuk mahasiswanya bisa melakukan magang disini pak," kata Noah lagi.
"Baik, kau bisa serahkan dokumen mereka ke mari biar saya sortir sendiri, oh ya untuk pelamar sekretaris buatkan janji temu dengan mereka nanti setelah jam makan siang. Bilang jika tidak datang otomatis dianggap mengundurkan diri," kataku datar.
Noah hanya mengangguk patuh dan pamit untuk meninggalkan ruangan. Dan kubalas dengan anggukan singkat.
Kupejamkan mataku, entah kenapa aku ingin sekali memberi kesempatan mahasiswa untuk magang di tempatnya. Padahal selama ini aku selalu menolak keinginan dari kampus-kampus tersebut. Tentu saja dengan alasan tidak mau merepotkan dengan berurusan dengan orang yang belum berpengalaman.
***
Setelah usai mewawancarai calon sekretarisku kini aku mulai melihat data mahasiswa yang dititipkan oleh kampus mereka untuk magang di kantorku.
Aku mulai memilah mana yang memenuhi kriteriaku dan juga memang sedang membutuhkan tenaga lebih.
Sampai mataku terpaku pada sebuah nama. Amanda Dexter.
Menarik, bukannya dia masih kurang dari setahun ini kuliah di Harvard kenapa sudah memulai magang?
Kubaca dengan seksama riwayat hidup gadis yang sudah membuat malamku tidak tenang itu.
Oh dia sempat kuliah di Sydney kota kelahirannya. Ya setahuku memang keluarga Amanda tidak tinggal di London seperti keluarga Dexter kebanyakan tetapi lebih memilih menetap di Sydney. Tapi beberapa tahun belakangan kedua orang tua Amanda kembali tinggal di London.
Kurasa dia gadis yang cerdas, beberapa kali loncat kelas dan masuk kuliah di usianya yang ke enam belas tahun. Mendapat beasiswa dari Harvard setahun kemudian.
Hebat!! dia sudah mulai magang padahal masih dua tahun kuliah. Aku jadi mengingat adik kesayanganku Allicia yang juga terkenal cerdas dibanding semua keluargaku yang lain. Bahkan kini Cia sudah menjadi dokter spesialis jantung.
Entah kenapa mengingat Amanda membuatku tiba-tiba dihinggapi rasa bahagia tanpa kutahu sebabnya. Aku pun mulai memikirkan posisi yang sangat pas buatnya.
Ha...Tentu saja posisi yang paling tepat adalah selalu mendampingiku, pikirku dengan seringai iblisku.
Tunggu saja sayang, come to papa!!
Oh...aku sudah tidak sabar menanti dirinya selalu menemani langkahku. Aku akan terus melihat senyumnya, mendengar suaranya, menciumi aroma tubuhnya yang memabukkan.
Hell!!! kurasa aku sudah gila. Dia Dexter!! Seorang Dexter!!!
Tapi aku sangat mendambanya.
Oh Marc akan mencincangku jika aku menyakitinya. Dan jika Marc marah otomatis Cia juga akan marah.
Arghhh...Sialll!!!
Kenapa harus Dexter yang membuatku mabuk kepayang seperti ini??
Kenapa???
Dexter adalah marga yang terlarang bagiku.
Tapi....