Hater gone be hate
Tidak perlu kau tanggapi, bukankah akan menjadi lebih berwarna saat hidup memiliki pembenci, tidak melulu pemuji.
Saat waktunya datang, tuhan akan menjawab semua kesakitan mu dengan indah
****
" Leona, menurut kamu kita pacaran udah lama belum ? … " pertanyaan Angga membuat Leona berdebar.
" kalau dibilang lama masih terasa sebentar kalau dibilang sebentar tapi ini sudah lama, terserah kamu dech, jawaban Angga apa kalau ditanya begitu ? " Leona yang terkesan
membolak-balik jawaban akhirnya memutuskan mengikuti Angga.
" lama atau sebentar Angga ngerasa bahagia banget dekat sama Lena, Lena will you marry me ? because I will marry you. " Leona menoleh cepat dan tidak bisa mengatakan apa pun, ia merasa sangat bahagia hingga lupa mengucap kata-kata.
" kamu nggak ngerti ya ? kalau aku bilang aku mau nikah sama kamu, kamu ngerti kan ? "
Leona mengangguk dan Angga yang terlalu bahagia menunjukannya dengan sebuah pelukan.
" maaf … " Angga dan Leona menjadi malu-malu lekas Angga lepas pelukannya.
***
Suasana cafe yang hiruk-pikuk tidak dipedulikan lagi, keduanya saling melempar senyum meski duduk mereka kini agak berjauhan karena canggung.
" Pergi yuk. " Angga meletakan tangan disamping mulut, mengisyaratkan berbisik, Leona sedikit mendekatkan telinganya, menoleh sebentar lalu diiring senyum ia mengangguk.
Mereka benar-benar bahagia, tidak ... Sangat bahagia dengan keputusan yang mereka buat.
Berlari kecil menjauhi cafe dengan senyum yang tidak lepas dari wajah masing-masing.
Leona rasanya ingin berteriak keras-keras jika lelaki yang sedang menggenggam tangannya itu adalah calon imamnya, lelaki yang terus bersenandung bahagia disampingnya adalah lelaki yang sudi menerima segala kekurangannya dan tidak menuntut akan kelebihan yang ia punya.
" Kamu bahagia ?... " Itu adalah pertanyaan retorik yang pernah di lontarkan Angga kepadanya,dan terdengar basa-basi.
Leona menggeleng, dan riak wajah Angga mendadak suram.
" Aku nggak bahagia ... Tapi sangat bahagia !!! Swear ! " Leona mengangkat tangan kirinya seakan bersumpah, dua jarinya membentuk lambang victory.
Keduanya lagi-lagi tersenyum, bahkan mulai terdengar gelak tawa bahagia Angga, dia tidak tahan untuk kembali memeluk wanita yang kelak akan menjadi miliknya seutuhnya.
***
Dia menahan diri, maka ia hanya mengeratkan pegangan tangannya dan menariknya hingga mereka sangat dekat dan tidak memiliki jarak.
" Aku ingin mencium mu, nona ... " Ia berbisik.
Leona menengadahkan wajah, sehingga kedua manik yang berbinar itu saling bertaut. " Pastikan kamu menepati janji, dan kamu akan memiliki aku sepenuhnya. " Leona merubah ekspresinya menjadi datar.
Angga tersenyum kecut, perempuan ini memang berbeda, dia tidak mudah di rayu bahkan dengan hal yang jelas akan ia lakukan seperti kata soal menikah itu.
" Telepon ibu mu. " Angga membuat jarak tanpa melepas gandengan tangannya.
" Mmmm, untuk apa? " Matanya menangkap makna dari sorot mata Angga, keningnya berkerut.
" Bilang ... Angga akan melamar Leona. " Ucapannya datar.
" Sungguh, aku bisa menghubungi mama ?! " Ia berusaha sedatar mungkin, meski Angga bisa melihat wajah bahagia Leona yang susah payah disembunyikan.
Angga mengangguk, " telepon saja. "
***
Ayu menerima telepon, setelah mengucapkan salam wajah Ayu berubah sumringah dalam hitungan lima detik.
Rio yang kebetulan lewat jadi heran dengan ekspresi ibunya.
Mata Ayu berpapasan dengan mata Rio, spontan ia mengangkat dagu seakan bertanya. " Ada apa ? "
Ayu menutup telepon dengan tangannya,
" Kakak mu akan di lamar. " suara Ayu pelan tetapi indera pendengar Rio cukup peka, hampir anak bungsu Ayu ini melompat kegirangan.
Akhirnya ia mengangguk dengan senyum yang terus mengembang.
Ayu menyelesaikan pembicaraan dan sambungan telepon pun diakhiri.
***
Rio menubruk ibunya, dia bahkan lupa jika ukuran tubuhnya dengan tubuh ibunya sangat berbeda jauh.
Bahkan jika dibandingkan dengan Bagas dan Leo secara bersama masih sangat jauh.
Kebiasaan bermain basket dan berlari keliling lapangan hampir setiap hari konsekuensi terlambat masuk sekolah, membuat ototnya berkembang lebih pesat dibandingkan dengan saudaranya, kulitnya yang dulu putih pucat berubah kecokelatan. Eksotis dengan rambut pirang keseringan berada diantara terik matahari.
Rio buru-buru mendekap ibunya sebelum terjengkang.
" Yey ... Kakak ku akan menikah, Rio senang ... Bu. " Masih terdengar canggung ketika Rio memanggil ibu tanpa embel-embel nama.
Ayu yang sempat kaget karena sentakan kuat tubuh Rio, kini tersenyum dalam pelukan Rio.
Rio melepas pelukannya, menatap Ayu serius yang ditatap menjadi bingung.
" Tapi kayaknya ibu jangan bilang Leo. "
Kening Ayu berkerut, " kenapa !? Dia kan kakak mu juga. "
" Soalnya Leo lemes cenderung julid, kak Lena bisa mati malu nanti. " Rio menjawab dengan polos, membuat Ayu tertawa.
" Iya kan, Leo emang julid sih. " Rio tidak mengerti kenapa ibunya tertawa.
" Hah kamu, sudahlah nanti kita bahas saja bersama kak Lena mu, ya. " Rio mengangguk, ia tersentak seakan mengingat sesuatu.
" Ah, aku mau kasih minum Kenita. " Rio melepas peluknya dan mengambil segelas sirup cocopandan yang ia letakkan diatas meja ruang keluarga.
" Ibu aku boleh minta sesuatu ? " Sebelum pergi ia mengambil perhatian Ayu.
" Apa, sayang ?! "
" Ajari aku membaca Al-Qur'an. "
Ayu tersenyum, " tentu sayang. "
***
Jadilah kabar bahagia itu menjadi rahasia ketiga anggota keluarga tanpa melibatkan Leo.
Angga memang akan melamar Leona, tetapi lelaki yang seharusnya bisa lebih serius dan tidak kekanakan itu malah membuat ketiganya berpikir tentang semua petunjuk yang Angga tinggalkan, tentang kapan ia akan melamar.
Rio menyerah, ia malas menjadi Sherlock Holmes hanya untuk menebak puzzle sederhana macam ini.
Tugas sekolahnya sudah terlalu banyak sampai menumpuk, belum lagi Jia yang meminta tolong mengoreksi beberapa part lagu, ia minta lirik yang dalam katanya.
Padahal dia baru belajar chord gitar beberapa bulan lalu dengan Falla tapi sudah diberi tugas berat begini.
" Aarrgghhhh ... " Rio mengusak rambutnya kesal, selembar kertas dalam genggaman dengan kata sederhana terasa seperti lempengan besi yang menghimpit.
" Jia sialan. " Ujung-ujungnya ia mengumpat.
Ayu yang sempat bersemangat, menjadi tidak terlalu berharap akan berbesan dengan keluarga Angga, tidak mau diambil pusing lebih tepatnya.
***
Sore hari ketika ketiganya berkumpul, kebetulan Leo sedang pacaran di rumah Kenita.
" Gimana ma ?! ... " Leona yang duduk di kursi ruang tamu memulai pembicaraan dengan bertanya kepada Ayu.
" Gimana apanya?! ... " Ayu yang sibuk mencuci piring enggan memberi perhatiannya.
" Soal Angga. "
Ayu menghentikan kegiatannya, berbalik menatap Leona yang juga mengangkat kedua alis bingung, dan Rio menggeliat mengangkat kepala dari atas meja makan.
Jelas kalau mereka memberi perhatian.
" Kamu pastikan lagi sama Angga, kalau sudah jelas kamu bicarakan lagi sama mama. " Pernyataan Ayu cukup jelas.
" Aku udah tanya, tapi Angga susah ... " Ucapan Leona terpotong karena Rio tiba-tiba bicara.
" Ibu ayo ajari aku mengaji, cuci piringnya udah kan ? " Ia beringsut mendekati ibunya dan menempel manja.
Leona langsung diam, dia juga tidak bisa memaksa keluarganya untuk terus memikirkan kelanjutan hubungannya, sementara mereka juga memiliki urusan masing-masing.
***
Kedua orang tersebut sudah pergi.
Tinggal Leona sendirian menatap ponsel, menunggu kabar Angga yang juga tidak terealisasi.
" Si Angga ... Nyebelin banget sih lo. "
***