Cast Esa Rio Novrianshah ( aku )
Jika harus memilih, sekarang aku akan memilih pertemanan.
Cinta bagiku tidak melulu harus dengan kekasih, kadang aku sepi, tetapi menatap mata teman dan keluargaku ternyata sudah cukup membuat senang.
***
Tubuh besar Geon ternyata tidak sebesar hatinya, dia bisa dengan mudah mendendam hanya karena pukulan tempo hari, sudah cukup lama sampai aku melupakannya tetapi tidak baginya.
Pagi ini tiba-tiba dia menantang duel, apa yang harus aku lakukan?
Tidak ada memang seharusnya aku menghindar, ah tidak seharusnya dari awal aku tidak terlibat.
" Rio, kamu nggak takut ?! Geon kalau udah nantang gak main-main … " aku tahu dia cemas.
" tenang ... gue juga nggak mau ribut, sebisa mungkin gue hindarin Geon."
" heh … !!!! " ia menggebrak meja sehingga membuat ku kaget, semangkuk bakso tersenggol tangan dan tidak sengaja mengenai seragam Geon.
***
Armand dan Cita terserang panik, mereka bahkan sampai rela meminta maaf untuk ku. Itu sangat memalukan sekaligus memualkan untuk kuakui mereka adalah teman.
" maaf Geon ! Rio nggak sengaja … " mereka berusaha membersihkan bekas tumpahan bakso dari seragam Geon.
" loe harus minta maaf sama gue. " sumpah dia benar-benar raja drama yang menyebalkan, padahal dia yang menggebrak meja.
Heran apa tangannya tidak sakit ? disini sudah tidak nyaman, selera makan ku pun hilang, Armand dan Cita menatap ku khawatir saat aku mengayunkan langkah santai melewati raja drama tambun didepan ku.
***
Dan ya sekali lagi aku berhasil membuatnya marah, tetapi aku tidak bermaksud sama sekali berlagak jagoan. Tetapi, Geon yang terlalu mendramatisir hidupnya.
Geon mencengkram kerah seragamku dan hampir terjadi keributan, seorang guru muncul membubarkan kerumunan.
***
Ini adalah hari pertama Armand mengajak Cita ke rumahnya untuk kerja kelompok, tentu mengajak ku juga, mana berani dia tanpa ku soal beginian, dia belum berpengalaman.
" Armand aku mau ke toilet. " Cita bangkit dan menunggu intruksi dimana letak kamar mandinya.
" lurus aja, dapur belok kanan. " suasana hening.
" om … eh, kak Angga pacarnya mana ? tumben nggak datang. " aku penasaran dengan Angga yang sibuk dengan laptop.
" udah putus, dia ditunangin … " Angga terlalu santai menyahut,bahkan matanya tetap fokus dilayar laptop.
Ada niatan mengenalkan Angga si cuek dengan kakak ku Leona yang mirip-mirip cueknya.
" hmm … kakak pasti senang ketemu pangerannya. " bayanganku sudah jauh kemana-mana.
***
" Rio … "
" ya … " aku tidak tertarik, pisang goreng hangat buatan kak Angga jauh lebih menggiurkan. Sebenarnya aku juga tidak tertarik dengan belajar kelompok hari ini hehe.
" gue suka sama Cita … " jelas kalau Armand malu-malu.
" hah … !!! " aku pura-pura terkejut.
" sejak kapan ?? " wartawan dadakan langsung aku terapkan.
" sejak pertama ketemu. " Aku bisa melihat Armand senyum-senyum sendiri usai bicara begitu.
" kenapa nggak bilang ke orangnya langsung ? " aku menggodanya, ditambah senyum binal kebanggaanku.
" setiap ngeliat matanya langsung jiper. "
Pernyataan Armand membuat ku menahan tawa.
" oh, jadi loe suka sama Cita kenapa nggak bilang langsung ke orangnya. " aku sengaja berteriak, berharap Cita yang mendekat sadar.
" ssssttts … pelan dikit dong ! " saking grogi, Armand membekap mulut ku terlalu kuat, sampai aku susah bernapas.
" apa suka-suka ? " Cita duduk ditengah kami.
" Armand suka sama loe, Cit … "
Ucap ku julid lalu kembali melahap pisang goreng yang tinggal satu.
" Bang, pisangnya abis. " Rasanya aku mau pulang, hiburan ku sepiring pisang goreng tandas, pelajaran pun mentok sekedar masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.
***
" Kalau gitu kita pulang dulu Armand, kak Angga " Cita mewakili ku berpamitan.
" Bang, kapan-kapan goreng oncom ya. Hehe ... " Kami berdua nyengir kuda.
" Tenang, semur jengkol juga bakal ada kalau lu dateng. " Becandaan Angga kumat, aku langsung tertawa geli disusul Cita.
Sementara Armand cemberut, karena dia anti dengan bau jengkol, pernah karena aku tidak percaya merengek agar dibuatkan masakan spesial itu, dan saat aroma khas jengkol menguat ketika di godog, Armand langsung muntah-muntah seperti wanita hamil muda.
***
Kami berpisah jalan ketika didepan gerbang rumah Armand
Langit dihiasi awan mendung, dan aku sengaja memperlambat langkah karena terbayang semua adegan di rumah Armand, bagaimana Armand dan Cita 'jadian' dan ekspektasi ku saat nanti kak Leona ku kenalkan dengan kak Angga.
***
Aku diam membiarkan gemerisik seperti langkah kaki mendekat dan saat aku berbalik, " ada apa Geon ? " Geon menghantam tepat ke ulu hati, membuat ku terbatuk dan terhuyung.
Geon tidak memberi ku kesempatan untuk membela diri, bahkan sedikit menjelaskan pun tidak, dia terus memukuli ku seperti orang kesetanan. Hujan pun tiba-tiba langsung deras, membuat kepala ku semakin sakit di hantam keroyok ujan.
" inget, ini baru permulaan gue belum keluarin semua kemampuan gue buat ngancurin loe. " dia mencengkram mulut ku, melihatnya tidak fokus karena terkena air hujan.
" pengecut " lidah ku bergerak sendiri bahkan saat otak ini sudah tidak mampu berpikir jernih, sialnya hal itu membuat Geon memberikan pukulan final.
***
" Rio... "
Aku hanya bisa mendengar suara kakak perempuan ku khawatir, batas kesadaran ku benar-benar tinggal sedikit, tubuh ku pun terasa sangat berat dan kaku.
Leona membungkuk bermaksud memapah.
" kenapa Rio … !? " dia memapah dan mengobati luka-luka ku, kakak ini memang telaten kalau menyangkut soal mengurus adiknya.
" Rio bicara sesuatu !!! "
Dia malah menampar-nampar pipi ku yang terasa dingin.
" kak Lena … aku … "
Leo dengan santai menendang kaki ku, terserahlah kalau hari ini menjadi hari terapes, aku cuma butuh tidur.
" kenapa kak ? " Leo benar-benar tidak tahu situasi.
" Rio … Rio … " Kak Leona sudah terisak,
" aku belum mati kak, kepala ku pening ! " Leona mendekap sangat erat, mencium seperti tidak mau berpisah.
" kak … kak Lena masih merindukan pangeran kakak ? …. " lidah ku benar-benar tidak bisa di kontrol saat kesadaran hampir hilang.
" maksud kamu ? " Leona melepas peluknya.
" aku yakin sebentar lagi kakak akan menemukan pangeran kakak. " terserahlah, dengan lidah tak bertulang ini.
***
Leona pergi meninggalkanku karena telepon berdering.
Rasa haus membuatku berjalan pincang menuju dapur.
***
Baru jam 16.00 WIB
ia menyusuri ruangan untuk menuju kamarnya, Rio terusik dengan suara yang mendayu lembut datang dari kamar ibu Ayunya.
Ia tepikan tubuhnya di dinding dekat pintu agar ia lebih jelas mendengar apa yang diucapkan ibu Ayunya.
Sebuah lantunan yang lamat-lamat nyata terdengar, suara pujian kepada illahi dan ayat suci yang kini hampir ia lupakan karena ia terlupa dengan amaliah akhrowi.
Lantunan surah Al – Anbiya melantun indah di telinga Rio, ia terperosok dalam nistanya yang terasa nyata dan seakan siap menelannya, sesak, lemah menjadikan kenyataan kalau ia
hanya manusia biasa, air matanya menetes membasahi wajah dan hatinya yang sempat kosong dengan agama.
***
Hanya pesakitan, cemooh dan kebencian yang ia rasakan selama ini, ketika ia tinggal bersama neneknya dan barulah sebuah ilmu agama ketika ayahnya pulang dan mendekapnya dengan tangan kekar dan kelembutan ayahnya
melantunkan beberapa ayat suci setelah mereka usai berjamaah di rumah.
***
" Rio ?! … kamu kenapa nak ? " Ayu keluar dengan mukena masih terpasang membalut tubuhnya.
Rio menghadapkan pandangannya kepada ibu Ayu dan dengan susah payah ia bangkit sambil menahan nyeri di dadanya.
" kamu nggak apa-apa nak ? " Tanya Ayu sedih melihat wajah pucat anaknya yang basah air mata, Rio menggeleng pelan dan terkesan kaku.
Ayu memeluk Rio tiba-tiba, " ibu sudah bilang ibu akan memeluk Rio diminta atau tidak, ibu
Ayunya, Rio ini tidak peduli apakah Rio akan bercerita apa yang dirasakan atau tidak. Ibu tetap akan menjadi ibu mu yang akan memeluk mu, ibu sayang sama Rio. "
Rio mulai mengangkat tangannya dan membalas pelukan ibunya.
" kamu jangan pernah sungkan untuk bicara sama ibu sayang. " Ayu menghapus air mata yang sudah kadung membanjiri wajah Rio.
***
Aku tersenyum melihat Leo tiduran di kamar sambil membaca buku pelajaran kesukaan Leo, IPA.
" Rio … sini duduk sama kakak ! " Leo buru-buru terbangun dan mengajak aku duduk disisinya, meski enggan memanggil Leo kakak, tetapi aku tidak pernah menolak sikap baik
siapa pun terlebih dari saudara-saudara sedarah.
Aku sebentar bersama kakak dan kembali ke ruang tamu.
***
Memandang lurus ke teras yang masih deras diguyur hujan, meski kedinginan enggan rasanya bergerak sejenak untuk mencari tempat yang lebih nyaman.
" kamu sakit nak ? "
" nggak, Rio baik-baik aja. " aku tetap memandangi hujan yang semakin deras.
" Rio … " Ayu menyentuh bahu Rio bermaksud mengajaknya masuk ke tempat yang lebih hangat.
" aku nggak apa-apa bu … " aku tidak sengaja membentak ibu Ayu.
***
" Ajak adik mu masuk, wajahnya sudah pucat kedinginan. " Pinta Ayu kepada Leo yang ia jumpai diruang keluarga sedang menonton bersama Leona.
" kalau mau marah karena kejadian tadi silahkan, yang jelas Rio nggak sakit. " Rio berujar kepada Leo yang memang menghampiri Rio karena dimintai tolong oleh Ayu.
" ya, loe nggak sakit tapi kenapa menggigil begitu ? " Leo berlagak ketus.
" tidur di kamar … " Leo masih berusaha membujuk Rio yang sekarang membaringkan diri di sofa ruang tamu.
" Rio mau disini, kenapa … ? nggak boleh ?! " ucap Rio begitu marah dengan sikap sayang Leo.
Leo kembali dengan sia-sia dan akan melaporkan sikap ketus adiknya ini kepada Ayu.
***
" assalamualaikum … " Leona bergegas menyambut tamu.
" waalaikum salam … " seru Leona ramah.
" kak Lena … Rionya ada … ?! " Armand tampak malu-malu ia datang atas undangan Rio yang berniat menjodohkan kakaknya dengan kak Angga dan itu langsung disetujui Armand, terbukti dengan kedatangannya.
" kamu Armand ya ? sama siapa ? " Leona tersenyum.
" saya Angga, kami mau bertemu Rio boleh ? "
" oh, maaf Rionya tidur tuch … " Leona menunjuk Rio yang terlelap di sofa ruang tamu.
Mereka pun masuk, Armand bermaksud segera pulang setelah hujan reda.
***
" Armand … ? " Rio masuk ke ruang keluarga, sedari tadi tangan kanannya memegangi kepalanya yang berdenyut hebat ditambah lagi sesak yang baru terasa setelah ia berlama-lama ditempat dingin.
" Rio jangan tidur disini, malu ada temen loe !! " Leo menggoyang pangkuannya supaya Rio bergegas bangun.
***
Tiba-tiba Armand, Angga, Leo, Leona dan Ayu dibuat cemas dengan keadaan Rio yang panas tinggi disertai tubuh yang kaku, napasnya pun terdengar berat, kembang-kempis Rio mengatur napasnya.
" Rio sayang ! " Ayu mengelap keringat dingin yang terus-menerus membanjiri kening Rio.
Armand merangsek bersembunyi dibalik punggung Angga saat Rio mendelik kearahnya, Rio menghentak-hentakkan kaki dan tangannya.
Sesak napas itu begitu menyakitinya.
" hmm … " geraman mengerikan terdengar nyata, Armand menggenggam lengan kemeja
Angga karena terlalu takut, kala itu ia seperti anak kecil yang ketakutan dengan badut.
" Rio … ! " Leo membelai wajah Rio, rupanya belaian itu bisa menenangkan Rio yang
meronta hebat.
Leo membisikkan sesuatu ke telinga Rio dan itu membuat Rio tenang.
Ia melirik kearah Leo, memandangnya dengan tatapan yang seakan bertanya " benarkah ? "
Leo mengangguk pelan.
***
Rio mencengkram T – shirt Leo memaksa Leo menunduk lebih dekat ke wajah Rio.
Leo membelai lembut Rio dan senyum itu menjadi penghantar Rio terpejam.
Semua diam, wajah-wajah mereka masih tampak tegang terutama Armand yang sempat
melakukan kontak mata beberapa menit lalu.
***
" udah sembuh ? " Tanya Cita kepada Rio yang baru masuk.
" udah, kemaren cuma terlalu asyik nikmatin ujan. "
" hmm, Rio ?! aku penasaran apa yang diucapkan kakak mu… kenapa kamu bisa tenang setelah dibisikkan kata itu ??? " Armand penasaran.
Rio tersenyum " Rio kami disini jangan takut, nggak akan kami meninggalkan Rio … " Rio
terngiang ucapan Leo.
***