Tuhan ciptakan kalian dengan akal, untuk menentukan pilihan baik atau buruk.
Meski sebenarnya Tuhan sudah tahu kita akan kemana nantinya.
Toh pada dasarnya tuhan telah menciptakan keduanya, baik akan dipilih atau tidak keduanya tetap ada.
Dia, baik dan buruk, tuhan tidak menciptakan atau sebagai sisipan.
Tetapi, tuhan memberikan dan diantara keduanya.
Pilihan itu hanya sebagai pembuktian bahwa memang Tuhan memberi kelebihan
Untuk apa?!
Untuk bersyukur, untuk mengakui jika Dia ada.
***
Prestasi pemuda bertampang ganteng, dengan warna kulit Tan seperti warna kulit yang sedang digandrungi beberapa orang di seluruh dunia, dan sorot mata polos itu mulai menurun nilai pelajarannya padahal sebentar lagi ujian kenaikan kelas.
Kenita mulai khawatir dengan tetangga sekaligus teman sekelas, maka ia melancarkan niatannya.
***
Sore ini dia akan mengajak belajar bersama, mungkin sebelum itu dia harus sedikit basa-basi agar tidak kaget.
" Boleh aku duduk ? " Pemuda yang mulai terlihat kurus dari biasanya itu, mendongak memberi celah Kenita untuk mengintip apa yang sedang dikerjakannya sejak jam istirahat sampai lima belas menit menjelang usai.
" Mmmm. " Sambutan yang diberikan terlalu dingin.
Kenita duduk disamping pemuda itu, " lagi bikin apa sih ?! "
" Gravity. " Suara polosnya berubah menjadi serak dan berat.
" Pulang sekolah belajar bareng yuk. " Kenita malas berlama-lama, beberapa siswa sudah berdatangan ke kelas.
" Aku pergi sama Jia. "
" Jia ??? " Kenita agak terkejut mengetahui dengan siapa lawan bicaranya bergaul, Jia si biang onar dan paling hobby masuk ruang BP.
Senior yang salah dalam menunjukan senioritasnya, bukan prestasi tapi malah rusuh sana-sini.
" Jia ...?! Rio ??? " Kenita mau penjelasan.
" Iya, emang kenapa?! " Rio memelototi Kenita.
" Dia nggak baik, dia tukang masuk ruang BP ? ... Apa? Dia bawa narkoba ? " Suara Rio semakin jelas terdengar berat, dia seperti bicara dengan hidungnya.
Kenita memperhatikan Rio dari ujung rambut sampai ujung kaki, temannya begitu kurus meski sisa-sisa atletis di badannya belum semuanya hilang.
" Kapan-kapan kalau kamu siap, kita belajar bersama. " Kenita terburu-buru, semua siswa mulai membuat kegaduhan, kelas ramai dengan obrolan dan cela khas anak SMA.
***
" Leona, kamu nggak kerja ?! ... " Ayu yang baru kembali dari Kuningan agak heran menemui Leona sedang bermain bersama Manis di teras.
" Aku boleh cuti, hari Minggu soalnya aku masuk kerja. " Leona mengikuti Ayu ke dapur dan membantunya menata belanjaan di kulkas.
" Mama ... Mama tahu Rio kenapa ?! "
" Nggak, emang kenapa adik mu? " Ayu tidak bisa fokus mendengar Leona matanya sibuk mengecek bon belanja.
" Hari Sabtu dia tiba-tiba manja, melukin aku dan kata Leo dia nangis semalaman di kamar. "
Mendengar anak kesayangannya seperti itu, Ayu meninggalkan sejenak pekerjaannya.
" Kenapa ?! "
Leona mengambil botol minum dari kulkas, menuangnya ke gelas dan menghampiri Ayu yang duduk di kursi makan.
" Leona ! " Ayu gemas karena tidak mendapatkan jawaban cepat.
Leona mengangkat bahu, " aku juga nggak tahu kenapa. Leo malah balik tanya waktu aku tanya. "
***
Kenita hampir saja memukul seseorang yang mengejutkannya dari belakang, " Weits ... Kamu ngapain mindik-mindik kayak maling ? " Rupanya itu Leo.
" Aku penasaran sama Rio, dia berteman sama Jia. " Kenita memberi penjelasan tetapi matanya terus mengawasi sekeliling.
" Biarin aja, emang kenapa?! " Leo menyahut ketus, memancing pandangan heran Kenita kepadanya.
" Jia berandal sekolah, kamu nggak khawatir ?! " Kenita menahan suaranya saat menyebut kata ' berandal '
" Rio udah gede, dia juga tau apa yang lagi dia kerjain. " Dia sewot.
" Tapi Leo ... "
" Kamu suka sama Rio !!! " Bukan pertanyaan tapi penegasan.
Kenita tahu jika Leo sedang buruk dan hal paling buruk adalah bicara dengan Leo saat temannya itu keadaannya buruk.
****
" Hei Keni .... " Leo tidak peduli kalau teriakannya akan mengundang puluhan mata hanya mengarah padanya.
" Rio brengsek. " Leo tidak mau mengakui kekalahannya.
***
Rio menyesap sebatang rokok hasil palaknya kepada Jia. Tidak ada yang mau ia kerjakan kecuali merokok dan menikmati waktu bersantai.
Bahkan dia sama sekali tidak terusik dengan berisik suara gitar dan keyboard, Damar sibuk mengetuk-ngetuk mic, memastikan sound aman.
" Rio. "
Semua mata tertuju pada sosok yang sekarang berdiri dihadapan Rio.
Rio bergeming, mendongak sebentar dan kembali menikmati kepulan asap hasil karyanya.
" Lo ngapain disini, pelajaran udah mulai. "
" Duluan. " Ia bicara masih dengan asap yang kumpul didalam mulut.
" Ayo, gua juga mau ngomong. "
" Di rumah kan bisa. " Rio mulai terusik.
" Kalau di rumah, gue pastiin mama tahu kelakuan Lo kayak apa disini. "
Rio menghisap rokoknya dalam-dalam dan itu dipastikan menembus paru-parunya, dia berdiri dan terlihat lebih tinggi dari Leo beberapa centimeter.
Mata mereka seperti bertautan, ia genggam rokok dalam lipatan telunjuk dan ibu jari, memalingkan wajah kepada rokok yang di pegang diiringi desisan cukup panjang.
" Lo mau ngadu !? ... Lakuin aja, gue cuma anak tiri, jadi nggak ngaruh bakal gue. " Ucapnya dengan mimik mengejek.
" Lo kenapa ?! ... Gue bilang supaya loe ngomong kan, jangan malah main sama anak berandal. " Mata Leo mengawasi setiap gerakan kawan Rio dalam ruangan itu, tatapannya penuh benci.
" Kalau gua main ama berandal masalah hah ?! ... Kenapa Lo nggak ngomong aja sama Kenita, gimana Lo udah kepincut sama hijabnya. " Rio menggambarkan dengan tangan, berhasil mengejek Leo dan membuatnya marah.
Rio bersenang-senang, dia bahkan terkikik dan melakukan tos kepada Falla yang berdiri disampingnya.
****
" ANJING...!!! " suara kemarahan terasa nyata di pipi Rio, ngilu lalu menjadi perih beberapa detik kemudian.
Falla bengong melihat pipi Rio seketika lebam, anak-anak yang tadi berisik jadi sepi.
Rio tersenyum lebih tepatnya meringis.
Leo pergi begitu saja dengan marah yang tidak juga surut malah semakin menjadi, seperti awan cumolonimbus.
****
Rio mengambil tasnya yang tergeletak diatas bangku plastik di sudut ruang.
" Loe nggak papa Yo. " Damar mengikuti langkah kawannya dengan tatapan.
Rio menggeleng sambil tersenyum tetapi matanya tetap lurus ke jalan.
" Aku emang anak tiri, nggak akan pernah berubah. " ia bergumam, Rio meremas dadanya.
***
" Aarrgghhhh .... " Rio menendang apa pun yang ada dihadapannya.
Batu sekepalan tangan melayang dan mendarat di pipi Danu.
" WOI ... Anak curut, Lo pikir bisa seenaknya disini. " Danu mencengkram kerah baju Rio, membuat tubuhnya sedikit terangkat.
Rio sedang tidak berselera berdebat, rasanya dia mau pulang dan tidur. Tapi, setelah di pikir-pikir kemana dia akan pulang, dan tidur.
Kesabaran Rio yang selama ini ia bentengi, runtuh sudah.
Menjadi jahat juga tidak masalah, bukankah Tuhan sudah menciptakannya untuk ia nikmati.
***