'Baby take my hand..
I want you to be my husband..
'Cause you're my Iron Man..
And I love 3000..'
Salah satu lagu yang sedang diputar di kafe berwarna dominan biru langit itu membuat Noura menyanyikannya dengan lirih dibalik meja kasir. Suasana hatinya yang sedang gembira itu pun membuat karyawan lain juga merasa gembira dibuatnya. Termasuk Tony yang sedari tadi mengamatinya dari belakang.
"Sepertinya kau sedang senang hari ini, ada kabar apa? Hm?". Tia, salah satu karyawan disana yang merupakan teman dekat Noura menyenggol bahunya, dan menyunggingkan senyum.
Dengan malu-malu Noura berbisik, "Stt. Cuma gara-gara lagunya enak aja kok. Nggak usah heboh deh!"
"Ha? Lagunya? Yang bener? Bukannya karena Pak Tony sekarang lagi ngelihatin kamu ya?". Tia masih sibuk menggoda Noura yang sampai sekarang masih bersenandung. "Terserah!", pungkasnya. Cubitan jahil dari Tia yang gemas padanya pun diacuhkan karena kini ia sedang menangani pembayaran salah satu pelanggan.
Aroma kopi yang baru saja dibuat oleh Tia juga membuat fikirannya menjadi tenang. Jujur saja, Noura sangat suka berada di kafe ini. Selain karena pemilik kafe adalah sepupunya sendiri, karyawannya pun semuanya ramah padanya. Ia hanya sedang menikmati hal ini, setiap detiknya.
Seseorang menyentuh pundaknya dengan sedikit meremasnya, ia sudah tau siapa orangnya. Kak Tony memang sering melakukannya, seperti sedang memberi kekuatan dan semangat untuknya. "Sudah waktunya kamu istirahat, ayo makan dulu di belakang".
Dan begitu Kak Tony sudah pergi, ia tau apa yang akan dilakukan sahabatnya itu. Dengan ekor matanya, ia bisa melihat Tia tersenyum dan menggodanya, berlagak seperti mengusirnya. "Shh! Shh! Ada yang khawatir tuh!"
Noura yang sudah hafal dengan kalimat itu hanya tertawa dan berbalik pergi, mengikuti Kak Tony yang sudah ada di belakang.
Di kafe tempatnya bekerja memang diberlakukan istirahat bergantian, jadi kafe tetap berjalan seperti biasa. Karena kafe itu terletak di tempat yang strategis, yaitu di antara gedung perkantoran, hingga membuatnya selalu ramai.
Saat pagi lebih banyak orang yang datang untuk membeli segelas kopi dan sandwich untuk sarapan. Sedangkan saat makan siang, kafe akan jauh lebih padat lagi. Kafe mereka juga akan buka sampai malam, setidaknya hanya sampai pukul 9 malam.
Begitu sampai di ruang istirahat Noura langsung mengambil tasnya dan membawanya untuk kemudian duduk bersama Kak Tony di meja makan. Beberapa karyawan yang istirahat saat itu juga ada yang langsung makan atau lebih memilih untuk tidur sebentar, meski lebih banyak yang asik memainkan ponselnya.
"Hari ini apa lauknya?", Kak Tony langsung memperhatikan kotak makan yang baru dikeluarkan Noura dari dalam tasnya. Entah kenapa setiap kali mereka akan memakan bekal seperti ini, ia selalu lebih tertarik dengan bekal milik Noura.
Noura hanya tertawa dengan pertanyaan itu, "Tiada hari tanpa pertanyaan itu ya kak? Hari ini aku agak kesiangan, jadi aku hanya memasak nasi goreng saja".
"Wah, nasi goreng! Apapun masakan buatanmu akan selalu enak! Jadi, untuk kali ini, nasi goreng ini boleh untukku saja ya. Seperti biasa, kita akan bertukar bekal, kau makan milikku", ucap Kak Tony yang langsung menukar bekal mereka.
Dan setiap kali bertukar makan itulah Noura sadar kalau makanan yang selalu menjadi bekal Kak Tony adalah makanan mahal. Ia heran kenapa Kak Tonya sering membeli makanan mahal untuk bekal makan siangnya.
Entahlah, untuk saat ini ia hanya akan fokus pada makanan di hadapannya.
*****
Tumpukan kertas di atas meja membuat Ferdi pusing saat ini. Ia bahkan melupakan makan siang jika pekerjaan sudah semakin banyak. Wajar saja, ia sudah tidak masuk dua hari kemarin karena pergi ke pernikahan temannya.
"Argh! Kenapa kertasnya nggak berkurang sih?!"
Tok Tok
Suara ketukan terdengar, ia yakin itu pasti sekretarisnya. Tapi ia tak tau apakah akan ada tambahan dokumen lagi nantinya?
"Masuklah!"
"Ada apa? Sepertinya kamu nggak bawa dokumen?". Ferdi merasa heran pada Rio yang masuk tanpa membawa apapun.
Rio sendiri langsung menghela nafas, menggelengkan kepala saat melihat Ferdi yang tampak kelelahan.
"Ayo makan diluar. Kamu belum makan tadi"
Mendengar itu, Rey justru meletakkan kepalanya di atas meja. Ia tau sekretaris yang juga sahabatnya ini akan mulai cerewet setelah ini.
"Kamu sadar nggak sih, dari baru datang tadi kamu sama sekali nggak lepas dari tumpukan kertas ini. Bahkan untuk beranjak atau makan, kamu kayanya enggan. Aku juga ragu kamu masih bernafas tadi!"
Ferdi mengangkat kepalanya, melihat Rio yang sepertinya sudah berasap. "Aku masih bernafas dan hidup. Terimakasih"
Suara Ferdi yang terdengar cukup lirih membuat Rio akhirnya memutuskan untuk menarik paksa Ferdi dari kursinya.
"Aku akan membawamu ke sebuah kafe yang belum pernah kamu datangi sebelumnya"
Ferdi hanya menurut saja, karena memang dari dulu jika sudah saatnya makan siang, selalu Rio yang mengajaknya keluar dan membuatnya tau beberapa tempat makan di sekitar kantor mereka.
*****
"Ini kafenya! Aku yakin kamu pasti akan suka ada disini", dengan langkah percaya diri seperti sudah terbiasa Rio masuk lebih dulu, membiarkan Ferdi mengikuti di belakangnya.
Mereka berdua tak menyadari banyak pasang mata yang mengamati sambil berdecak kagum.
"Silahkan. Mau pesan apa?". Suara halus seseorang menyambut mereka saat baru saja membuka menu yang ada di atas meja.
"Aku coffee latte dan nasi bakar ayam rica, kamu apa Fer?"
Ferdi yang masih bingung memilih akhirnya memutuskan untuk bertanya pada pelayan yang ada di sampingnya. "Apa menu favorit di sini?"
"Untuk menu favoritnya disini a-". Pelayan itu berhenti berbicara karena tiba-tiba saja Ferdi mengenggam tangannya.
Rio yang melihat itu langsung membelalakkan matanya, "Lagi??!"
Pelayan yang kebingungan itu mencoba bertanya pada Ferdi sekaligus berusaha melepaskan genggaman tangannya.
"Nama kamu Noura?", tanya Ferdi dengan wajah serius. Sejenak setelah ia bertanya tentang menu tadi, ia sempat melihat papan nama yang ada di baju pelayan itu.
Noura yang agak kebingungan tetap menjawab pertanyaan itu. "Iya, saya Noura"
"Dulu…apa kamu pernah menolong seorang anak laki-laki dari kecelakaan?", Noura sedikit memundurkan badannya dan menatap Ferdi dengan aneh.
Dan Rio yang menyadari sikap Noura berusaha mencegah Ferdi untuk bertanya lagi. "Fer, udah"
Tapi entah kenapa, saat Noura menatap mata Ferdi yang sedang menatap serius padanya, ia merasa Déjà vu. Mata itu seperti menyerapnya dan membuatnya mengingat masa lalu.
Dengan tegas Noura mengangguk, dan Ferdi kini dapat bernafas lega. Setidaknya, ia sudah mendapatkan satu petunjuk.
Rio yang awalnya merasa malu karena Ferdi terkesan seperti orang gila jika sudah bertemu dengan orang bernama Noura, kini sedikit tersadar. Mungkin itu adalah hal yang begitu penting bagi Ferdi, hingga ia menepiskan rasa malunya.
"Bagaimana dengan luka di kepalamu?". Pertanyaan singkat dari Noura membuat Ferdi terkejut.
"Kurasa saat itu lukanya cukup besar, bukankah sampai ke telinga kananmu?"
Lagi!!
Bahkan Rio sampai menganga, karena ia tau, letak luka yang ada pada Ferdi hanya keluarga saja yang tau. Jika wanita di depannya ini sampai mengetahui sedetail itu, berarti memang dialah yang selama ini dicari oleh Ferdi!
Ia mencoba melihat ke arah Ferdi yang kini sedang tersenyum penuh dengan kelegaan. Ia menarik pelan Noura agar mendekat padanya.
"Kau…akhirnya. Aku menemukanmu".