Chereads / Menuai Kebencian / Chapter 29 - Part 26: Bye Bali

Chapter 29 - Part 26: Bye Bali

Hal paling sedih untuk Cia adalah meninggalkan dan ditinggalkan. Seperti saat ini, Cia belum rela untuk meninggalkan Bali. Liburan dan kerja kemarin terlalu berkesan untuk Cia. Ingin rasanya extend di Bali untuk dua atau tiga hari lagi.

Sayang sekali harus kembali ke kesibukan kantor hari ini. Cia belum kembali ke rumah. Tadi malam saat pulang ke Jakarta, Bram terlalu lelah jika harus mengantar ke rumah Cia terlebih dahulu.

"Bram nanti aku pulang ke rumah ya. Kangen banget sama TJ" ucap Cia. Saat ini mereka sedang sarapan berada di meja makan. "Kalo kamu lembur, aku dijemput sama TJ aja gapapa kok" lanjutnya.

"Oke" jawab Bram. Setelah selesai sarapan, mereka berjalan menuju parkiran.

Bram mendecak sebal dengan pemandangan macet yang ada di depan matanya. "Aku jadi takut deh Bram kalo ketemu Pak Steven" ujar Cia menatap Bram yang sedang fokus menyetir.

"Bilang aja sama aku kalo dia masih ganggu kamu" balas Bram dengan nada serius. Cia tertawa kecil melihat ekspresi Bram. Ciri khas Bram kalo panik adalah diam sambil mengetuk-ketukan jarinya di setir. Cia tau Bram takut telat. Mereka tadi kesiangan. Tapi Cia kekeuh bilang mereka masih punya banyak waktu jadi tetep harus sarapan. Dan benar saja, 10 menit lagi mereka tidak sampai kantor. Maka mereka akan telat.

Meskipun begitu, Cia masih santai. Jarak mobil mereka sekarang sudah di depan kantor. Hanya saja, untuk masuk ke kantor ini macet, jadi mereka harus menunggu. "Sabar" ucap Cia sambil menepukkan tangannya di lengan Bram.

Bram mendecak "Mobil depan ini ngeselin banget" memang sih mobil di depannya ini daritadi ga mau maju.

Benar saja, 7 menit mereka sudah sampai parkiran basement. Bram langsung turun dari mobil dan bergegas masuk ke kantor untuk absen. Begitupun juga Cia.

"dua menit lagi kita telat" ucap Cia menghela napas panjang.

***

"Cia lo dipanggil sama Pak Steven" Ujar Mbak Irna. Mati gue. Batin Cia. Ada masalah apa lagi dia kali ini? Kenapa kantor yang sekarang Cia tempati menjadi agak horror semenjak kejadian di Bali kemarin.

Cia berjalan ke ruangan Pak Steven sambil merapalkan doa.

Tok tok tok

"Masuk" suara Pak Steven terdengar dari luar ruangan. Cia dengan pelan membuka pintu tersebut. "Bapak manggil saya?" tanya Cia dengan hati-hati.

"Kenapa laporan kamu yang minggu lalu banyak sekali kesalahannya?"

"Kesalahan saya dimana ya pak?" tanya Cia lagi. Ia merasa selama ini kinerjanya baik-baik saja. Bahkan laporan ini harusnya Mbak Irna yang check. Tapi kenapa sekarang jadi Pak Steven?

"Tingkat produktivitas keryawan itu harus kamu lihat dengan bener dong. Persenan yang kamu cantumkan tidak akurat Cia" ujar Pak Steven.

"Baik Pak nanti saya perbaiki" jawab Cia. Setelah itu Cia pamit dari ruangan sambil mengucapkan berbagai sumpah serapahnya. Firasatnya tadi pagi benar. Pak Steven pasti akan menjadi berbeda.

Suasana kubikel Cia menjadi rame. Mereka semua berkerubung di meja Cia, menanyakan apa yang terjadi di ruangan tadi. Namun sayangnya Cia tidak mau berbicara apapun.

"Ci lo abis diapain dah? Kok jadi diem gini sih?" tanya Ale.

Cia tetap tidak memerdulikan pertanyaan itu. Dia fokus untuk memperbaiki laporannya. Awas aja kalo laporan gue jadi paling perfect. Batin Cia dalam hati.

Ternyata Cia harus merombak laporan itu dari awal. Memang laporan yang Cia kerjakan adalah salah satu laporan paling rumit karena apabila satu salah ia harus memulai laporan tersebut dari awal. Butuh ketelitian. Sampai tidak terasa jam pulang sudah tiba. Pas. Cia stress tujuh keliling untuk memperbaiki laporannya dan akhirnya laporannya selesai saat jam pulang jadi ia tidak perlu untuk lembur.

Capek akibat lari kemarin belum reda. Walaupun Cia sering lari tapi kemarin adalah lari marathon pertama untuk Cia. Ia butuh tidur seharian di kamar kesayangannya.

"Makan dulu ya" ajak Bram yang sedang menyetir di sebelahnya. Cia sudah tidak mood untuk makan, ia hanya butuh pulang. Tapi ia sadar perutnya juga harus ia isi. Tante Je juga pasti belum sampai rumah.

"Makan dimana?" tanya Cia dengan nada lemah.

"Nasi goreng mau?" tawar Bram menoleh kearah Cia.

"Bosen" jawab Cia. Sebenernya bukan bosen, tapi membaangkan nasi goreng dipikirannya saja sudah membuatnya eneg. "ayam goreng aja deh" lanjutnya

"Siap komandan" balas Bram sambil hormat menggunakan tangan kanannya. Cia tersenyum tipis.

"Kenapa keliatan lemes gitu sih? Tadi diapain aja sama Amel Ale?" tanya Bram sambil mengelus kepala Cia pelan. "Gapapa" jawab Cia.

Bukan apa-apa. Cia hanya malas saja Bram jadi berbuat yang tidak-tidak dengan Pak Steven. Bagaimanapun juga saat ini karir Cia sedang diujung tanduk. Ia masih butuh uang untuk sekolah. Maka dari itu, Cia memutuskan untuk memendam ini.

Mereka menunggu makanan datang. "Emang masalah hari ini seberat itu ya Ai?" tanya Bram memainkan jari jemari Cia. "Kamu beda banget"

Bram memang selalu tau apa yang dirasakan Cia. Entah ekspresi Cia yang terlalu kentara atau Bram memang cenayang. Cia diam cukup lama. Ia menimang haruskah ia menceritakan? Pertahanannya mulai goyah. "Aku gapapa Bram" Cia menautkan tangannya dengan tanganBram sambil tersenyum tipis.

***

"Makasih Bram" kata Cia. Saat ini Cia sudah sampai di depan rumahnya.

"Salam buat Tante Je" balas Bram. Cia mengangguk kemudian turun dari mobil Bram.

Ketika sampai depan pintu Cia mengernyit. Tumben sekali pintu terbuka. Padahal tantenya saja belum sampai di rumah. Ia takut yang membuka pintu ini ternyata maling. Hal yang tidak pernah terjadi di kompleks perumahan ini.

Cia memberanikan dirinya untuk masuk dengan pelan-pelan. Ia takut tiba-tiba ada maling terus nanti ia dibunuh atau disekap. Membayangkan saja sudah membuat bulu kuduk Cia meremang. Baru saja masuk di ruang tamu Cia mendengar suara gelak tawa yang lumayan keras.

Bentar deh, Cia seperti kenal dengan suara tawa itu. Cia masuk ke ruang keluarga. Ia menghela napas panjang. Ternyata orang tua Cia.

"Ibu" ujar Cia berdiri di belakang sofa ruang keluarga. Ibu Cia membalikan badan. "YaAllah anakku" ucap Ibunya beranjak dari sofa dan berjalan memeluk Cia.

Tangis Cia langsung pecah saat itu juga. Sudah lama sekali ia ingin bertemu orang tuanya. Namun apa daya ia harus bekerja demi menghidupi dirinya. Memang orang tua Cia adalah pensiunan PNS, sehingga Cia tidak butuh menafkahi mereka. Cia hanya butuh menafkahi dirinya sendiri. Mungkin kalau Cia bisa memilih tidak bekerja dan tinggal di Jogja. Tapi bukan itu yang Cia mau. Ia ingin berdiri dengan kakinya sendiri. Menjadi lebih hebat dari kedua orangtuanya.

Sudah hampir satu tahun Cia tidak pulang ke Jogja. Tidak bertemu dengan keluarga kecilnya.

"Bapak" Ujar Cia lirih. Air mata Cia sudah bercucuran. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Daritadi Cia hanya berdiam ditempat memeluk kedua orang tuanya.

"Bapak sama Ibu di sini dari kapan?" tanya Cia sambil mengusap air matanya.

"Baru tadi pagi" sahut Ibu Cia.

Cia menghela nafas lega. Setidaknya mereka tidak tau kalau di Jakarta Cia sering nginep di tempat seorang pria. "Kamu kalo kerja ga pake mobil to nduk?" tanya Bapak. Pertanyaan yang tidak ia kira sebelumnya. Haruskah Cia menjawab jujur?

***