"Mel gue tau lo kesel sama gue, tapi kali ini plis tolong gue" mohon Bram putus asa. Amel melihat Cia sudah melengang begitu saja tanpa memperdulikannya. Wanita berambut panjang ini menatap Bram kasihan. Ingin rasanya mengumpat pada Bram. Ia benar-benar benci dengan pria di depannya saat ini.
"Apa yang bisa gue bantu?" tanya Amel pelan. Mata Bram berbinar mendengar jawaban Amel. Cia tidak salah memilih teman. "Nanti malem gue ada small party sama Ibra, Revi, Ale dan Lo juga harus ikutan, jadi lo juga harus bikin gimana caranya Cia mau masuk kamar gue biar dia ikut party ini" perintah Bram penuh harap. Amel terlihat sedang menimang-nimang haruskah ia menuruti permintaan Bram atau tidak.
Bram meremas pundak Amel "Gue mohon" setelah itu Bram berlari menuju taman Villa. Amel menganga dibuatnya. 'terus gue harus mikir sendiri gimana caranye? Sial emang Bram' gerutu Amel pada dirinya sendiri. Ia tidak habis pikir bisa-bisanya temennya punya doi macem gitu. Aneh.
Sesampainya Amel di taman villa untuk mengikuti serangkaian acara makan malam hari ini, ia mendapati Cia sedang melamun. Kalau Amel mengajak Cia untuk ikut ke kamar Bram sudah pasti ia akan menolak mentah-mentah. Amel mengetuk kepalanya sendiri. Mereka yang berantem tapi kenapa Amel yang frustasi.
Amel butuh penenang. Ia berjalan menuju kearah tempat wine berada. Kantor mereka memang tajir melintir. Mereka menyediakan bar tender untuk karyawannya. Amel tersenyum meraih wine di genggamannya. Diminumnya jenis alcohol tersebut dengan satu kali tegukan. Kemudian ia menaruh gelas tersebut di sembarang tempat lalu berjalan mengitari taman. Amel mengernyit ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang.
"Apa Le?" tanya Amel kepada pria berjas hitam putih di belakangnya. Sungguh Amel sudah tidak ingin lagi berkontak dengan Ale. Setelah kematian ayahnya, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakan dirinya dan keluarganya. Ia tidak ingin membuang segala energinya untuk orang yang tidak akan ia dapatkan. Baginya memiliki sahabat seperti Cia sudah cukup.
Ale tersenyum pahit "Jujur Mel gue gatau apa yang ada dipikiran lo saat ini. Semenjak bokap lo gaada gue mau jadi temen yang selalu ada di sebelah lo tapi lo malah ngehindar. Kalo emang gue ada salah gue minta maaf Mel"
Amel terkekeh pelan "Temen kan? Yaudah kalo cuma temen kenapa harus selalu ada di samping gue?" tanya Amel sarkas. Bram menegang mendengar pertanyaan Amel. Kemudian wanita bergaun biru navy ini berbalik badan dan kembali berjalan kearah kursi makan berada. Baru selangkah, Amel merasakan ada seseorang yang memeluknya dari belakang "Gue sayang sama lo Mel"
Sekarang Amel yang membeku. Ia tidak menyangka Ale akan mengatakan itu. Apa dia cuma akting? Batin Amel. Dilepasnya pelukan tersebut. Amel kembali menatap Ale lekat. Ia mendapati pria yang memeluknya tadi memejamkaan mata seakan mengumpulkan segala energinya untuk mengatakan hal ini. "Buka mata lo"
Dengan pelan Ale membuka mata. "Sorry gue sayang sama lo sejak kita kerja bareng di kantor ini. gue tau gue ga berhak dapet balasan cinta lo. Gue tau perasaa---" belum selesai Ale mengucapkan pernyataannya, tiba-tiba Amel memeluk erat tubuh Ale. "Gue juga sayang sama lo" ujar Amel pelan sekali.
Ale membalas pelukan Amel tidak kalah eratnya. Setelah dirasa cukup untuk memeluk, Ale mengajak Amel untuk makan malam. "Lo di undang ke acara party Bram?" tanya Ale. Amel mengangguk sambil mengunyah.
Amel menepuk jidatnya "Mati gue, Le plis tolongin gue dong" pinta Amel panik. Ale memegang pundak Amel "Tenang tenang, tolongin apa?"
Amel menceritakan semua kejadian yang terjadi beberapa saat lalu. "Terus gue harus gimana biar Cia mau maafan sama Bram" rengek Amel. Ale tersenyum miring "Gue punya rencana" lalu Ale beranjak dari kursinya dan melengang pergi. Amel bingung dibuatnya. Ia mengedikkan bahu lalu melanjutkan makannya. Setelah menyelesaikan makannya, Amel berencana untuk masuk ke kamar saja menemani Cia. Wanita itu pasti sudah mendekam di kamar sejak tadi. Amel sangat mengerti bahwa Cia tidak terlalu suka keramaian.
Ditengah ia menuju ke kamar, ada seorang wanita berambut lurus menggunakan gaun panjang berwarna hitam yang melambaikan tangan kepadanya. Amel menyipitkan matanya. Ia berjalan mendekat kearah lambaian tersebut. "Revi?" wanita yang merasa terpanggil itu mengangguk. "Ayo kita ke kamar Bram" Amel mengernyit bingung. Buat apa? Pikirnya dalam hati.
"Diundang Bram juga kan?" tanya Revi lembut. Wanita dihadapannya ini memang menawan. Revi memiliki paras seperti wanita bule. Amel pernah dengar kalau Revi itu blasteran. Revi juga memiliki tubuh yang tinggi. Ia lebih cocok jadi model daripada hanya menjadi karyawan swasta.
Amel mengangguk mengiyakan. Ia baru ingat kalau ia diundang Bram. Inimah judulnya pesta dalam pesta. Revi menggandeng tangan Amel menuju ke kamar Bram yang berada di lantai dua. Terus Cia gimana? Tanyanya dalam hati. Yaudah nanti gue telfon aja, gue kibulin aja kalo gue dijebak sama orang di kamar Bram. Selesai. Jawabnya sendiri dalam hati.
Ketika mereka sampai di kamar Bram, tuan rumahnya justru tidak ada di kamar. Namun sepertinya Revi sudah mendapatkan mandat dari Bram sehingga ia bisa membuka kamar dengan kartu Bram. Amel mengambil ponselnya dari dalam saku, ia berniat untuk menghubungi Cia.
Amel tak kunjung mendapat jawaban dari Cia. Tumben sekali Cia tidak memegang ponselnya. Apa Cia sudah tidur dikamarnya. Amel segera beranjak dari duduknya, ia ingin menemui Cia sekarang juga. Perasaannya terasa tidak enak. Ia merasa was-was.
"Mau kemana Mel?" tanya Revi yang sedang membuat teh di dapur. "Bentar Rev gue jemput Cia dulu" sahut Amel yang sudah berjalan menuju pintu.
"Tunggu Mel," ujar Revi menahan langkah Amel.
Brak
Ibra dan Ale datang dengan nafas terengah-engah. Amel langsung mendatangi Ale. "Lo kenapa?" tanya Amel menatap Ale. Ale menunjuk ke belakang. Ia mengikuti arah tangan yang Ale tunjuk. Ia mendapati Cia dengan tubuh gemetar. Tanpa pikir panjang Amel langsung mendatangi Cia dan memeluknya. Ia tidak tau apa yang terjadi. Ia pun tidak mau bertanya sekarang. Yang terptning saat ini adalah menenangkan Cia. "Lo gapapa kan?" Cia mengangguk sebagai jawaban. Amel menuntun Cia untuk duduk di sofa.
Selagi Bram mengambilkan minum untuk Cia, Amel berjalan kearah Ale. "Apa yang terjadi?" tanya Amel dengan nada rendah. "Pak Steven" jawab Ale singkat.
"Pak Steven kenapa?" tanya Amel lagi. Ale menepuk pundak Amel "Panjang ceritanya"
Bau-baunya pesta yang diadakan oleh Bram dibatalkan. Cia membuyarkan lamunan Amel. Ia mengajak Amel untuk pulang ke kamarnya. Sebelum dibalas oleh Amel, Ale menyahut "Dia masih mau sama gue" Amel mendongak ke wajah Ale. Apa-apaan? Sejak kapan Amel bilang kalau dirinya mau sama Ale.
Setelah selesai menonton film. Amel dan Ale keluar dari kamar Bram. "Yuk" ajak Ale mengamit jari Cia. Amel menjadi semakin bingung dengan ucapan Ale.
"Yuk kemana?" tanya Amel menahan tangan Ale. "Ke kamar" jawabnya polos sekali.
"Ngapain?" tanya Amel lagi. Ale kembali menggandeng tangan Amel. Mereka berjalan menuju kamar Amel.
Amel tidak tahu arah pembiacaraan Ale. Ia hanya menurut apa kata Ale. Sesampainya di kamar Ale menyuruh Amel untuk berganti baju. Amel pun menuruti kata Ale. Setelah selesai mengganti gaunnya dengan piyama, Ale mengajaknya untuk naik ke ranjang. Amel seperti orang bodoh yang hanya mengikuti semua instruksi Ale.
Sekarang mereka sama-sama berbaring. Jika ditanya bagaimana perasaan Amel saat ini, jawabannya adalah gugup ditambah deg-degan setengah mati. Makanya ia seperti orang terhipnotis.
"Jadi ini rencana lo?" tanya Amel. Ia memiringkan kepalanya menatap Ale.
Ale mengangguk "Sama Bram" Amel beranjak dari tidurnya. Ia mendudukan tubuhnya di kepala ranjang "Berarti aku juga ikut kejebak?"
Ale tersenyum lebar "Yang penting Bram sama Cia baikan kan?" Amel menyilangkan tangannya mendengus kesal. Bisa-bisanya mereka membuat rencana di dalam rencana. Terus ngapain Bram minta tolong gue? Amel menatap Ale sinis. Sedangkan Ale membalas tatapan Amel dengan tersenyum polos sambil mengangkat dua jari tengah dan telunjuknya.
Amel kembali membaringkan dirinya. Ia membelakangi Ale. Amel benar-benar kesal dengan mereka berdua. Awas saja pria bernama Bram itu. Tidak aka nada kata maaf. Kalo Ale? Mungkin seminggu kemudian baru ia maafkan. Ia mulai memejamkan mata berusaha untuk tidur.
Amel merasakan tengkuknya ditiup oleh seseorang. Pasti Ale. Amel memutar bola matanya. "Sorry Mel" Bisiknya tepat di tengkuk Amel. Ia berdecak kesal dan tetap mengabaikan ucapan Ale.
Pinggang Amel sekarang ditindih oleh tangan Ale. Bodo amat. Amel kembali memejamkan mata. Ia tidak nyaman dengan posisi ini. jantung Amel serasa mau copot. Tangan Ale mulai bergerak ke atas. Sedangkan wajah Ale mulai mendekat ke wajah Amel. Amel menahan nafas. Ia geli dengan pergerakan tangan Ale. Dirasakannya wajah Ale yang sudah mulai mencium pipi Amel. Kemudian berlanjut ke jidat, hidung, dan terakhir Amel merasakan bibir Ale melumat bibirnya.
Maka terjadilah semua kegiatan malam mereka.
***
Cia mengangguk mengerti dengan cerita Amel. Hingga tak terasa 1 jam perjalanan sudah ia lewati.
"Enak gak gitu gitu" tanya Cia berbisik. Amel tertawa lebar mendengar pertanyaan Cia "Lo belom pernah?" tanya Amel dengan nada keras. Cia langsung menutup mulut Amel menggunakan kedua tangannya "sssttt"
"Eh tapi serius deh Ci, lo belum pernah ngelakuuin 'itu' sama Bram?" tanya Amel memelankan nada bicaranya. Cia menggeleng "Mana berani dia nyentuh gue"
Amel tertawa kecil "Suami takut istri soon to be"
Cia terkekeh kecil mendengar kalimat yang dilontarkan Amel. Kemudian Amel dan Cia turun dari bus dan memasuki area produksi. Di sini mereka lebih seperti study tour karena daritadi para pemagang hanya mendengarkan seorang pria berbicara menjelaskan design, bahan, dan segala hal terkait dengan produksi pembuatan hotel dan villa di Bali.
Bram sudah berpisah dengan dirinya sejak pagi. Bahkan Bram menuju kantor ini menggunakan mobil. Katanya ia disini untuk meeting bukan piknik seperti dirinya. Cia mendengus kesal kalau mengingat kejadian pagi tadi. "Mel, lama-lama gue ngantu dengein mas-mas ini jelasin" keluh Cia
Amel pun merasakan hal yang sama "Kabur yuk" Cia mengangguk semangat dengan ajakan Amel.
Mereka berdua izin ke toilet kepada Bli yang sedang menjelaskan itu. Namanya Bli Wayan. Ia adalah karyawan bagian pemasaran di kantor ini. Entah hanya Cia yang merasa atau bagaimana, orang bali tuh ganteng-ganteng. Apalagi kalo udah pake udeng. Kalo di jawa ada Blangkon, di Bali ada udeng. Banyak masyarakat Bali yang mengenakan ikat kepala tersebut.
"Woi" teriak seorang pria yang berlari dari arah belakang. Mereka menoleh ke belakang bersamaan. Ale. Lagi dan lagi kunyuk satu ini memang tidak pernah ketinggalan. Kalau diumpamakan mereka bertia ini seperti paketan. Beli satu dapat tiga. "Gue tau lo pada pasti ngibul kan" ucap Ale terngeh-engah.
"Udah yuk gue anter kalian ke suatu tempat" ajak Ale. Mata mereka berdua berbinar. Memang Ale teman Cia paling terbaik. Ia tau apa yang Cia butuhkan.
***
To be continue
Kira-kira mereka kemana guys? Komen dibawah ya
Jangan lupa kasih aku vote juga.
Thank you guys
Stay healthy