"Ai sorry" ujar pria yang sedang mengejar wanita bergaun panjang. Cia tetap acuh dengan pria yang berusaha menyamai langkahnya. Siapa yang tidak kesal jika ditinggal? Parahnya lagi orang yang ninggal adalah orang yang mengajak. Terus sekarang mau minta maaf seenaknya. Ya jelas saja Cia tidak terima.
Bram menyerah. Ia menarik tangan Amel yang berada di sebelah Cia. "Mel gue tau lo kesel sama gue, tapi kali ini plis tolong gue" mohon Bram putus asa. Amel menatap Bram kasihan. Ia melihat pria berjas ini sudah menunggu Cia sejak mereka bersiap di kamar. "Gimana cara gue nolong?" tanya Amel. Daaritadi juga Amel sudah membujuk Cia agar ia membalas pernyataan maaf Bram tapi Cia tidak menggubris bujukan Amel.
Sambutan dari Pak Steven berkumandang. Cia tidak mendengarkan sambutan tersebut. Wanita berambut pendek ini sibuk dengan lamunannya. Ditengah-tengah Cia melamun, pundaknya serasa ada yang menepuk dari belakang. Ia tau pasti itu bukan Bram karena pria tersebut tidak akan menghampiri Cia di depan kolega bisnisnya. Bram sangat menjaga profesionalitas. Bahkan saat meeting dalam satu ruangan yang sama saja Bram tidak pernah membedakan Cia dengan yang lain. Pernah suatu kali Cia dimarahi oelh Bram karena salah menginput data. Cia pun tidak pernah sakit hati jika itu menyangkut 'profesionalitas'.
"Malam Pak Steven, ada yang bisa saya bantu?" tanya Cia dengan sopan. Padahal ia mengumpat dalam hati. Kenapa harus bertemu dengan dia lagi. Perasaan tadi pria ini baru saja memberi pidato, kenapa sekarang tiba-tiba ada di sini?
"Tolong nanti setelah makan malam kamu ke kamar saya ya" perintah Pak Steven. "Ada pekerjaan kamu yang harus direvisi"
Cia menatap Amel yang ada di sebelahnya. Ia menaikkan satu alisnya ke atas. Amel hanya mengedikan bahunya. "Ya Pak" balas Cia. Pak Steven mengangguk sambil tersenyum "Cantik" gumam Pak Steven lalu ia melenggang pergi. Amel mendengar gumaman kecil itu. Manajer yang terkenal galak bisa-bisanya memuji seorang Cia. "Kenapa Mel geleng-geleng gitu? Naksir lo ya sama Pak Steven?" tanya Cia yang sedang mengambil camilan di meja. Wanita yang tingginya lebih 10 cm dari Cia tersenyum "Pak Steven tadi bilang kalo lo cantik" jawab Amel.
Entah mengapa kata-kata yang dilontarkan Pak Steven kepadanya tidak menggetarkan hatinya. Ia hanya merasa terkesan karena seorang manajer mau menghampiri juniornya demi sebuah kalimat "cantik". Cia tidak habis pikir. Ada apa dengan atasannya itu?
Acara makan malam diadakan hingga pukul 9 malam. Namun baru jam 8 saja Cia sudah tidak kuat. Ia tidak nyaman dengan kebisingan. Lebih enak di kamar sambil nonton youtube atau film. Pikir Cia. "Mel pulang yuk" ajak Cia. Tidak ada sahutan. Cia membalikkan badannya, dan benar saja Amel sudah menghilang. Cia mengedarkan pandangan ke semua arah. Ternyata Amel sedang minum dengan pria. Setau Cia itu adalah pria yang satu devisi dengan Bram. Cia beberapa kali bertemu dengan pria itu pada saat meeting. Bali mendekatkan yang jauh menjauhkan yang dekat ya bund. Batin Cia.
Akhirnya Cia memutuskan untuk kembali ke kamar sendiri. Ia mungkin akan menemui Pak Steven jam 9 ketika acara sudah selesai. Syukur-syukur kalau jam segitu Cia belum tidur. Kalau sudah tidur yam au bagaimana lagi. Sesampainya di kamar, Cia langsung berganti baju dan merebahkan badannya di ranjang. Ia mengambil ponsel yang daritadi ia taruh di tas.
Cia menghabiskan waktunya dengan bermain Instagram dan tiktok. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 9. Haruskah Cia ke kamar Pak Steven? Cia malas sekali. Melihat kelakuan Pak Steven yang aneh bin ngeselin membuat Cia tidak berminat untuk ke sana. "Amel kemana sih? Ga niat pulang apa tuh anak?" Guman Cia kesal.
Setelah berpikir lama, Cia memutuskan untuk ke sana. Semoga saja tidak terjadi hal-hal aneh. Cia berganti baju menggunakan kemeja dan jeans. Menurutnya hanya pakaian itu yang menujukkan kesopanan. Ia berjalan ke luar dan menemukan suasana villa yang masih rame. Ternyata teman-temannya doyan party. Cia mengedarkan padangannya, siapa tau Pak Steven masih di sini.
Cia tidak menemukan batang hidung Pak Steven. Berarti Pak Steven sudah masuk kamar. Kamudian Cia melanjutkan langkahnya ke kamar manajernya. Letak kamarnya berada di belakang. Dengan penerangan yang minim, Cia memberanikan diri untuk tetap berjalan sampai tujuan.
Diketuknya pintu kamar tersebut. "Masuk Ci" ujar Pak Steven mempersilahkan. Cia berjalan masuk ke dalam kamar. Cia terperangah dengan isi kamar ini. Kamar Pak Steven terdiri dari ruang keluarga, dapur kecil, dan sebuah pintu yang ia yakin itu adalah kamar. Cia mendudukan bokongnya ke sofa dekat dapur. Sedangkan Pak Steven masuk kamar, katanya ia akan mengambil file yang akan Cia revisi.
"Saya kira kamu ikut pesta itu sampai larut malam" ucap Pak Steven yang keluar dari kamar. Cia menggeleng "Saya gasuka keramaian Pak" sahut Cia.
Pak Steven melongo mendengar jawaban Cia "Sama dong"
Saat ini Pak Steven mendudukan bokongnya di sofa yang sama dengan Cia. "Saya benci dengan bising" kata Pak Steven sambil memainkan kertas. Cia hanya diam mendengarkan tanpa berniat untuk menyahuti curhatan tersebut.
"Nih" Pak Steven mengulurkan tangannya memberi berkas. Cia membuka berkas tersebut, ia melihat ada beberapa coretan yang mungkin itu harus Cia ganti. "Udah saya coret-coret, kamu tinggal ikut intruksi aja" perintah pak Steven.
Cia berniat langsung pamit agar ia bisa menyelesaikan pekerjaanya malam ini juga. Tetapi Pak Steven menolak. Ia bilang masih ada satu pekerjaan lagi yang belum Cia kerjakan.
"Apa pak?" tanya Cia. Pak Steven mendekat ke arah Cia. Wanita itu merasa tidak nyaman dengan tatapan atasannya. Ia reflek mundur menghindari Pak Steven. Semakin Cia menghindar justru Pak Steven semakin mendekat. Sekarang Cia sudah berada di pintu. Cia bersiap membuka gagang pintu. Ketika di Tarik kebawah, pintu tersebut tidak membuka. Sial. Pintunya sudah terkunci. Pak Steven terkekeh "Mau keluar?" Cia semakin takut dengan tingkah atasannya ini.
"Ke---napa di kunci?" ujar Cia ketakutan. Satu tangan Steven sudah disandarkan pada dinding. Wajahnya semkain maju ke depan. Hidung Pak Steven sudah berada di pipi Cia. Setelah beberapa detik memikirkan cara keluar, Cia memutuskan untuk menendang 'biji' Steven lalu berlari menuju dapur. Cia mengambil pisau. "Mau ngapain lo? Jangan coba-coba kurang ajar sama gue" ancam Cia sambil menjulurkan pisau ke depan.
Steven tertawa lebar. "Mau bunuh? Bunuh aja" perintah Steven mendekat kearah Cia "Lo cuma harus muasin gue habis itu lo boleh keluar dari sini" Cia meletakan pisau tersebut lalu berjongkok, ia diam membeku sambil memejamkan mata. Ia meneteskan air mata. Ia tidak meyangka atasan yang baru beberapa hari lalu ia ajak bicara ternyata penjahat kelamin. Sekarang pria itu mengangkat baju Cia dengan kasar. "Bangun sayang". Tangan Steven muali menggerayangi badan Cia. Ia memegang pinggang Cia lalu bergerak ke atas. Cia hanya memejamkan mata daritadi.
Diam-diam Cia mendial nomer Bram. Ia tidak tau di angkat atau tidak karena Cia tidak bisa melihat layar ponselnya.
Brakkk
Suara pintu depan terdengar sangat keras. Cia membuka matanya dan menemukan sosok Bram di hadapannya bersama dengan Ale dan Ibra. Cia menghampiri Bram. Ia langsung menubrukan badannya ke Bram. Memeluk erat tubuh tersebut. "Kamu gapapa?" tanya Bram sambil mengelus-elus puncak kepala Cia.
Cia mengangguk sebagai jawaban. Tubuhnya bergetar hebat. Bram melepas pelukan tersebut dan menuntun Cia agar keluar kamar bersama dengan Ale dan Ibra. Setelah itu Bram menatap tajam Steven. "Lo apain cewek gue?" tanya Bram mendorong keras pundak Steven. Pria itu tertawa sinis "Akhirnya lo kepancing juga"
Bram terdiam. "Lo gainget sama gue?" tanya Steven mendekat kearah Bram.
Bram terlihat sedang berfikir. "Steven Cooper anak dari Pak Bumi selaku CEO Bumi Citra Asia. Temen kuliah gue dulu" ujar Bram tersenyum sinis "Orang paling tolol yang pernah gue temui"
Steven menganggukan kepala sambil tertawa tipis. "Lo udah ambil semua temen gue waktu kuliah. Gara-gara lo, gue jadi gapunya temen. Sekarang gimana rasanya kalo cewek lo gue ambil? Ga terima kan lo?" ucap Steven. "Ga cukup sampe temen gue, lo juga ambil cewek gue" Steven semakin mendekat ke arah Bram "Puas lo? PUAS?"
Bram tertegun mendengar semua ucapan Steven. Ia tidak pernah sengaja mengambil itu semua. Bahkan ia tidak menyangka bahwa Steven mempunyai dendam dengannya. "Gitu doang? Dendam lo terlalu dangkal" Bram terkekeh "Terus kalo gue puas lo mau apa?" Bram menyentuh pundak Steven dengan satu jarinya
"Kasih cewek lo ke gue" ujar Steven "Biar lo tau gimana rasanya ditinggal seseorang yang lo sayang"
Bram menarik paksa Cia ke hadapan Steven. Cia hanya menunduk dan menuruti Bram. "Nih gue kasih cewek gue" Cia mendongak terkejut dengan perkataan Bram. Apa yang Bram pikirkan sehingga ia dengan sukarela memberikan dirinya ke Steven.
Steven pun tidak kalah terkejutnya. Kemudian Steven menarik tubuh Cia. "Puas lo?" tanya Bram menantang. Bram mengambil ponsel dari sakunya. Tidak disangka ternyata Bram merekam semua percakapan mereka. Bram menaikan bibirnya "Gue bisa laporin ini ke bokap lo" ancam Bram "Gue tau bokap lo memandang lo sebagai karyawan di perusahaan ini. Dengan rekaman ini bisa dipastikan lo bakal dipecat sama dia" Bram berjalan mendekat ke arah Steven "Apa lagi kalo gue kasih ke media. Anak dari pengusaha nomer 1 se Indonesia melakukan percobaan pemerkosaan terhadap salah satu karyawannya" Steven terdiam membeku.
Bram menarik tubuh Cia lagi lalu mereka keluar dari kamar Steven. Begitupun dengan Ale dan Ibra. Mereka daritadi hanya melihat pertunjukan antara Bram dan Steven. Alasan mereka tidak ikut campur karena mereka tidak tau permasalahan apa yang diperbuat mereka berdua di masa kuliah. Toh juga mereka tidak adu jotos.
"Bram emang lo tuh ngapain dah sama si Stepen itu?" tanya Ibra yang sekarang berjalan di belakang Bram dan Cia. "Huss udah dia lagi emosi" ujar Ale sambil menaruh jari telunjuknya di depan mulut. Ibra mendengus.
Sesampainya di kamar Bram. Revi dan Amel langsung menghampiri Cia "Cia lo gapapa kan?" tanya Amel panik. Cia tidak menjawab pertanyaan Amel. Bram menuntun Cia dan mendudukannya di sofa kamarnya. Tubuh Cia gemetar daritadi. Bram berjongkok mensejajarkan tubuhnya pada Cia. "Mau teh?" tanya Bram. Cia mengangguk sebagai jawaban.
Amel dan Revi mendudukan dirinya di sebelah Cia. Amel mengelus-elus punggung Cia. "Lo gapapa kan?" Cia mengangguk "I'm okay"
Bram datang membawakan teh hangat untuk Cia. "Maaf ya aku ga bisa jagain kamu" Cia memeluk tubuh Bram dan menenggalmkan kepalanya pada dada bidang Bram. Cukup lama ia berada dalam posisi itu. Setelah merasa cukup, Cia melepaskan pelukan tersebut. Ia mendongak menatap Bram. "Makasih ya"
Bram menangkup kedua pipi Cia "yang penting kamu baik baik aja" Cia memejamkan matanya. Sedangkan Bram melihat tingkah Cia jadi geli sendiri. Di sentilnya dahi Cia. "Awh" desis Cia
"Nanti aja disini banyak orang" bisik Bram di telinga Cia. Seketika wajah Cia menjadi merah.
"Ehem" deheman Ibra menyadarkan mereka berdua "Serasa dunia milik berdua ya bund"
Revi, Amel dan Ale tertawa lebar melihat Bram dan Cia yang salah tingkah. "Yaudah silahkan dilanjut. Ijinkan budak budak ini keluar terlebih dahulu tuan" Ibra menyahut lagi sambil menundukan badannya berjalan keluar. Revi memukul punggung Ibra.
"Aww sakit yang" keluh Ibra. "Ya lagian ngapain deh ga jelas gitu" omel Revi.
"Yaudah sana kalian keluar" usir Bram. Mereka berlima melongo. Setelah itu mereka semua benar-benar berjalan kea rah pintu. "Tega kamu sama aku" ucap Ibra dramatis.
Pada saat mereka sudah berada di depan pintu tiba-tiba ada pelayan hotel mengantarkan makanan yang cukup banyak. "Makasih mbak" ujar Bram tersenyum. "Jadi kalian mau masih disini apa pulang? Sayang sih ini makanannya kalo dibuang" lanjut Bram.
Tanpa pikir panjang Ibra kembali ke arah meja makan dengan wajah bersemangat "Emang gue gapernah salah milih temen" ucapnya sambil mencomot makanan yang ada di meja. Amel dan Ale pun ikut bergabung makan. Sedangkan Bram menghampiri Cia "Gamau ikut makan?" tawar Bram. Cia meletakan jarinya di atas dagu "Hmmm" Bram terkekeh kecil melihat tingkah Cia. Ia langsung menarik tangan Cia menuju meja makan. Kamar yang ditempati Bram mempunyai fasilitas yang sama seperti Pak Steven. Jadinya mereka mempunyai kamar yang terpisah dengan ruang tamu dan ruang makan.
Mereka memutuskan untuk menonton film horror di televisi ruang tamu. Karena sofa yang tersedia hanya cukup untuk 3 orang, jadilah yang cewek berada di atas dan para pria berada di bawah. Posisi Cia berada di atas Bram, Revi berada di atas Ibra dan Amel berada di atas Ale. Awalnya mereka menonton dengan khidmat sambil memakan camilan yang disediakan oleh Bram. Ketika sudah mulai adegan-adegan horror, Ibra mulai tuh modus pegang-pegang tangan Revi. Berawal dari tangan, sekarang mereka sudah bercumbu di meja makan. Tinggallah mereka berempat. Cia dan Bram saling berpegangan tangan sejak dimulainya film. Begitupun dengan Amel dan Ale. Cia melihat mereka mulai dekat lagi. Ia tersenyum melihat itu. Hingga tidak terasa film sudah selesai.
Cia mengajak Amel untuk pulang ke kamarnya. Sebelum dibalas oleh Amel, Ale menyahut "Dia masih mau sama gue" Tentu saja Cia tidak berani jika harus tidur di kamar sendirian. Terus nasib Cia gimana dong? Cia menghampiri Bram di dapur. "Aku gaada temen di kamar" rengek Cia.
Bram tersenyum lebar "Terus aku harus gimana?"
***
To be Continue..
Nah loh terus Bram harus gimana tuh guys? Komen dibawahh yaaa hehehe
Jangan lupa juga kasih vote, power stone or anything
Thankyou guys
Stay healthy