"Loh Ci ga berangkat kerja?" tanya Tante Je yang sedang menyelesaikan sarapannya. Cia juga sedang bingung. Bram tak kunjung datang ke rumah untuk menjemputnya. Kejadian yang belum pernah terjadi selama beberapa bulan belakangan ini.
Sejak tadi Cia hanya bolak-balik di ruang makannya sambil menatap ponselnya. Ia sudah belasan kali menelepon Bram. Apa mungkin tadi malam Bram ke club? Tapi semenjak ia dekat dengan Bram, ia hanya menemui Bram pernah ke bar satu kali.
Harusnya ia berangkat dari 20 menit yang lalu. Sepertinya Cia harus berangkat sendiri. Menunggu Bram yang tak tau kabar pastinya hanya membuat Cia telat masuk kantor.
"Je aku berangkat ya" pamit Cia
"Tumben Bram ngga jemput" tanya tante Je
"Iya aku juga gatau Je"
"Yaudah kamu hati-hati ya" pesan Je
Cia mengangguk sambil melambaikan tangan
Sudah lama tidak menyetir sendiri membuat Cia menjadi agak lupa cara menyetir. Padahal kalau diitung-itung Cia baru beberapa bulan ini tidak menyetir. Namun kali ini Cia lebih banyak panik karena 30 menit lagi Cia telat. Apalagi jalanan ketika pukul 7 adalah jalanan paling menyebalkan karena kita berperang dengan orang yang sama-sama mengejar waktu agar sampai kantor ataupun sekolah tepat waktu.
"Anjir dompet gue ketinggalan" ucapnya bermonolog. Inilah yang terjadi apabila Cia panik. Pasti ada saja yang tertinggal. Untung di tas Cia masih ada beberapa uang sisa kembalian yang tidak pernah ia masukkan ke dompet. Tapi masalahnya bukan disitu, SIM dan KTP Cia ada di dompet itu. Salah satu barang yang cukup penting pada saat menyetir seperti ini.
"Bismillah aja gaada polisi nangkep gue"
Alasan Cia tidak mau telat karena jika ada karyawan telat maka mereka akan dipotong uang makannya sebesar 1%. Dan benar saja hari ini Cia telat 25 menit. Selamat tinggal uang makan 1%ku. Batin Cia. Tinggal di ibu kota membuat Cia semakin perhitungan terhadap segala hal terutama uang.
Sesampainya di kubikel, Cia dicecar pertanyaan oleh Ale
"Habis dari mana Ci?
"Kok tumben telat?
"Muka lo kusut amat Ci?"
Sedangkan Cia memilih duduk dan menghela napas sebanyak mungkin. Menghabiskan tenaga sekali nyetir hari ini. Setelah merasa cukup mengistirahatkan badannya. Cia membuka ponselnya berharap Bram memberinya kabar. Namun, sampai sekarangpun Bram tidak membalas pesan Cia.
Brakk
Cia terkejut mendengar suara gebrakan meja yang dihasilkan dari meja depannya. Ya siapa lagi kalau bukan Ale. Cia mengelus dadanya. "Lo kenapa sih" tanya Ale lagi.
"Tadi gue tungguin buat berangkat bareng Bram tapi dia gaada kabar sampe hari ini, jadilah gue nyetir sendiri. Ya lo tau kan sekarang gue telat" jelas Cia
"Ohhh" tanggap Ale
Cia memutar bola mata. Selalu. Ale tuh tukang kepo tapi kalau sudah dikasih tau, ia akan menanggapi singkat dan terkesan tidak mendengarkan.
Ketika Cia ingin mengadu kepada Amel ternyata tidak ada orang disebelahnya. Cia melihat ke sekitar ruangannya untuk menemukan sosok Amel namun Cia tidak menemukannya.
"Le, Amel mana?" tanya Cia masih sambil melihat ke segala sudut kantor.
"Ngga berangkat, tadi gue tanya dia bilangnya masih di rumah sakit"
Cia langsung terdiam mendengar jawab dari Bram. Cia takut perkataan Amel waktu itu benar adanya. Gue gamau lo ngerasain kehilangan orang yang lo sayang Mel. Ucap Cia dalam hati.
Cia mengambil ponselnya kembali dan segera megetikkan pesan untuk Amel,
To: Amel
Mel apapun kabar lo please kasih tau gue.
Ditaruhnya kembali ponsel Cia. Kemudian Cia segera menghidupkan komputernya untuk bekerja. Bahan meeting untuk besok minggu depan di Bali harus selesai secepatnya. Ia tidak mau menunda-nunda pekerjaannya.
Ting
From: Amel
Jam 10 nanti alat yang ada di badan ayah gue dilepas
To: Amel
Gue boleh nemenin lo kesana?
Sepertinya jam 10 Cia bisa izin sebentar. Meeting pun diadakan setelah makan siang. Jadi semua pekerjaan masih bisa terhandle dengan baik.
Cia tidak ingin membiarkan temannya sendirian merasakan sakit. Walaupun di sana ada keluarganya tapi tetap saja ia ingin menjadi pundak Amel. Cia mengerti betul bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yaag kita sayang. Mungkin Cia belum merasakan kehilangan orang tuanya namun ia pernah kehilangan kakek dan neneknya. Orang akan berkata 'yailah Cuma kakek' tapi bagi Cia kehilangan mereka adalah kehilangan terbesar untuk Cia saat ini. Cia kehilangan waktu berkumpul dengan keluarga sejak kakek neneknya meninggal. Cia kehilangan orang yang Cia sayang. Intinya, Cia banyak merasakan kehilangan yang tidak bisa dijelaskan.
From: Amel
Kerjaan lo banyak Ci. Apalagi gue izin gini jadi tambah tanggung jawab lo.
Sorry ya Ci
Cia bahkan tidak terpikirkan kalau kerjaan Cia akan semakin banyak. Sebanyak apapun kerjaan yang Cia emban, ia pasti akan bisa menyelesaikannya. Cia percaya itu. Kalau buat Cia yang penting pelan-pelan. Step by step.
To: Amel
Kagak lah Mel
Nanti gue ke sana jam 10, jangan usir gue
"Le nanti mau ke rumah sakit ayahnya Amel jam 9 ngga?" ajak Cia
"Ngapain?"
"Alat-alat yang dipasang di badan ayah Amel bakal dicopot" jawab Cia
Ekspresi Ale menandakan bahwa ia tidak enak dengan Amel. Entah apa yang terjadi diantara mereka, Cia pun tidak tau.
"Oke" jawab Ale meneruskan kerjaannya
Setelah selesai izin dengan Mba Irna, sekarang mereka sedang perjalanan menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan dada Cia berdebar tak karuan. Ini kali pertama melihat kematian manusia yang terencana.
"Gue kayanya gabisa di sana lama-lama deh Ci" ucap Ale yang sedang menyetir
"Kenapa" tanya Cia
Bram terdiam sebentar "Gabisa gue"
"Ada meeting?" tanya Cia lagi dan dijawab anggukan oleh Ale. Cia tau persis hari ini meeting diadakan siang nanti. Mbak Irna pun tadi bilang bahwa meeting semua karyawan diadakan siang. Cia tau pasti hubungan mereka berdua sedang tidak baik-baik saja. Apa kejadian kemarin malam yang membuat mereka berdua bertengkar?
"Kalo kalian berantem gegara kemaren malem, gue yang harusnya minta maaf" ucap Cia menunduk sambil memainkan jari
"Salah gue juga, gapernah bisa ngerti perasaan Amel. Gue emang sahabat paling brengsek kayanya" ucap Ale terkekeh kecil
"Emang semua 'persahabatan' harus ngerti perasaan temennya? Kita juga punya rasa 'ingin' yang kadang sahabat kita gasuka kali Le. Gue mikirnya kalian tuh ga cuma 'sahabat' deh"
Ale terlihat menegang "Masut lo?"
"Lo kalo suka sama Amel yang bilang dong Le. Jangan jadi pecundang yang sok-sokan pengen jadi hero dibelakang dia aja. Kalaupun dia nolak setidaknya lo lega menyatakan perasaan yang lo pendem dari kapan tau" saran Cia
Ale terdiam berpikir
"Anehnya kalian tuh, kalo gue sama lo barengan, Amel cemburu dan lo pasti tau tapi ga pernah berlagak tau. Emang bangsat banget lo Le. Amel lo gantung gajelas sedangkan lo keluar masuk club main cewek sana-sini" lanjut Cia
Ale terkejut "Kok lo tau?"
Cia terkekeh kecil "Gue apa yang ngga tau" ucapnya sambil menepuk dadanya sendiri.
"Bahkan Amel yang sahabatan sama gue lama aja gapernah tau kehidupan malam gue"
"Lo cinta ngga sama Amel?" tanya Cia menatap depan. Sedangkan Ale terdiam seakan sedang menyiapkan jawaban yang pas. Tangan Ale mengetuk-ketuk setirnya.
Cia hanya tersenyum melihat Ale yang terlihat gugup. "Gausah jawab kalo emang lo gapunya jawaban. Gue bukan najwa shihab kok"
"Iya mungkin Ci. Jujur aja sih gue juga gatau. Apa ini hanya perasaan cinta atau perasaan terbiasa bersama karena kalau sehari aja ngga ada Amel bisa kacau banget hidup gue. Dulu aja Amel pernah gue tawarin buat satu apart tapi dia gamau. Terus gue udah beli apart di Jakarta eh dianya ngontrak di Tangerang" jawab Ale
Cia mengangguk-angggukan kepala "Coba aja ungkapin perasaan lo, gaada yang pernah tau"
***
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menemui Amel dan memeluknya. Sebentar lagi, tinggal menghitung menit. Amel daritadi hanya ngelamun menahan air matanya di kursi tunggu.
"It's okay kalo lo mau nangis kok Mel. I'm here for you" ucap Amel menarik Amel kedalam dekapannya
Turunlah semua air mata yang Amel tahan daritadi.
"Kenapa sekarang Ci? Bahkan gue belum nepatin janji gue buat beliin dia jam. Gue pikir ayah bakal sembuh jadi gue nabung selama kerja kemaren. Gue udah siap ajak dia ke toko jam Ci. Gue mau dia beli jam yang dia idam-idamkan dari dulu," kata Amel sesegukan.
Ale menepuk bahu Cia. Ketika Cia menoleh ke Ale, raut muka Ale seakan mengatakan ia ingin berganti posisi dengan Cia. Seketika Cia langsung beranjak dari tempat duduknya pelan-pelan.
"Hari ini adalah waktunya Tuhan ngambil ayah lo Mel. Lo harus bersyukur karena lo bisa lihat ayah lo untuk terakhir kalinya. Mungkin kalo hari ini ayah lo masih dipasang semua alat itu, ayah lo semakin kesakitan. Gue yakin ayah lo pasti bangga punya anak kaya lo" ucap Ale sambil menepuk-nepuk pelan punggung Amel.
Amel berenti menangis. Ia mengusap air matanya. Suster datang dan mengatakan bahwa sudah waktunya ayahnya melepas segala alat yang menyakitkan itu. Jatuhlah air mata Cia. Begitupun semua anggota keluarga Amel juga melakukan hal yang sama. Sedangkan Amel maju mensejajarkan posisi dengan dokter yang sedang berusaha melepas alat-alat. Amel menatap lekat wajah Ayahnya.
Hingga monitor bersuara Titttt. "Kematian bapak Ardi pukul 10 lebih 12 menit" ucap dokter
Amel tersenyum. "Selamat jalan Ayah. Sekarang ayah udah ngga sakit lagi. Baik-baik ya Yah di surga. Ayah harus liat aku tumbuh jadi orang hebat dari atas. Amel janji bakal jagain bunda dan adek-adek. Love you Yah" ucap Amel sambil mengusap wajah Ayahnya.
***
Setelah selesai acara pemakaman ayah Amel. Waktunya Cia dan Ale balik ke kantor. Make up Cia sudah luntur karena sepanjang pemakaman Cia tidak henti-hentinya menangis. Muka Cia sekarang menjadi sembab. Ia sudah cuci muka namun tidak menghapus wajah sembabnya sama sekali. Untung Cia membawa make-up.
Cia melihat kembali ponsel yang sudah berjam-jam ia biarkan. Tetap saja, Bram belum membalas pesan Cia sama sekali. Ia jadi mulai khawatir. Tumben sekali Bram seperti ini. Cia berencana ke apartment Bram setelah pulang dari kantor nanti.
Sesampainya di kantor, Cia langsung bersiap untuk meeting begitupun dengan Ale. Hari ini, banyak sekali pikiran yang muncul di pikiran Cia. Mulai dari Bram, Amel, orang tua Cia yang membuat meeting kali ini Cia tidak berkontrasi sama sekali. Ia hanya melamun sambil memutar-muter penanya.
"Lo tadi kenapa sih Ci? Gue perhatiin lo ngelamun, untung kagak ketauan" omel Ale
Cia tidak menanggapi Ale dan tetap berjalan kembali ke kubikelnya. Ia segera merapikan meja kerjanya dan pulang ke apartment Bram. Setelah menyelesaikan urusannya, ia menuju ke parkiran dan melajukan mobilnya. Sesampainya di apartement Bram, ia langsung naik. Cia mengetuk pintu apartement Bram namun tidak ada sahutan sama sekali. Diketuknya lagi pintu Bram dan masih tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Akhirnya Cia nekat memasukkan password dan masuk apart Bram.
"Assalamualaikum" salam Cia. Tidak ada sahutan juga. Apakah mungkin Bram tidak di apartement. Tadi Cia selalu gegabah. Kenapa Cia tidak mengecek ke ruangan Bram dulu, main lansung ke apartement saja. Cia mencoba membuka satu persatu ruangan
"Bram" panggil Cia. Ketika Cia membuka ruang kerja Bram, Cia sedikit terkejut karena sekarang sudah menjadi kamar. Ngapain dibuat kamar? Dia sekarang satu apart sama temennya? Batin Cia. Setelah membuka ruang kerja, Cia mengetuk pintu kamar. Kali saja Bram sedang dikamar. Sewaktu ia ketuk masih saja Cia tidak mendapat sahutan. Akhirnya Cia memberanikan diri untuk membuka pintu dengan pelan. Benar saja, Bram sedang terbaring di ranjang. Ia sedang tidur meringkuk.
Reflek Cia memegang dahi Bram dan ternyata panas. Cia langsung berjalan menuju ke dapur mencari kotak P3K. Sayangnya Cia tidak menemukan. Cia memutuskan untuk merebus air untuk kompres dan membuatkan Bram teh. Sambil menunggu airnya matang, Cia kembali lagi ke kamar Bram berada. Kali ini Cia berusaha untuk membangunkan Bram. Cia hanya takut Bram belum makan dari pagi.
"Bram.." panggil Cia sambil menepuk-nepuk pundak Bram "Udah sarapan belum tadi?"
"Emhh" Bram menelentangkan badannya dan mengucek air mata. "Cia?" tanya Bram dengan suara khas bangun tidurnya "Kamu ngapain?"
"Kamu tadi ga jemput aku terus ga kabar-kabar juga terus aku jadi kepikiran buat ke apart kamu. Eh ternyata kamu sakit" balas Cia "Kenapa ga telpon kak Grace atau Aku atau Ibra gitu. Bikin panik tau ga?" tanya Cia sebal
Bram tersenyum kecil dan menarik tubuh Cia masuk ke dekapannya. "Makasih ya udah panik dan khawatir sama aku"
"Udah izin ke Ibra tadi, kalo kak Grace males ngabarin nanti dia heboh sendiri"
Dilepasnya pelukan Bram oleh Cia "Jangan diulangin lagi. Udah sarapan belum?" Bram menjawab dengan gelengan
Cia membuat bubur putih dan opor ayam. Ia menggunakan bumbu opor instan jadi cepat membuatnya. Kebetulan sekali kulkas Bram penuh dengan bahan makanan. Jadi Cia bebas berkreasi. Setelah itu Cia memberikan bubur tersebut ke Bram
"Gakuat megang mangkuk" ucap Bram manja
"Alasan" gerutu Cia sambil menyuapkan sesendok bubur ke Bram
"Kayaknya kalo gaada kamu, aku masih kelaperan" ucap Bram yang memegang perutnya
"Bisa ngasih tau Ibra gabisa ngabarin aku" sahut Cia sarkas. Bram hanya menanggapinya dengan cengiran sambil memberi 2 jarinya menandakan peace.
Setelah menyelesaikan makan, Bram kembali tiduran dengan kompres buatan Cia. Sedangkan Cia berada di sebelah Bram bersandar pada kepala ranjang. Saat ini mereka sedang menonton film horor. Namun sepertinya Bram sudah sayup-sayup ingin kembali ke alam mimpinya.
"AAAAA" teriak Cia langsung reflek bersembunyi di dada bidang Bram.
Seketika Bram melotot.
***
To be continue…
Udah lah emang paling salah kalo Cia main ke apart Bram ahahaha
Gimana guys part ini? kalian dapet feelnya ga waktu ayah Amel meninggal? Author aja nangis huhu. Komen ya guys di bawah.
Terus kasih aku vote jugaaa jangan lupa.
Stay healthy kalian
Love you guys