Aku melangkah gontai menuju ruangan kaca. Pria bule itu melihatku bak Tom menatap Jerry. Paling malas dengar teriakan dia. Masalahnya dia ngamuk pakai bahasa Inggris. Jadi aku harus mikir untuk mencerna kata-katanya.
"How many times i told you?" Steve baru pemanasan.
Aku mulai konsentrasi, tarik napas, hembuskan pelan-pelan, bayangkan mas Jason Statham sedang mengelus wajahku dengan cinta.
"I must be in the wrong movie. Why you so stupid? Can you stop the stupidity bla ... bla... bla...." Kalimat sindiran mulai terucap dari bibir tipisnya. Bos mulai ngegas dan nyembur.
Aku tetap duduk manis, pasang wajah datar, membayangkan dilamar Jason Statham.
"Do you understand?" Bos mulai capek ngomong sama aku.
Aku mengangguk, tapi aku sibuk membayangkan ciuman mas Jason di pelaminan.
"Do it right!" Kalimat penutup omelan. Aku langsung keluar dari sarang Bos.
'Kampret, Jangkrik!' Aku mengumpat dalam hati. Kalau bukan karena kontrak durjana itu, aku sudah kabur dari kemarin. Rasanya sudah nggak kuat tiap hari denger teriakan dia.
"Abis ngapelin pacarmu ya?" Sindir Beck di meja seberang.
Hih, pacar dari Hongkong. Aku hanya mencebik. Beberapa rekan kerjaku mulai menertawakan dan menikmati penderitaanku. Steve memang terkenal sadis.
Baru beberapa menit pantatku mendarat. Steve keluar dari sarang dan berteriak memanggil namaku. Sontak semua mata di ruangan itu tertuju ke arahku.
"Cie ..., dipanggil sama yayang nih ye." Beck masih meledekku.
Aku melangkah memasuki ruangannya, pasang wajah polos karena memang aku tak tahu apa kesalahanku. Aku sudah bersiap menarik napas, tenggelam dalam lamunan bersama mas Jason. Steve menyodorkan laptop padaku.
"I have just install new program. Watch and learn."
Halah, kalau cuma disuruh seperti ini, kan nggak harus di depan dia. Males banget harus satu ruangan sama dia. Mana dia langsung mempraktekan di depanku. Jauh di dalam lubuk hati aku berkata, 'Why Me?'
Waktu berjalan lebih cepat, saat aku keluar ruangan tak seorang pun masih tersisa. Semua sudah pulang. Ah, gara-gara program baru, aku pulang telat deh. Aku bergegas membereskan meja kerja lalu pulang.
Baru saja membuka pintu mobil. Steve memanggilku dan seperti biasa dia berteriak. Lama-lama dia seperti kecoa, ada di mana-mana. 'Sabar ... Sabar,' kataku dalam hati.
"Let me drive."
Hah, nggak salah denger? Tangannya menengadah meminta kunci mobil.
"Pulang bareng. I need to talk."
Kenapa nggak diomongin di kantor aja Bambang? Aku menurut juga, kuserahkan kunci itu padanya.
Sambil menyetir, Steve memberitahukan maksudnya. Ia pamit karena mendapat pekerjaan di tempat lain. Waktunya tinggal dua hari. Selama dua hari, Steve mengajariku sistem baru yang akan diterapkan di kantor agar aku terbiasa dan tak dimarahi bos baru.
"Why do you care for me?" Aku bertanya. Steve terdiam tak menjawab. Setelah pertanyaan itu kami berdua saling diam. Ia memarkir mobil di halaman rumahku, lalu pulang naik taksi.
***
Ibu membangunkan aku pagi ini.
"Temenmu sudah nunggu di bawah. Cepetan!"
Aku buru-buru melongok keluar pintu kamar. Steve sudah bertengger di kursi tamu.
"Good morning." Dia berteriak tanpa mengalihkan matanya dari layar gawai.