Chereads / DASHA & JAKARTA / Chapter 22 - DUNIA MALAM

Chapter 22 - DUNIA MALAM

Setelah kemarin seharian mereka berpanas-panasan di jalan demi melihat Dasha bergelut di jalanan dan sempat membantu, kini mereka mencoba mengikuti Dasha. Bermain di suatu tempat yang tidak mereka bayangkan. Bahkan Naila pun nampak ragu ke tempat itu. Dengan tatapan khawatir dan takut, dia memandangi tempat dia datangi. Dasha pun mencoba menenangkan- nya bahwa semua akan baik-baik saja.

"Hay, Dash. Apa kabar? Lama gue ngg liat lo," sapa seorang wanita muda, berparas cantik dengan bentuk badan semok menggoda. Ia bercipika-cipiki ria dengan Dasha. Saat mereka mampir, jam masih menunjukkan pukul tujuh malam, jadi belum waktunya untuk wanita ini berias mempersiapkan diri bekerja.

"Baik, Len. Lo apa kabar?" tanya Dasha balik setelah mendaratkan pantat di kursi rumah wanita itu yang bernama Alena.

"Baik juga. Ohya, lo sama temen-temen lo mau minum apa?" tanya Alena ramah.

"Ngga usah," jawab Naila cepat dengan wajah menolak, namun masih di sertai cengiran yang langsung mendapat pandangan dari ke empat sahabatnya.

"Emmm.. yaudah kalau gitu,"

"Gue mau Len. Air putih aja. Haus... hehehe," jawab Dasha cepat membuat Alena tersenyum.

"Yang lain?" tanya Alena.

"Ng boleh deh.. gue juga mau," pinta Arjuna dengan wajah ragu. di sertai anggukan Putra dan Faida. Alena pun segera ke dapur rumahnya.

"Dash, demi apa lo sampe temenan sama pekerja seks komersial?" tanya Naila memandang Dasha dengan tatapan agak hina.

"Apa salahnya???" tanya Dasha balik dengan dahi berkerut.

"Errrr.. gini lo, Dash. Mereka itu kan kotor ya.. Soalnya kan.."

"Soalnya apa? karena pekerjaan mereka? Nai, yang kotor pekerjaan mereka, merekanya belum tentu. Yang di bilang manusia kotor itu ya yang jahat,"

"Ya berarti dia jahat dong? kan mereka kerja di tempat beginian," sanggah Naila tak percaya.

"Nai, dengar. Ngga ada satu manusia pun yang pengen jadi kayak begini. Kalau pas masih di kandungan mereka udah tau ke depannya bakal jadi begini, pasti mereka ngga akan minta di lahirkan," jawab Dasha agak ngotot. Naila menggigit bibirnya. Nampak tak terima dengan jawaban Dasha.

"Dia kerja gini karena apa?"

"Karena saya ngga punya ijazah buat kerja, Mba," saut Alena keluar dari dapur membawa nampan dengan di atasnta gelas terisi air. Lalu dia meletakkan di atas kursi plastik di hadapan mereka. "Silahkan di minum. Bersih kok," ucap Alena mempersilahkan sambil tersenyum. Dasha langsung meminumnya dan menegak hingga setengah.

"Mba, maaf. Tadi kata Mba, karena ngga ada ijazah? Emang ijazah Mba kemana?" tanya Naia tanpa tendeng aling-aling.

"Saya ngga sekolah, Mba,"

..... Naila langsung tertegun, diam. Entah dia harus berbicara apa lagi. Ke empat sahabatnya yang lain pun merasa tak enak hati dan menjadi salah tingkah menatap Naila, setelah mendengar jawaban Alena.

"Mba, pekerjaan saya memang kotor, saya pun kotor, saya akui karena pekerjaan ini dan saya yang memilihnya. Tapi, saya ngga ada pilihan lain, Mba. Jaman sekarang susah kerja ngga pakai ijazah, malah kayaknya ngga ada, Mba. Apalagi yang bisa saya kerjakan selain menjadi seperti ini?" tanya Alena.

Naila tertunduk. Nampak berfikir.

"Ng... kalau kamu kerja sama saya, mau?" tawar Naila, membuat Dasha langsung menoleh ke arah Naila.

"Maksud Mba nya gimana?" tanya Alena bingung.

"Ng.. gini, Mba. Kan daripada Mba bekerja seperti ini dan kayaknya juga nih Mba menyesal karena ngga ada pilihan lain, gimana kalau Mba ikut kerja sama saya aja?"

Alena nampak bingung menatap Dasha.

Naila buka suara lagi. "Saya mau menolong Mba, karena Mba baik kata Dasha. Biasanya Dasha ngga salah dalam menilai orang," jelas Naila.

"Saya ngga baik, Mba. Yang membuat saya baik itu Dasha... karena dia udah nolongin saya waktu kemarin saya lagi butuh uang, padahal baru kenal. Tapi, dia tetap minjamin. Ketika saya bilang akan ganti walau saya ngga tau kapan bisa, Dasha bilang ngga usah ganti ke dia, tapi ke Tuhan aja. Tapi dengan catatan, uang yang saya dapatkan bukan hasil dari 'jual diri', terus disumbangin ke tempat ibadah atau kemanapun sampai jumlah yang Dasha pinjamkan lunas," terang Alena membuatnya menitikkan air mata, lalu buru-buru ia seka. Alena merasa terharu.

Semua terdiam.

"Maka dari itu, Mba... jadi gimana, Mba nya mau?" tawar Naila lagi.

"Mau, Mba," jawab Alena cepat.

"Buset, langsung mau mau aja. Belum juga tau kerjaannya apa," ucap Naila.

"Saya ngga usah tanya juga udah percaya sama Mba nya. Karena Dasha baik, otomatis pasti teman-temannya baik," ucap Alena kemudian tersenyum.

Naila tersenyum. "Oke. Jadi deal nih ya?" tanya Naila mengulurkan tangan mengajak bersalaman tanda setuju.

"Deal," Alena menjabat tangan Naila erat. Naila berdiri dan mengajak Alena berpelukan.

"Maafin saya, Mba. Atas pemikiran saya tadi," ucap Naila dan hendak menangis.

"Iya, Mba. Ngga papa..." jawab Alena balas memeluk Naila.

Semua tersenyum memandangnya. Pemandangan yang sangat indah di lihat, menyejukkan hati dan mata. Mereka pun melepas pelukan.

"Yaudah. Nanti saya yang ngomong sama Ibumu ya. Kalau saya ajak kamu kerja sama saya," ucap Naila yang mengetahui Alena hanya tinggal bersama Ibu angkatnya. Alena tidak pernah tau dimana orang tua kandungnya.

"Ya, Mba," jawab Alena cepat.