Chereads / Jatuh / Chapter 1 - 1

Jatuh

🇮🇩Sagara_00
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1

"Dek, mau temenin aku ke pesta temen?"

Indira menggeleng cepat mendengar pertanyaan kakak laki-lakinya.

Andra mendesah kecewa. Adik bungsunya selalu sulit diajak pergi kemanapun.

"Di rumah kamu mau ngapain sih dek? Gak ada orang juga kan tar sore."

Indira menggigit apel merah kesukaannya sedikit-sedikit dengan mata menerawang sendu.

"Mau baca. Aku baru beli novel baru kemarin." Gumam gadis itu.

Andra meringis lalu mencubit gemas pipi bulat dan gembil adik bungsunya itu yang selalu tampak menggemaskan.

"Kenapa sih dek? Kakak pengen sekali-kali pergi berdua sama kamu lho." Ucap Andra penuh harap.

Indira terdiam. Ekspresinya sekilas tampak sedih.

Lalu dia mengalihkan pandangan kearah sebuah cermin besar antik yang dipajang di dinding.

Tampak sosoknya yang bertubuh montok dengan pipi tembam dan rambut hitam sebahu duduk berdampingan dengan seorang pemuda tinggi, tampan dan sama sekali tidak montok sepertinya.

Gadis itu mendesah pelan.

"Morniiing My bro and Sis!"

Suara teriakan merdu diikuti derap langkah cepat yang mendekat membuat Andra dan Indira menoleh bersamaan.

Dipintu depan berdiri dengan anggun dan penuh senyum seorang perempuan yang baru sebulan lalu dinobatkan sebagai juara salah satu ajang kecantikan. Nadia, kakaknya yang nomor dua setelah Andra.

Indira menggembungkan pipinya yang memang sudah tampak kembung dengan raut iri.

"Pagi adek sayang! Gemesin deh kamu! Pengen mbak gigit pipinya." Celetuk Nadia sambil terkikik gemas lalu menjawil pipi Indira yang sedikit merona.

"Tahu lah, yang kurus mah bebas mau ngomong apa!" Gerutu Indira sebal.

Nadia makin terkikik gemas padanya dan Andra tergelak seraya mengusap puncak kepala adik bungsunya dengan sayang.

"Wah! Tega nih gue gak dibangunin sarapan!"

Indira melirik satu lagi seorang pria tampan berseragam TNI, lengkap dengan tubuh atletis dan tinggi yang baru memasuki ruang makan dengan bibir makin mencebik sebal.

"Morning My Apple girl!" Sapa pria itu sambil menekankan bibirnya di pipi indira dengan ekspresi yang lagi-lagi tampak gemas.

"Kak Abian ih! Sakit tau!" Indira mendelik sebal pada kakak ketiganya yang kini malah tertawa puas lalu duduk disamping Andra yang masih menertawakannya.

Lagi, Indira mendongak kearah cermin dan tersenyum kecut memandang tiga sosok yang menurutnya cantik dan tampan diluar batas wajar.

Bukannya dia tidak bersyukur atas apa yang dia miliki, tapi cukup manusiawi merasa iri dan minder kalau dia biasa saja dan agak gemuk, sedang seisi rumah dihuni makhluk elok bak tokoh-tokoh novel.

Benar-benar membuat sakit hati saat akhirnya banyak orang bertanya-tanya dan membandingkannya dengan yang lain.

"Eh... besok aku ultah dong! Siapin kado ya kalian!" Nadia berseru dengan girang di sebelahnya.

Andra menggeleng pelan.

"Besok aku juga ultah, Mbak." Ucap Indira pelan.

Abian menoleh kearahnya.

Nadia meringis malu, lupa kalau hari jadi mereka dihari yang sama.

"Pengen kado apa?" Tanya tentara muda itu.

Indira tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan dengan ekspresi seolah berterima kasih.

"Gak usah, kak. Aku lagi gak pengen barang sih."

Andra tersenyum kecil, merasa heran sekaligus kagum pada adiknya yang selalu tampak biasa saja setiap hari ulang tahunnya tiba.

"Dek, gebetan kamu si Axel apa kabar? Kok gak nongol lagi dia?" Andra bertanya dengan penasaran.

Indira terdiam kaku.

"Gak tahu. Ke laut kali. Gak mau tahu juga." Jawab gadis itu datar.

Axel.

Indira berubah benci pada orang itu sekarang. Pemuda yang sempat mengenalkan indira pada yang namanya pendekatan untuk pertama kalinya. Menghujani gadis tak tahu apa-apa itu dengan perhatian-perhatian yang sepele namun berarti penting bagi gadis itu.

Tapi setelah perasaannya tumbuh nyaman dan percaya, Axel meremukkannya seketika.

'Kita udah deket kan? Jadi, aku udah cocok belum buat deketin Nadia? Bantuin aku ya!' Kata Axel terakhir kali mereka bertemu.

Indira patah hati bahkan sebelum jatuh cinta.

Baginya, terlalu muluk jika mengharap ada yang memujanya kelak. Cerita seperti itu dia rasa hanya di sebatas buku saja.

Cinta tanpa mengenal fisik baginya bak dongeng lutung kasarung atau pangeran kodok saja.

Menyenangkan untuk dinikmati, tapi mustahil untuk dipercaya.

"Putus, dek?" Nadia bertanya dengan nada simpati.

"Gak pernah jadian kok." Jawab Indira cuek.

Andra mengerutkan keningnya bingung.

"Tu cowok suka gandeng tangan kamu. Kakak kira udah resmi."

Nadia mengangguk setuju.

Indira mendelik sekilas, "keburu sadar kayaknya dia."

Abian mengangkat alisnya tak suka, "maksud kamu?"

"Aku bukan tipenyalah. Kurang segalanya, yang lebih cuma badan." Jawab Indira datar.

Abian mengepalkan tangannya diam-diam. Paling tak terima kalau adik kesayangannya merasa rendah diri.

"Kamu cantik, dek." Desis Abian.

Indira tersenyum lembut.

"Aku emang cantik. Dia aja yang buta. Lagian gak mau juga sih jagain jodoh orang." Ucap Indira agak sinis.

Nadia tersenyum sayang. Tanpa ikut berkomentar.

"Kalo kamu bukan adek aku, udah aku kejar dari lama, dek. Cuma cowok istimewa yang bakal liat kamu. Bukan yang dangkal. Percaya sama aku." Kata Andra sambil menatapnya lekat.

Indira terkekeh.

"Apaan sih!" Elak gadis itu malu.

Keempat bersaudara itu tengah saling bercengkrama dengan hangat saat terdengar bel berbunyi.

"Nad buka sana!" Andra memberi isyarat.

"Males lah!"

"Bi! Bukain sono!"

Abian mendelik sambil menyemir sepatu tentaranya.

"Gue lagi siap-siap, kak. Sejam lagi temen gue jemput buat berangkat ke Papua. Lo aja lah!"

Andra berdecak malas. Calon dokter anak yang terkenal baik hati diluar sana, tapi luar biasa malas gerak saat sedang rehat dirumah.

Indira memutar bola matanya kesal pada tingkah ketiganya yang selalu harus suit atau gambreng dulu sebelum membuka pintu. Yang terkadang membuat tamu mereka lebih dulu pergi lagi bahkan sebelum pintu terbuka.

"Aku aja." Seraya bangkit dengan mulut mencebik lucu.

Abian tersenyum gemas. Tentara gagah itu memang dikenal sebagai sister complex diantara mereka berempat.

Dia terlalu sayang dan gemas pada si bungsu, sampai kadang dia memohon dengan wajah menyedihkan agar adiknya itu ikut saja tugasnya di Papua sana. Yang jelas langsung mendapat pelototan horor dari si montok yang bersangkutan.

Indira berjalan cuek kearah pintu. Dia tidak peduli jika saat ini dibadannya menempel kaos kuning terang bergambar Pikachu dan celana jeans selutut yang sudah pudar. Rambut sebahunya diurai begitu saja, dengan rona merah samar bekas cubitan kakak-kakaknya dikedua pipinya yang bulat.

Gadis manis itu membuka pintu dan berhadapan dengan sesosok pria tampan, tinggi, yang dia berani sumpah hanya ada dalam bayangannya dari tokoh novel.

Sebaliknya, pria tampan itu mengangkat alisnya terkejut saat melihat sebentuk wajah bulat manis dengan pipi kemerahan seperti bayi di hadapannya.

Dan demi apapun, pria itu tiba-tiba teringat pada tokoh utama dari kartun tinkerbell yang berpipi bulat yang baru saja tadi pagi tak sengaja dia tonton.

Tanpa bisa dicegah, senyum tipis nan geli terukir disudut bibir pria itu.

"Hai!"

Dan satu kata itu meluncur begitu saja memancing rona merah makin terang di kedua pipi bulat gadis dihadapannya.

Tbc.