"Pakaianmu oke juga," ujarnya kemudian mulai menyalakan mobil dan melaju meninggalkan parkiran itu. Sebuah senyum yang terlihat jelas di bibirnya semakin membuat Anna menenggelamkan dirinya di kursi mobil.
Beberapa jam sebelumnya.
Saat itu Devan bersiap keluar, tidak ada recana untuk hari ini. Namun Leo tiba-tiba mengundangnya untuk datang ke pesta ulang tahun temannya yang akan diadakan nanti malam, dan ia membutuhkan setelan baru.
Atensi pria itu teralihkan ketika melihat sebuah ransel berwarna hitam tergeletak di sofa tepat di ruang pribadinya.
Ransel itu milik Anna. Devan segera meraih benda hitam tersebut dan membawanya keluar bersamanya. Ya siapa tahu, ia bertemu pemiliknya di tengah jalan. Walaupun mungkin hal itu sangat mustahil karena ia sendiri tidak tahu dimana gadis itu tinggal.
Dengan style casualnya, Devan melangkah santai ke arah Ferrarry berwarna hitam. Dari semua warna yang menjadi koleksinya, hitam itu adalah kesukaannya.
Segera ia meletakkan ransel itu di kursi sebelahnya dan melaju kencang. Tujuannya adalah toko pakaian langganannya yang ada di Jakarta Selatan.
Hujan deras tidak menghalagi mobilnya melaju kencang. Mungkin karena ini adalah hari libur, jadi jalan raya tidak begitu ramai seperti hari biasanya.
Menyetel musik kesukaannya, kakinya tiba-tiba menginjak pedal gas dan berhenti tepat di lampu merah perempatan.
Nampak beberapa kendaraan berhenti di samping mobilnya begitu pula dengan kendaraan yang berlawanan arah dengannya.
Bukan hal itu yang menjadi perhatian Devan, manik mata pria itu menangkap sosok yang nampak tidak asing baginya.
'Siapa?'
Mencoba mengingat-ingat perihal pria yang saat ini sedang bersama dengan seorang wanita. Devan tertegun.
"Bukankah itu adalah pria yang sangat dihindari gadis itu?" monolognya pada diri sendiri. Gadis yang ia maksud adalah Anna.
Ingatannya masih jelas, bagaimana ketika Anna berani menciumnya sembarangan di bar hanya untuk menghindari pria itu.
Devan memperhatikan mereka dari jauh, mereka baru saja keluar dari sebuah toko dan hendak memasuki mobil.
Alis Devan berkerut tatkala melihat bahwa wanita yang sedang bersama pria itu bukanlah wanita yang ia lihat di bar.
Suara klakson mobil dan motor memecah lamunannya. Traffic light ternyata sudah berubah warna menjadi hijau. Segera ia menancap gas dan melaju agak lambat.
Sedikit menepi di bahu jalan, memperhatikan kedua orang itu dari spion mobilnya. Melihat mobil mereka meninggalkan parkiran, dan kemudian melaju tepat di samping mobil Devan.
Entah apa yang ada di pikiran pria itu, ia mengikutinya dari belakang. Katakanlah ia sedikit penasaran dengan kedua orang itu.
Devan sedikit memberi jarak mobilnya di belakang pria itu agar kedua orang itu tidak mengetahui bahwa ternyata mereka sedang diikuti.
Mengikuti mereka selama dua puluh menit. Devan tidak tahu mereka sedang menuju kemana, yang ia tahu saat ini dirinya sudah berada di Jakarta Selatan.
Mobil yang ia ikuti menepi dan memasuki parkiran sebuah warung makan yang lebih terlihat seperti sebuah restoran mini. Sedangkan dirinya, ia memilih berhenti di seberang jalan.
Mendadak ia sadar dengan apa yang di lakukannya.
'Sebenarnya apa yang aku lakukan?'
'Menguntit seseorang? Hah'
Ia merasa malu dengan dirinya sendiri, sejak kapan ia memiliki waktu luang untuk melakukan hal tidak berguna seperti ini. Seperti bukan dirinya saja.
Segera ia melupakan kedua orang itu dan perlahan ia memutar arah mobilnya dan bersiap meninggalkan tempat itu. Terlebih tujuan utamanya sudah agak jauh dari tempatnya berada sekarang.
'Hah, ada-ada saja,' batinnya kemudian menghela napas kasar.
Lengannya memutar kemudi dengan begitu lihai. Namun, lagi, ketika ia sudah bersiap melaju kencang, Devan kembali menoleh dan manik matanya menangkap pria yang ia ikuti sebelumnya sedang berdiri di samping seorang gadis dengan setelan hitam putih yang terlihat sangat kebesaran di tubuhnya, sedang menunduk.
Wanita yang sedang bersama pria itu sebelumnya sudah tidak bersamanya lagi.
Mobil Devan melambat.
Menginjak rem pelan, ia kembali memperhatikan kedua orang itu di tepi jalan. Sendal yang di gunakan gadis yang berada tepat di sebelah pria itu sangat tidak asing baginya.
Sendal itu adalah barang yang ia beli secara tidak sengaja ketika masih berada di australia, saat itu ia sedang mengunjungi keluarga besar Ibunya. Barang itu tidak bisa ditemukan di Indonesia dan hanya ada di negara itu.
Kening Devan mengernyit.
'Jangan bilang gadis itu adalah dia,' batinnya menolak pikirannya yang entah mengapa sepertinya memang benar.
Manik mata pria itu menatap lekat lekat gadis yang masih menundukan kepalanya, terlihat sangat enggan untuk hanya sekedar mengangkat kepalanya.
Mendadak Devan mengingat celananya yang hilang tadi pagi. Tanpa sadar ia memasuki parkiran yang sama dengan pria yang ia ikuti beberapa saat lalu.
Rintik hujan sudah mulai reda, menyisakan genangan-genangan kecil di lantai parkiran. Devan keluar dari mobilnya dan diam-diam mendekat, hanya untuk memastikan bahwa gadis yang memakai sendal yang sama dengan miliknya adalah gadis yang berbeda dari dugaannya.
Berpura-pura memainkan handphone, mengenakan headset di telinganya.
Berada pada jarak yang tidak begitu jauh. Devan mampu mendengar segala pembicaraan kedua orang itu. Tidak, lebih tepatnya hanya pria itu yang terus berbicara sendiri pada gadis yang masih menunduk.
Melihat dari jarak lebih dekat, Devan tertegun.
Setelan yang melekat pada tubuh gadis itu, bukankah itu adalah miliknya? Mulai kemeja putih, celana yang beberapa hari lalu ia beli dan belum sempat memakainya. Jika hanya dua benda itu, Devan tidak akan terkejut, karena siapa saja mungkin akan mengenakan baju dan pakaian seperti itu.
Namun sendal yang di kenakan gadis itu membuat dugaannya yang ia tepis sebelumnya kembali bersarang di benaknya.
'Gadis itu adalah dia,' tebaknya sangat yakin.
Terdiam di posisinya, Devan memutuskan tidak segera menghampiri gadis itu, dan ingin mengamatinya dari jarak itu.
'Menarik,'
'Mari kita lihat apa yang akan dilakukan gadis itu?' batinnya dengan senyum smirk terpatri di bibirnya. Tiba-tiba ia kembali dibuat penasaran. Entah apa yang terjadi pada dirinya, hari ini ia besikap sangat tidak biasa dan berbanding terbalik dengan hari-hari biasanya yang cenderung masa bodoh dan tidak peduli dengan urusan orang lain.
Beberapa menit berlalu, gadis itu masih tak bergeming dari tempatnya dan tetap menunduk menyembunyikan wajahnya, membuat salah satu alis seorang Devan terangkat.
'Apa gadis itu akan terus pada posisi tersebut?'
Jelas sekali pria itu semakin mendesak gadis tersebut membuat Devan menghela napas kasar.
'Oh, jadi namanya Anna,' batinnya ketika mendengar pria itu yang masih belum mendapatkan respon dari sang gadis.
Devan tidak tahan melihat sikap mereka berdua, jika terus seperti itu mungkin gadis tersebut tidak bisa menghindari pria itu lagi.
Bukannya ia tidak ingin mencampuri urusan orang lain, hanya saja entahlah. Untuk terakhir kalinya. Ia memutuskan untuk membantu gadis itu pergi dari sini.
Devan kemudian melepaskan jaket yang di kenakannya dan melangkah cepat menuju gadis yang ia ketahui namanya adalah Anna.