"Siapa mereka?" tanya Devan kembali dengan fokusnya tetap pada jalan raya yang dilaluinya
"Aku tidak mau membahasnya," balas Anna.
Mendengar hal itu, Devan diam dan tak berbicara lagi. Tenggelam dalam pikiran masing-masing, yang ada hanya suara lalu lalang kendaraan yang menjadi pengisi keheningan keduanya.
.
.
.
"Jadi sekarang bagaimana? Sebentar lagi kamu masuk bekerja. Apa aku mengantarmu langsung ke tempat kerjamu saja?" tanya Devan setelah diam beberapa menit.
Tak mendapat jawaban dari Anna, ia menoleh dan mendapati gadis itu yang ternyata sedang terlelap. Padahal baru beberapa saat yang lalu mereka berbicara satu sama lain.
Helaan napas kasar terdengar dari bibir Devan. Rintik hujan sudah berhenti, awan-awan hitam yang sebelumnya memenuhi langit mulai berkurang, menyisakan pemandangan warna biru yang begitu bersih.
Pria itu melajukan mobilnya dengan santai. menuju salah satu butik favoritenya.
***
Dering ponsel terdengar dari balik saku baju seorang pria yang saat ini sedang menaiki tangga. Seorang gadis nampak terlelap dalam gendongannya.
Mereka adalah Devan dan Anna. Pria itu tetap berjalan tanpa melambat sedikitpun, mengabaikan dering handphone yang terus berbunyi.
Memasuki salah satu kamar di lantai dua, yang tak lain adalah kamarnya sendiri. Usai membaringkan Anna di ranjangnya ia kemudian bergegas keluar kamar.
Sejenak memeriksa benda berbentuk pipih itu sebelum menutup rapat pintu kamarnya, hanya untuk melihat siapa pelaku dari suara dering tersebut.
Devan kemudian menelpon supirnya untuk membawa semua barang-barang belanjaannya masuk.
"Halo, Ma," ucap Devan menjawab telepon yang baru saja kembali berdering.
"...."
"Kabar Devan Baik, Ma. Tumben mama menelpon. Ada apa? Jika mama hanya ingin membahas pernikahan itu lagi, sebaiknya aku tutup saja," balas Devan sekali tarikan napas.
Terdengar helaan napas kasar dari seberang.
"...."
Devan diam di tempat ketika mendengar ucapan mamanya baru saja.
"Sudah aku bilang, aku belum mau menikah Ma. Umur Devan masih sangat muda. Aku menolak," ucapnya dengan nada yang sangat tidak bersahabat kemudian memutus telepon secara sepihak.
Entah mengapa mamanya selalu menyuruhnya menikah dengan cepat, padahal masih banyak hal yang Devan ingin lakukan. Lagipula usianya baru menginjak 26 tahun, masih sangat muda. Ia belum siap membina hubungan serius dengan orang lain. Terlebih orang itu adalah wanita pilihan mamanya, Byanca.
Byanca adalah teman masa kecilnya. Meskipun mereka telah bertunangan sejak kecil, namun Devan sudah tidak memiliki perasaan pada wanita itu setelah kejadian saat itu, tidak sedikit pun.
Hingga saat ini, ia belum pernah menjalin hubungan apapun dengan seseorang setelah memutuskan hubungan dengan Byanca. Tapi bukan berarti Devan tidak pernah melakukan seks dengan perempuan.
Beda cerita jika sudah menyangkut bagian itu. Wanita siapa yang tidak menginginkan tubuh dari seorang Devan? Bahkan para karyawati di perusahannya sangat menggilainya dan sering kali menjadikan pria itu bahan khayalan mereka.
Di mata Devan semua wanita sama. Hanya mengiginkan tubuh dan uangnya. Oleh karenanya, setiap kali Devan melakukan seks dengan seorang wanita, ia tidak akan melakukannya untuk yang kedua kalinya dengan wanita yang sama.
Dan sampai saat ini, dari semua wanita yang pernah bermain dengannya, belum ada satupun yang berhasil menggerakkan hati dari seorang Devan Atmadja.
Usai menerima telepon dari Ibunya, Devan segera beranjak memasuki ruangan pribadinya. Mengambil tab di sana, nampak sedang memeriksa sesuatu.
Meskipun hari ini adalah hari libur, ia masih rutin mengecek jadwal yang sudah di siapkan sekretarisnya.
Melihat jadwal hari senin yang begitu padat, helaan napas kasar kembali terdengar dari bibirnya.
Sepertinya ia harus benar-benar mengistirahatkan tubuhnya sebelum hari itu datang.
Bersandar pada kursi di balik meja kerjanya kemudian sedikit merilekskan pikirannya.
Jika dipikir-pikir, Devan sudah sangat lama tidak sesantai ini dan ini adalah hari libur tersantainya sepanjang hidupnya. Bagaimana tidak, sebelumnya ketika di hari libur, pria itu tetap bekerja seorang diri, seolah jika tidak bekerja ia akan kehilangan kemampuan bernapas. Bahkan beberapa karyawannya pernah menyebutnya Devan si bos maniak kerja.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 sore, semburat jingga mulai berhamburan memenuhi cakrawala, jalanan masih terlihat begitu padat, semilir angin bertiup menerbangkan pinggiran gorden dari jendela yang terbuka lebar.
"Ngghhh." Lenguhan khas bangun tidur terdengar dari bibir mungil seorang gadis yang masih meringkuk di dalam selimut, tepat di atas ranjang berukuran king size milik seorang Devan.
Dia adalah Anna, entah mengapa seluruh badannya terasa remuk samua, mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang memasuki retinanya. Pandangannya agak berkunang, kepalanya terasa sangat berat, dan entah mengapa ia merasa begitu kedinginan.
"Bangunlah, dan ganti bajumu," suara seorang pria menyapa indra pendengarannya. Sontak ia mengambil posisi duduk, kerutan yang terlihat sangat jelas tergambar pada keningnya.
Ini adalah kamar yang sama tempat sebelumnya ia berada.
'Apakah ini mimpi?'
Dengan gerakan cepat, Anna menoleh mencari jam yang ternyata berada di atas nakas yang berada tepat di sampingnya.
"Aku terlambat!" paniknya kemudian berdiri.
Namun, kedua kakinya bahkan belum menyentuh lantai, dan tubuhnya kembali terjatuh.
Pusing yang begitu hebat tiba-tiba menderanya.
Tiba-tiba ia mengingat segala kejadian hari ini, membuatnya menghentikan niatnya yang sedang berusaha untuk terus berdiri.
'Aku pasti sudah kehilangan pekerjaanku lagi,' batinnya dengan hati mencelos. Jam sudah menunjukkan pukul lima, dan pekerja paruh waktu tidak di bolehkan absen tanpa keterangan apapun. Satu-satunya pekerjaannya yang tersisa hanyalah di cafe. Namun dengan kondisi yang seperti ini, ia tidak bisa bekerja.
"Ada apa? Bagaimana keadaanmu?" tanya Devan mendekati Anna sembari memasang Rolex berwarna coklat di pergelangan tangannya.
"Mengapa aku bisa di sini?" tanya Anna dengan nada suara yang begitu lemah, bahkan tenggorokannya terasa sangat kering.
"Kamu tertidur di mobilku, aku tak tahu harus membawamu kemana, jadi aku membawamu kemari," balas Devan.
"Boleh aku meminta minum? Aku sangat haus," ucap Anna dengan suara serak.
Mendengar hal itu, Devan melirik arloji di tanganny, lalu merogoh benda pipih di saku bajunya.
"Bawakan aku segelas air," ucapnya nampak sedang berbicara dengan seseorang.
Hanya berselang beberapa menit, suara ketukan pintu terdengar.
Devan segera berjalan ke sana dan membukanya, nampak wanita paruh baya dengan setelan seorang pelayan sedang membawa nampan berisi segelas air.
"Silahkan, Tuan."
Devan hanya mengangguk.
"Buatkan makanan sebelum pulang," ucap Devan menutup pintu kamar. Ia bahkan tidak menunggu respon dari wanita paruh baya itu.
Ya, Devan hanya memiliki seorang asisten rumah tangga, namun karena pria itu sangat jarang berada di rumah, wanita paruh baya itu hanya datang di waktu sore hari untuk bersih-bersih dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, ia hanya bisa kembali kerumah jika sudah selesai melakukan semuanya. Sedikit informasi, baik asisten maupun supirnya, keduanya tinggal di tempat yang berbeda dengannya.