Malam pukul 23.15, dalam sunyi dan dingin terdengar suara sesuatu yang nyaring dari langit, suara itu membuat tanah tempat ku berpijak bergetar, tak lama berubah menjadi ledakan besar diikuti suara sirene bahaya, semua orang pun berteriak panik dan berhamburan masuk ke dalam bawah tanah untuk berlindung. Tanpa disuruh aku langsung berlari keluar kamar membawa perlengkapan penting yang sudah ku kemas jauh hari, dan sebuah buku, berlari dengan cepat lalu mengetuk pintu kamar adikku, Hua dan Cello, tak lupa mengetuk pintu kamar Mama.
"Ayoo berlindung!" Teriakku berlari tanpa mengecek kamar mereka.
Suara ledakan terus bergema di seluruh penjuru, aku begitu panik sampai di tempat berlindung yang dibuat Ayah, aku merasakan sesuatu yang janggal. Dimana mereka, mengapa tidak segera pergi ke sini?
Dalam gelap, aku meraba sekitarku hingga aku merasakan adanya lampu minyak, ku rogoh saku kananku, mengeluarkan korek kayu lalu menyalakan lampu tersebut dengan hati-hati. Cahaya pun mulai menguasai ruang bawah tanah ini, ada 2 ranjang kecil dan lemari berisikan makanan yang di stok untuk 1 minggu. Namun, ranjang tersebut sangat berantakan, dan lemari makanan pun hanya menyisakan sedikit makanan kaleng, kemana perginya itu semua? Apa ada pencuri di sekitar sini?
Aku membuka buku yang ku bawa, buku ini ku ambil diam-diam di perpustakaan kota, aku mengambil buku ini karena penasaran dengan cerita Mama yang di lontarkan sebelum aku tidur kala masih kecil, konon katanya ada tempat bernama Arion, tempat kehidupan layaknya surga, disana sangat aman, tidak ada peperangan bahkan keributan. Aku mau kesana.
Dalam buku ini menjelaskan apa itu Arion dan dimana lokasinya, namun ada beberapa halaman yang luntur sehingga sulit untuk dibaca, dan di halaman terakhir ada sebuah peta dimana menunjukan keberadaan Arion. Dengan diselimuti suara ledakan tanpa henti, aku terus memikirkan Mama dan kedua adikku yang sedari tadi tidak terlihat oleh ku, mataku tertuju pada pintu kecil tempatku masuk, menunggu mereka, berharap merekabaik-baik saja.
"Mengapa mereka bisa tertidur pulas dikala seperti ini?" ucapku pelan.
Aku pun penasaran dan perlahan melangkah untuk keluar, namun saat aku menyentuh gagang pintu, suara ledakan sangat besar mungguncang tempatku, suaranya membuat pendengaranku berdengung, lampu tiba-tiba mati, aku bahkan terpental dan membentur lemari makanan. Saat itu pandanganku buram dan tubuhku sangat sakit, hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri.
-----
Badanku terasa berat, mataku sakit seperti ada yang menghalangi. Aku mengusap kedua mataku berusaha focus kepada pandangan sekitar. Ah, aku ingat kejadian tadi malam, aku berusaha berdiri dengan kedua kakiku, merapihkan kotoran pada bajuku, meraih tas dan buku lalu segera keluar dari tempat ini. Suara pintu kayu yang dibuka memperlihatkan pandangan kota yang porak-poranda. Semuanya hancur berkeping-keping, aku melirik rumah tempatku tinggal, hangus terbakar dan hanya memperlihatkan puing-puing bangunan saja. Tiba-tiba sesuatu memasuki dadaku, seperti ada perasaan sesak yang sangat mendalam.
"MAMAA, CELLO, HUAA!!" Teriakku pada sisa bangunan.
Air mataku perlahan turun, aku mulai melangkah menuju puing bangunan dan menatap nanar semua benda serta puing yang tersisa.
"MAAMAAAA!!!!" Teriakku sangat kencang.
Aku memperhatikan sekitarku, sama tidak ada yang tersisa, bahkan orang-orang hanya menangis menatap rumahnya yang menjadi puing, tidak sedikit pula dari mereka yang berteriak memanggil orang yang hilang. Dengan napas sesak aku berjalan menaiki puing-puing, berharap menemukan sesuatu yang berharga. Aku bisa melihat jelas warna dinding yang kusam, lemari kayu di ruang tamu, meja, kursi, tempat tidur, semuanya benar-benar hancur. Kembali aku berusaha memanggil nama kedua adikku dan Mama.
"Wendy!"
Aku menoleh ke arah belakang dengan cepat, melihat seorang pria tua dengan tongkat kayu berjalan ke arahku dengan pelan-pelan. Dia Pak Inosh, pemilik penjaga toko bunga yang tempatnya berada di depan rumahku.
"Pak Inosh!" Aku berlari hingga tersandung kecil lalu memeluk Pak Inosh, tangisku kembali meledak saat aku merasakan kehangatan dari pelukan Pak Inosh.
Bagiku Pak Inosh adalah orang tua kedua yang aku miliki, aku sering kali bermain ke toko bunganya dan ikut merawat bunga-bunga yang ia miliki, terkadang aku membantu melayani pelanggan, serta bermain dengan anjing peliharaannya, Yugi. Aku paham, Pak Inosh memang hidup sendiri dan hanya ditemani anjing kecilnya, lalu sekarang ia kehilangan toko bunga serta Yugi.
Dulu kota ini sangatlah indah, pemandangan hijau serta suara tawa dari anak-anak yang berlarian. Kemajuan teknologi menjadikan kota ini berkembang pesat, dari segi peternakan, pertanian, hingga pemerintahan. Namun dengan itu pasti ada saja pihak yang ingin menghancurkannya. Pemerintahan menjadi kacau, berkas penting semuanya berhamburan di media digital, dokumen penting yang seharusnya rahasia menjadi terbongkar.
Masyarakat yang mengetahui itu semua menjadi was-was karena ada salah satu dokumen antara Aksa dan Gili menyatakan perang dingin untuk memperebutkan wilayah serta kekuasaan terhadap teknologi Aksa. Dengan itu masyarakat pun lekas mempersiapkan semuanya secara matang, mulai dari pembangunan ruang bawah tanah, persediaan makanan, hingga medis, walaupun pemerintah sudah mengumumkan bahwa itu tidak akan terjadi, namun masyarakat tetap tidak peduli dan tetap membuat perlindungan.
Dan tepat setelah dokumen itu terbongkar, 3 bulan kemudian keluar berita dari Negeri Gili untuk mengadakan perang kekuasaan, pemerintah Aksa yang begitu bodoh pun menerima ajakan perang tersebut, sampai akhirnya pemerintah menyuruh masyarakat berjenis kelamin laki-laki baik masih muda hingga dewasa, kecuali yang sudah tua rentan, mereka harus ikut adil dalam peperangan, terjadilah penculikan hingga pembunuhan bagi yang yang tidak mau mengikuti kata pemerintah.
"Aku kehilangan mereka," Ujarku dalam pelukan Pak Inosh.
"Bukan hanya kau Wendy, tapi mereka juga." Pak Inosh melepaskan pelukan lalu menunjuk orang-orang yang menrintih dalam sedih.
"Bila sudah begini, kita harus bagaimana?" Tanyaku menatapnya sendu.
"Bila sudah begini, kau berlarilah ke tempat yang aman, Bapak akan tetap disini menjaga yang lain."
"Pak Inosh tidak pergi? Bagaimana bila terjadi serangan susulan?"
"Ini sudah waktunya untuk mengakhiri, lagi pula apa yang perlu Bapak lakukan?" Pak Inosh mengusap puncak kepalaku.
"Aku harus pergi kemana?"
Pak Inosh merogoh saku celananya lalu memberikan sepucuk kertas kepadaku,
"Bukalah saat kau sudah jauh dari Aksa." Ujarnya lalu melangkah pergi.
Aku menatap punggung Pak Inosh yang melangkah kembali dan duduk di puing bangunan toko bunganya, langit hari ini sangat gelap ditutupi asap dari sisa ledakan. Aku pun melirik buku yang ku pegang sedari tadi.
"Arion?"
Ku buka halaman terakhir yang terdapat map menuju tempat itu, lalu menatap hutan yang kini terlihat jelas, aku terperangkap di distrik 10, aku harus segera keluar dan melewati 5 distrik untuk sampai ke hutan itu, jaraknya lumayan jauh, dan aku harus sampai sebelum matahari terbenam dan terjadi serangan susulan. Buku serta kertas pemberian Pak Inosh aku simpan dalam tas, lalu mulai berjalan menuju Pak Inosh yang membelakangiku.
"Wendy jalan dulu ya, semoga Wendy menemukan tempat berlindung." Ujarku mendapatkan anggukan kecil tanpa menoleh sedikit pun.
Disinilah aku mulai melangkah, mencari tempat dan perlindungan. Tentunya mencari keberadaan Arion.