Perempuan berpenampilan manly itu tampak kesusahan membawa tumpukan buku yang tingginya nyaris menutupi wajah. Beruntung koridor telah sepi siswa, membuatnya tidak perlu cemas akan menabrak seseorang.
Brak!
Sialnya, dugaannya meleset.
"Aduh!" pekik Kian yang kini terduduk. Pantatnya mencium lantai dengan barbar. Buku-buku berserakan, dan Kian mulai mengumpat dalam hati untuk siapa pun yang telah menabraknya tadi.
"Lo gapapa?"
Tanya itu bikin Kian refleks mengangkat pandangan, lalu menemukan Kevin—cowok famous anak salah satu donatur sekolah—yang tengah memegangi pinggang dalam duduknya. Yang Kian tau, Kevin adalah tipe manusia yang sadar kalau dirinya menawan. Makanya hobi tebar pesona. Kalau kata Amira—kawan sebangku Kian—Kevin itu bedebah. Honestly, Kian ga pernah memperhatikan. Sebab tidak peduli juga. Tapi Amira terus saja membicarakannya. Bikin jengah saja.
"Engga," balas Kian acuh, lantas mulai memunguti buku-bukunya.
Kevin mendekat, inisiatif membantu. Namun tatapan datar yang Kian arahkan padanya berhasil menahan keinginan Kevin.
"Kenapa?" tanya Kevin, merujuk pada pandangan sinis cewek di hadapannya.
Mata Kian kembali jatuh pada buku-buku. Dia tidak menyahuti pertanyaan Kevin, bikin cowok itu menipiskan bibirnya sebal.
Songong amat dah!
Kevin bangkit, menepuk pantatnya guna mengenyahkan debu. Dia diam sebentar mengamati Kian yang masih sibuk menata bukunya. Kevin ragu, ini baiknya ditinggal aja apa gimana?
Ia sadar kesalahan dari tabrakan barusan ada pada dirinya yang asik memandangi layar ponsel alih-alih fokus ke depan. Namun mendapati sikap dingin Kian membuatnya enggan minta maaf.
"Em.. sorry ya?" akhirnya Kevin mengucap kalimat sakral itu. Jarang-jarang dia minta maaf. Ini juga karna lagi baik aja mood nya.
Kian berdiri, dengan buku yang telah memblokir pandangannya. Sekarang Kian menyesal menyetujui pinta Amira untuk menggantikannya piket kelas karna cewek itu mau hangout bareng pacarnya.
Kevin sedikit menyingkir ke samping, memberikan ruang untuk Kian lewat. Dia menggaruk pipinya pelan, raut bingung tampak kentara di wajah tampannya. "Mau gue bantuin bawa bukunya ke perpus?"
"Dari tadi kek," balas Kian tanpa menoleh.
Kevin bergegas mengambil alih semua buku di dekapan Kian. Karna Kevin lebih tinggi, maka tumpukan buku itu hanya sampai dagunya.
"Thanks," ekspresi Kian super datar saat mengucapkannya. Bikin Kevin menduga bahwa cewek ganteng di depannya ini ga ikhlas berterima kasih. Tapi Kevin membalasnya dengan senyum tipis. Tidak ingin menambah kedongkolan.
"Eh! Lo mau kemana?" tanya Kevin begitu Kian berbalik dan hendak pergi ke arah berlawanan dengan jalan menuju perpustakaan.
Kian menengok, "pulang."
"Lah terus ini gimana?" dagu Kevin menggedik pada buku dipangkuannya.
"Kan ada elo," balas Kian kelewat santai. Nyaris saja melangkah lagi andai Kevin tidak kembali bertanya.
Kevin ga percaya dengan apa yang baru dia dengar. "Jadi lo mau pulang dan biarin gue sendirian nganter buku-buku kampret ini ke perpus?"
Kening Kian mengernyit samar. "Mesti ditemenin, gitu?"
"Ya temeninlah! Ini kan buku lo!" Kevin mulai ngegas. Bisa-bisanya Kian melakukan hal ini padanya. Apa dia tidak tau Kevin itu cowok paling ganteng seangkatan?! Cuma Kian doang yang memperlakukan Kevin sedingin ini. Cewek lain mana sanggup terlepas dari pesona Kevin.
Kian menghela nafas jengah, lantas mendekat pada Kevin dengan tampang ogah-ogahan. "Yaudah siniin! Makanya kalau ga niat gausah sok nawarin bantuan."
Buku pun kembali beralih tangan. Kian menatap Kevin datar, "minggir!" katanya pelan, namun sarat penekanan.
Kevin, sambil menggeleng takjub, menarik diri ke samping. Dia mengumpat tanpa suara selepas Kian berada lima langkah meninggalkannya. Sumpah, baru ini Kevin menemukan cewek macam Kian. Lumrahnya, cewek yang ditatap Kevin bakal merona. Atau minimal menunduk malu. Lah Kian? Tampak tidak minat sama sekali.
Jangan-jangan—
——"Ah sial! Ngapain juga gue peduli sama orientasi seksualnya!" Kevin menggeleng kuat-kuat berusaha mengenyahkan prasangka ngawurnya. Tapi kakinya berhenti lagi, kemudian menengok ke belakang. Menatap punggung Kian yang kini hilang di belokan koridor. "Tapi.. dia imut juga."
.
.
.
Kian membuka pintu rumahnya. Tidak ada siapa pun yang menyambut. Seperti selalu. Cuma hening yang menyapa. Senyap yang beberapa tahun ini jadi kawan baiknya di dalam bangunan ini. Sebuah tempat yang orang-orang sebut rumah. Dan bagi Kian, rumah ini tidak lebih dari seperti penjara.
Dari awal, sejak lahir, Kian tidak merasakan kehangatan keluarga. Tidak ada elusan lembut jemari bunda. Atau pangkuan penuh sayang dari ayah. Keluarga harmonis cuma mitos baginya.
Dari dulu, Kian terbiasa dengan kesendirian. Tumbuh dipeluk kebencian. Mungkin itulah kenapa kini perangainya begitu dingin. Sebab sejak awal dia tidak pernah diajari beramah tamah. Tidak pula kasih sayang.
Kian menyalahkan orang tuanya atas semua penderitaan. Ayahnya, yang entah kemana. Kian bahkan tidak tau bagaimana rupa lelaki yang mesti dia panggil ayah itu. Dan ibunya, yang melahirkan Kian hanya untuk menyiksanya. Menyalahkan Kian atas kepergian ayah. Jadi samsak untuk ibu melampiaskan segala amarah.
Sampai dua tahun lalu, seorang lelaki datang meminta restu pada Kian untuk menikahi sang bunda. Waktu itu, Kian ingin tertawa rasanya. Tidak ada yang lucu. Dia cuma merasa kasihan pada si lelaki yang mau-maunya mempersunting wanita gila macam ibunya.
Sebut Kian kurang ajar menyebut ibunya begitu. Tapi memang sebutan apa yang pas untuk seorang perempuan yang begitu ringan mengayunkan pukulan pada darah dagingnya sendiri?
Si lelaki dan ibu lantas menikah. Dan Kian tidak peduli. Bahkan ketika si lelaki itu membawanya dan ibu ke rumah si lelaki, mempertemukan Kian dengan dua anak dari si lelaki, Kian tidak peduli.
"Semoga Kian betah di rumah ini. Ayah senang punya Kian. Ayah harap Kian ga sungkan ke ayah. Maafin bunda ya selama ini beliau tidak menjaga Kian dengan benar."
Itu kalimat si lelaki ketika pertama kali Kian menginjakan kaki di rumahnya. Tidak ada sensasi hangat menjalar di dada. Tidak pula perasaan terenyuh haru. Kian tidak mengharapkan ayah bersikap ramah padanya. Dia hanya ingin ayah menjaga tangan ibunya supaya tidak menyentuh dirinya lagi.
Dan Kian bersyukur bertemu dengan si lelaki. Ya, ayah menepati janjinya. Lelaki dewasa itu laksana guyuran air kala ibunya tengah dilanda emosi.
Namun dari tiga anggota keluarga baru, hanya ayah yang sanggup Kian terima kehadirannya—itu pun tidak dia suarakan terang-terangan.
Kian benci adik tirinya. Benci pula abang tirinya. Mereka baik. Tidak pernah memperlakukan Kian dengan buruk. Tapi justru karna itu, justru karna mereka baik, Kian jadi benci. Ah sebenarnya tidak benci juga. Kian hanya membangun batas. Tidak ingin terlibat dalam keakraban. Dia merasa beda level dengan mereka. Manusia-manusia baik itu, dan Kian yang telah rusak sekian lama. Perbedaan yang terlalu timpang. Dan Kian tau diri untuk tidak membaur lebih jauh.
***