Di sebuah gedung apartemen seorang gadis tengah berjalan dengan rona wajah yang bahagia. Hari ini dirinya melangkahkan kakinya menuju kediaman kekasihnya. Gadis cantik berparas blasteran ini bersiul seakan mewakili perasaannya.
Saat tiba di depan pintu dirinya segera menekan tombol password apartement itu. Hatinya yang seolah berbunga tentu saja mengulas senyum di bibirnya. Inilah yang dinamakan masa remaja yang berapi-api.
"Hari ini aku akan memberikan sebuah kejujuran pada Mark. Aku yakin dia pasti tidak akan malu lagi karena mempunyai kekasih sepertiku. Aku akan mengajaknya bertemu dengan papa dan mama. Semoga saja mereka setuju," gumamnya.
Gadis cantik itu menyembunyikan sebuah kado berupa jam tangan branded yang Limited Edition. Harganya cukup tinggi mencapai puluhan juta. Setelah dia masuk kedalam apartement kekasihnya itu, dia mengedarkan pandangannya mengelilingi sekitar. Seulas senyum ia sungging dibibirnya. Matanya berhenti tepat disebuah lemari yang berkayu jati.
"Sepertinya tepat. Aku harus bersembunyi disini terlebih dahulu. Biar Mark terkejut hehe."
Membuka pintu lemarinya dan kemudian dia masuk kedalam lemari itu. Meskipun pengap gadis itu tetap sabar menunggu sang kekasih hati pulang dari bekerja. Senyumnya pun senantiasa bertengger dibibirnya.
Terlihat rona bahagia karena pada akhirnya papa dan mamanya memberikan restu kepada kekasihnya. Dulu saat dia mengutarakan pekerjaan sang kekasih yang hanya karyawan kantor biasa, papa dan mamanya menolak hubungannya mentah-mentah.
Namun semenjak sang kekasih di promosikan menjadi seorang wakil Presdir di sebuah perusahaan besar. Pada akhirnya kedua orangtuanya memberikan restu untuk hubungan mereka. Dan dia juga akan mengatakan yang sejujurnya tentang jati dirinya.
Sepuluh menit.
Dua puluh menit.
Ceklek.
Terdengar suara pintu yang terbuka. Gadis yang bersembunyi di didalam lemari pakaian itu tersenyum dengan lebar. Dia sangat bersemangat untuk memberikan kejutan untuk kekasihnya.
Samar-samar senyuman itu mulai memudar. Seiring bersamaan terdengar suara yang sedikit bising dan menyakitkan telinganya. Dirinya tak asing dengan suara seorang laki-laki. Namun yang membuatnya bingung adalah suara desahan yang saling bersahutan. Dia kemudian menautkan kedua alisnya. Mencoba mencerna apa yang terjadi di dalam kamar itu.
Secara perlahan, gadis itu membuka sedikit daun pintu lemari yang dia buat sebagai tempat persembunyiannya. Setelah daun pintu itu terbuka sedikit, terdengarlah suara yang lumayan jelas menyapa telinganya. Seketika wajahnya berubah menjadi pias.
"Ah Honey. Yeah oh ... Mark. Asshhh se-sebelah situ yeah Honey. Oooh masukkin Honey. Jangan itu saja, aku ingin ah milikmu yang besar itu. Ehmmmm." Nafasnya mulai tak beraturan. Sebuah suara dari seorang gadis yang tengah menarik rambutnya sendiri yang lurus dan panjang. Pakaiannya tersibak dan terlihat pemandangan dua bukit indah nan mulus.
Lagi-lagi kedua mata sang gadis yang bersembunyi didalam lemari melebar. Mendapati bagian bawah sang gadis yang telentang diatas kasur itu sudah polos. Tak mengenakan sehelai benangpun untuk menutupi daerah kewanitaannya.
Namun satu hal yang membuat darahnya berdesir. Dibalik paha seorang gadis yang sedang mendesah nikmat itu terlihat seorang laki-laki yang sedang menjil*t area sensitif gadis itu.
"Nikmatilah Sayang. Hari ini aku milikmu. Oooohhh aku sudah tak sabar untuk memasuki lubangmu Sayang," ucap lelaki tampan itu dengan terus berusaha mengobrak abrik bagian bawah dari wanita itu.
Laki-laki itu berdiri. Dari sosok samping itu dia begitu mengenali posturnya. Keduanya tampak menikmati surga dunia yang terlarang penuh dosa, namun memabukkan. Entah berapa lama waktu yang sudah berjalan. Laki-laki itu terlihat polos setelah menanggalkan pakaiannya. Kini mengarahkan kejantan*nnya kearah lubang surgawi dunia.
"Aku datang Sayang." Perlahan namun pasti, kemudian laki-laki itu memaju mundurkan tubuhnya memompa tubuh sexy gadis yang sudah memasrahkan dunianya padanya. "Oh yeah, milikmu benar-benar membuatku gila."
Brak.
"Dasar gila kau Mark!" pekik gadis itu sembari keluar dari balik pintu lemari.
"Agnes." Sahut keduanya bersamaan.
Keduanya membelalakkan matanya. Menatap horor pada sosok gadis yang menyembul keluar dari balik lemari pakaian. Kedua matanya menatap nyalang pada kedua sosok yang sudah berantakan.
"Kau yang membuatku begini Agnes! Kau tak mau memberikan kenikmatan untukku agar aku puas. Jangan salahkan aku jika aku mencari kepuasan dari wanita lainnya." Mark tersenyum menyeramkan. "Sepertinya aku tak perlu susah-susah mencari alasan untuk berpisah denganmu."
"Hahahaha maafkan aku Agnes. Habis kau begitu bodoh. Mark tampan dan sekarang mapan. Tapi kau tidak mau diajak bercinta olehnya. Bodoh bukan?" gadis yang tengah kepalang basah oleh kenikmatan surgawi itu tersenyum lebar. Seakan meremehkan sahabatnya sendiri.
Gadis yang bernama Agnes itu tersebut tersenyum menyeringai. Masih dengan sikap yang tenang dan berwibawa. Gadis yang berpendirian teguh itu mematung dirinya sembari mengumpat dalam hatinya. Tapi dirinya sadar satu hal. Masa depannya akan suram jika dirinya harus hidup bersama laki-laki brengs*k itu.
"Olivia terima kasih karena sudah memberikanku kejutan yang sempurna. Kau sahabat terbaikku. Serta kau Mark! Ini hadiah untukmu." Melemparkan kotak yang berisi sebuah jam tangan. "Hubungan kita selesai Mark. Aku harap kita tidak bertemu lagi."
Berjalan dengan angkuh tanpa menoleh sedikitpun. Sebuah pengkhianatan yang menyakitkan. Kepercayaannya direnggut paksa hanya karena dirinya menolak untuk memberikan mahkota yang berharganya kepada sang kekasih. Dan kemudian sang kekasih mencari kenikmatan bersama dengan sahabatnya.
"Ah menyebalkan." Buliran air mata mengalir dari pelupuk matanya. Berjalan gontai meninggalkan apartemen mantan kekasihnya. Berbanding terbalik dengan ketika dirinya baru saja memasuki apartemen tersebut.
******
"Bagaimana Sayang? Mana kekasihmu itu?"
Seorang gadis menundukkan kepalanya. Rasanya dia begitu enggan untuk membuka suaranya. Seakan tenggorokannya tercekat. Begitu pula dengan lidahnya yang tiba-tiba kelu.
"Agnes."
Mengetahui namanya dipanggil, perlahan-lahan gadis itu mengangkat kepalanya. Menatap sang ayah yang semakin tersulut emosi. Gadis itu menggelengkan kepalanya secara perlahan.
Seorang laki-laki paruh baya tersenyum tipis. Sepertinya anak gadisnya itu benar-benar telah berpisah dengan kekasihnya.
"Waktumu sudah habis untuk bersenang-senang Nak. Sekarang waktunya kau memenuhi kesepakatan kita. Bukankah begitu Sayang?" Menatap tajam kearah istrinya. Wanita paruh baya yang masih terlihat sisa-sisa kecantikannya dimasa muda itu mengulas senyuman hangat untuk ayah dan putrinya yang semata wayang itu.
"Pa. Beri aku waktu untuk menerima ini semua."
"Keputusan papa sudah bulat. Kamu harus setuju dengan keinginan papa. Papa ingin kamu segera menikah dengan anak sahabat papa."
Bagai tersambar petir disiang bolong Agnes begitu tersentak mendengar penjelasan dan kehendak papanya. Bukankah ini gila? Menikah dengan orang yang bahkan tak dikenalnya sedikitpun. Tidak mungkin dia menyetujui ide gila itu.
"Papa please. Ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi." Sekuat tenaga Agnes menolak dengan keras keinginan papanya.
"Jangan membantah! Keputusan papa sudah bulat," tegas Anggara.