Chereads / Our Precious Joon / Chapter 17 - Hantu Kecenthilan

Chapter 17 - Hantu Kecenthilan

Setelah beberapa jam di ruangan ini dengan segala curhatannya tadi, akhirnya papa keluar juga.

Kini, aku harus mencari pemilik tawa tadi. Sepertinya ia tahu sesuatu kenapa aku berada di sini dalam wujud roh.

Mengejutkan! Seorang gadis sudah duduk dengan santainya di atas lemari. Rambut panjangnya terurai, wajahnya sedikit kabur dengan iris mata merah menyala. Memakai gaun putih penuh dengan darah. Kakinya terjuntai ke bawah. Ia mengayunkannya seperti anak kecil yang sedang duduk di ayunan.

Ia menatapku dengan mata merahnya. Aku membalas tatapannya dengan tatapan dingin ala bad guy yang diajarkan oleh ayah selama ini.

Ada rasa keterkejutan yang terlihat dari raut mukanya.

"Eh? Kok enggak takut sih?" Ia berucap seolah tak percaya.

"Hantu ya? Iblis? Atau malah siluman?" ucapku, datar.

Sedetik kemudian ia sudah berada di hadapanku. Cukup mengejutkan memang, tapi aku dapat mengontrol emosi. Kini ia malah menjulurkan lidahnya yang panjang hingga terjuntai ke lantai.

Dengan sengaja aku malah menginjak lidah itu, membuat dia sontak menarik lidahnya.

"Uhuk! Uhuk! Apa yang kau lakukan, Kunyuk!" teriaknya sesaat kemudian.

Aku hanya tersenyum cool seperti biasa sembari berkacak pinggang.

Ia mengerucutkan bibir dan menatap tajam ke arahku.

"Kenapa kau tak takut, huh? Sia-sia aku dandan menyeramkan seperti ini," gerutunya.

"Aku? Takut? Yang benar saja! Apalagi pada hantu kecentilan sepertimu," ucapku masih dengan nada dan raut muka datar. Malas saja menanggapi hantu seperti dia.

Sesaat aku memusatkan pandanganku pada matanya.

"Sebenarnya kau ini siapa?

Apa kau tahu kenapa jiwaku terpisah dengan ragaku seperti ini, eum?" tanyaku lagi. Aku curiga bahwa dia yang telah menarikku keluar dari raga.

Ia terdiam sejenak, sesaat ia menengadah ke langit-langit ruangan.

"Hanya yang di atas yang tahu jawaban dari semua pertanyaanmu itu," ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuknya ke atas.

Aku mengikuti pandangan hantu itu dan melihat ke atas.

"Oi, Thor! Ini enggak salah narasi, kan? Kok aku jadi roh gentayangan kayak gini?" teriakku.

Plak!

Pipiku memanas. Sial! Hantu itu telah menamparku. Benar-benar lancang.

"Oi, kenapa jadi aku yang malah kau tabok, Han?" bentakku pada Nona Hantu tadi.

"Dasar kunyuk! Maksudku 'yang di atas' itu Tuhan, bukan tukang benerin genting rumang sakit itu. Lagi pula, kenapa juga malam-malam benerin genting? Seperti kurang kerjaan," gerutu hantu itu seperti lebah. Bukankah pernah kubilang bahwa semua perempuan itu merepotkan dan berisik.

"Bodoh amat tentang apa yang dilakukan tukang genting. Assh, lupakan itu! Balik ke inti permasalahan. Aku sungguhan tak mengerti kenapa aku di sini, Han! Lalu kenapa bisa ketemu kamu, coba? Enggak ada hantu yang cantikan sedikit apa?"

Sejenak pandanganku terfokus pada tubuhku yang masih tergeletak di ranjang.

"Tunggu! Ini bukan drama dengan judul 'Tampan-tampan tapi Hantu' itu kan? Atau drama yang cari tiga air mata tulus untuk bisa bangun lagi?" gerutuku.

Ctak!

Sial! Kenapa aku dari tadi dianiaya terus ya sama hantu kecentilan ini?

Mau balas, tapi kok enggak tega.

Kata papa dulu, "Boleh mengencani banyak perempuan, tapi jangan sesekali memukul mereka!" Entah itu diambil dari buku 'Etika Playboy' yang mana.

"Oi, malah bengong? Kau terlalu banyak nonton drama, Kunyuk!" bentaknya sambil menoyor kepalaku. Lagi? Lama-lama luntur juga ini ketampanan.

Kenapa nasibku selalu begini, ya? Dijitak, disentil, ditoyor, ditabok, digaplok, gini aja terus sampai ayam melahirkan dinosaurus.

Tapi kalau dipikir-pikir kenapa dia bisa menyentuhku, ya?

Apa karena kita sama-sama roh?

Sebenarnya, ini apa yang terjadi? Apa aku sungguhan mati? Ini benar-benar membingungkan.

Aku melihat kembali pada hantu perempuan itu. Dia terlihat seumuran denganku.

"Oh ya, Han! Kamu ini sebenarnya siapa, huh? Apa kamu sejenis dengan tante-tante yang ngesot di koridor itu? Atau kau temannya tante yang gelayutan di pohon itu?" tanyaku sambil menunjuk tante-tante yang bergelayutan di pohon besar sebelah rumah sakit yang terlihat dari jendela.

"Han apa? Han Ga In? Atau Han Ji Eun? Kenapa jadi panggilanku berubah jadi Han, hah?

Dan lagi, aku bukan temannya tante-tante itu. Jangan ngaco!" Ia membentak dengan suara nyaring hingga membuatku menutup telinga.

"Han itu kependekan dari hantu! Memang mau kupanggil 'Ntu' saja, hah?" bentakku balik. Enak saja dia benari membentak-bentak. Memang siapa dia? Kenal saja tidak.

"Aiisshh! Sembarang ngubah nama orang!" Dia menyentil keningku kembali. "Panggil aku Mawar, Kunyuk!" putusnya.

"Lha? Memang situ orang?

Tapi tunggu! Buwahahaha namamu sungguh tak elit. Mawar apa? Mawar berduri atau mawar hitam? Eh ya, kamu yang menjual makanan berformalin itu, ya?" tuduhku padanya. Lucu saja perumpamaan itu. Aku tak dapat menahan tawaku kali ini.

"Woy, diam, Kunyuk!" Ia terlihat menatap sendu ke luar jendela. "Sebenarnya, aku juga lupa namaku sendiri. Itu nama samaran saja selama ini. Aku juga tak tahu, kenapa

selama 11 tahun ini rohku gentayangan seperti ini. Mungkin ada urusan di dunia yang belum kuselesaikan," sambungnya kembali, terdengar sok mendrama. Sayangnya aku tak terkesan sama sekali.

"Lalu apa peduliku dengan urusanmu yang tertunda, heh?" sahutku.

"Sepertinya urusanku itu ada hubungannya denganmu, Mi." Ia berucap kembali setelah diam beberapa detik.

Aku mengernyit. Bagaimana bisa ada hubungannya denganku? Kenal dia saja tidak. Tapi tunggu!

"Mi? Mi apa, woy?" Aku berteriak kepadanya. Apa-apaan hantu inmemanggilku dengan 'Mi'. Memangnya namaku sashimi? Benar-benar menyebalkan.

"Namamu Takumi, kan?" Ia berucap dengan sangat yakin.

"Takumi siapa? Namaku Arjun, woy! Sejak kapan kamu gonta-ganti nama anak orang, hah?!" bentakku tak terima. Enak saja mengubah-ubah. Memang sudah dikasih bubur merah putih?

Hantu itu terlihat seolah memikirkan sesuatu. Ia memijit dagunya.

"Tidak mungkin! Walaupun ingatanku semasa aku hidup dulu belum muncul seutuhnya. Tapi, aku yakin benar namamu itu Takumi! Dan ingatanku terus muncul sejak aku melihatmu seminggu yang lalu, saat tenggelam di air," ungkapnya kembali.

Nah, sepertinya memang benar dia hantu penunggu air itu.

"Jadi, selama ini kau tinggal di air? Ck! Seperti ubur-ubur saja.

Asshh, tapi aku sama sekali tak tahu siapa itu Takumi! Apa kau dulu pernah mengenalku, Han?" tanyaku.

"Kau sungguhan tak ingat tentang kecelakaan sebelas tahun lalu, Mi?" Ia berucap, masih memanggilku dengan panggilan aneh itu.

Aku menggeleng lemah.

"Tak ingat sama sekali. Sungguh! Kata ayah, saat aku berusia empat tahun memang aku pernah mengalami kecelakaan. Akibat kecelakaan itu juga, aku tak memiliki memory apapun di bawah usia empat tahun. Kecelakaan itu juga membuatku memiliki trauma dengan air. Apa kecelakaan itu yang kau maksud?" ungkapku padanya.

Memang benar, aku tak memiliki memory apapun sebelum kecelakaan itu.

Ia mengangguk.

"Mungkin saja. Untuk lebih memastikan, ikutlah denganku!" ajaknya sembari menarik lenganku.

Bersambung ....