Chereads / Winona, Ibu Tiri Idaman, atau Janda Pujaan? / Chapter 24 - Nomor Tidak Dikenal

Chapter 24 - Nomor Tidak Dikenal

Dalam ruang kerja tersebut, ada rak buku berukuran setengah dinding. Lalu, ada juga lukisan di dinding. Meja kerja ditempatkan dengan rapi dengan peralatan lain yang diperlukan untuk Winona membuat desain perhiasan.

Winona sedang membuat teh. Dia menuangkan air mendidih ke dalam cangkir berisi daun teh, dan seluruh ruang kerja dipenuhi dengan bau samar teh hitam. Dia akan membawa teh untuk Tito, tetapi ternyata Tito telah pergi ke belakangnya. Tanpa diduga, Tito mendekat, membuat tangannya yang memegang cangkir bergetar dan tehnya hampir tumpah. Tapi detik berikutnya, Tito mengulurkan tangan dan memegang tangan Winona untuk menstabilkan cangkirnya. "Takut padaku?"

Cangkir itu terlalu kecil, dan Tito memegangnya dengan kedua tangan. Saat ini, tangan Winona terbungkus di tangan Tito. Ujung jari Tito terasa hangat dan suhu tubuhnya sedikit panas, seolah percikan api menyentuh punggung tangan Winona.

"Tidak." Winona dengan tenang mencoba menarik keluar jarinya, tapi dia dicengkeram. Tidak mungkin. "Tito?"

"Kita sudah cukup akrab sekarang. Aku juga masih tinggal di paviliun yang sama denganmu untuk sementara. Tapi aku selalu melihatmu menundukkan kepala saat berbicara denganku. Apa yang dikatakan kakekmu pagi ini sebenarnya benar, Winona." Tito berkata dengan nada yang tenang dan lembut. Dia menatap Winona dengan alis yang berkerut. Matanya tidak memiliki rasa marah sedikit pun, seolah-olah dia ingin membicarakan ini semua dengan begitu santai.

Winona bisa menebak apa yang akan Tito katakan selanjutnya, tapi ketika Tito benar-benar membuka mulutnya, Winona hanya bisa tercengang.

"Haruskah kita berhenti bersikap canggung?" Suara Tito terdengar sangat hangat. Dia juga menekan kata terakhir, dan mengucapkan seluruh kalimat dengan suara yang dalam. Ini menjadi ambigu. Jantung Winona berdetak kencang tanpa bisa dikendalikan. Telinganya kini dihiasi dengan warna merah.

"Berhenti bersikap canggung?"

"Ya."

Saat Pak Tono mengatakan hal semacam ini, Winona menganggapnya bercanda, dan leluconnya sudah selesai. Tetapi ketika Tito berbicara tentang ini, rasanya benar-benar berubah. Nadanya membuat Winona tidak bisa menolak sama sekali.

Faktanya, Winona juga ingin bersikap santai di hadapan Tito, tapi dia selalu mengingatkan dirinya bahwa pria di depannya adalah putra kedua dari keluarga terpandang. Jadi, Winona harus menghormatinya. Jika batas ini dilanggar, hanya akan ada masalah yang lebih berat yang siap menyambut Winona. Winona tidak ingin terlalu terikat dengannya bahkan jika dia bisa menghangatkan hatinya.

____

Saat ini, para anak buah Tito sedang berjongkok di halaman, bermain dengan bunga dan tanaman. Kebanyakan dari mereka lahir di pedesaan, dan mereka biasanya membawa senjata dan tongkat. Sekarang beberapa pria bertubuh besar itu justru memegang alat penyiram tanaman berwarna merah muda. Mereka sedang menyemprotkan air ke bunga dan tanaman. Pemandangan itu sungguh aneh.

"Ini sama sekali bukan seperti sebelumnya. Aku masih ingat bahwa saat pemanas itu rusak, kita yang disalahkan. Lalu, sekarang kita harus menyiram bunga? Mengapa ini terjadi?" Salah satu anak buah Tito hampir menangis.

"Kamu memiliki kemampuan untuk bertanya kepada Tuan Tito." Pria berbadan besar lainnya menanggapi.

"Aku merasa prihatin padanya. Hanya karena gadis itu, dia tidak bisa membuka mata dan berkata tidak masuk akal. Dia bahkan mengatakan bahwa aku yang sudah menjatuhkan pot bunga kemarin dan mengotori halaman orang. Lalu, sekarang dia meminta kita menghias halaman."

"Aku akan kehilangan akal sehatku!"

Mereka sudah lama bersama Tito. Sebelumnya, mereka merasa bahwa tuan mereka agak istimewa saat memperlakukan Winona. Tetapi mereka tidak berani memikirkannya. Setelah kejadian tadi malam dan pagi ini, mereka baru bisa melihat perbedaannya dengan sangat jelas.

Beberapa orang berbadan besar itu masih menyirami bunga. Mereka berjongkok di pojok untuk berjemur di bawah sinar matahari, lalu memikirkannya.

____

Di ruang kerja, Winona mencoba menahan getaran di hatinya. Dia perlahan-lahan menarik jari-jarinya dari telapak tangan Tito, sedikit memperlebar jarak di antara keduanya. "Tito, aku pikir aku tidak bisa bersikap sembarangan padamu. Lagipula kita belum lama kenal."

"Katakan sesuatu, kenapa kamu tidak bisa melakukannya? Apa karena identitasku? Winona, aku mungkin akan bersikap angkuh pada wanita lain, seperti saat aku memperlakukan Monica, tapi…" Ada jeda sejenak. Kata-kata Tito yang berikutnya membuat Winona terpaku. "Kamu berbeda dari wanita lain. Kamu tidak sama seperti mereka."

Winona merasa dia sedang sekarat. Saat mendengarkan kata-kata ini, dia menjadi susah bernapas. Kenapa pria ini mengatakan hal seperti itu? Itu cukup untuk membuat Winona tidak bisa bergerak lagi.

Tito melanjutkan, "Ada beberapa hal yang tidak bisa orang lain lakukan padaku, tapi kamu bisa melakukan itu padaku." Suara Tito terdengar jelas, tapi itu seperti anak panah yang menembus hati Winona. Kata-katanya itu terlalu berlebihan.

Winona bukan wanita cuek. Saat mendengar pria tampan mengatakan bahwa dia spesial, jika dia mengatakan bahwa dia tidak menyukainya, itu semua palsu. Saat ini Winona sangat gembira di dalam hatinya.

"Winona, kamu bisa bersikap santai padaku mulai sekarang. Kamu tidak usah memedulikan yang lain. Kamu tidak perlu merasa tidak nyaman dan takut saat di dekatku." Tito berkata dengan senyum tipis di bibirnya. Setelah itu, dia meniup teh di tangannya.

Winona menekan bibirnya dengan erat. Tito ingin dia bersikap santai padanya? Bagaimana dia bisa bersikap seperti itu? Di saat suasananya menjadi canggung, ponsel Tito tiba-tiba bergetar. Winona adalah yang melihat pertama kali. Dia segera menunjuk ponsel itu. "Tito, ada telepon."

"Ya." Tito meletakkan telepon genggamnya di kursi yang diduduki sebelumnya. Ponsel itu tertutup oleh selimut, berdengung dan bergetar. Dia mengangkat telepon, memicingkan matanya ke nama si penelepon. Dia sedikit mengernyit. Dengan sedikit tidak sabar, dia menutup telepon.

"Kamu tidak mengangkat teleponnya?" Winona menghela napas lega, karena dia telah melarikan diri. Dia berterima kasih pada panggilan telepon itu di dalam hatinya.

"Nomor tidak dikenal. Jika diangkat hanya akan mengganggu."

"Oh, begitu rupanya. Ya, memang lebih baik tidak usah dijawab jika itu panggilan dari nomor tidak dikenal. Akan berbahaya bagimu." Winona tidak banyak berpikir. Tetapi ponsel Tito bergetar lagi. Tito menekannya dengan santai, dan menyeret nomor itu ke daftar hitam.

Winona menarik napas panjang. Dia menyesap teh. Tampaknya dia berkeringat di telapak tangannya. Tito memang benar-benar bisa mempermainkan orang. Dia bahkan sangat pandai membuat hati Winona menjadi tidak karuan seperti saat ini.

____

Saat ini, di Jakarta, orang yang sedang duduk di sebuah kursi kerja mengerutkan kening setelah membuat dua panggilan yang gagal tersambung. "Ada apa? Apa sinyal buruk di sana? Mengapa aku tidak bisa meneleponnya?"

Tapi ketika dia menelepon lagi, suara operator terdengar dengan cepat, "Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar area layanan."

"Apa? Apakah karena rumah tua itu berada di pinggiran kota, jadi sinyalnya tidak bagus? Tapi pinggiran kota juga bagian dari negara ini, bagaimana bisa sinyal telepon selulernya begitu buruk?" bisik orang itu.

Setelah beberapa hari, telepon masih tidak bisa tersambung. Orang itu pun menyadari betapa naifnya dia pada saat itu karena dia tidak bisa menyadari masalah saat ini. Mungkin Tito tidak diperlakukan dengan baik oleh Keluarga Talumepa! Dia khawatir Tito tidak terbiasa dengan Keluarga Talumepa, jadi dia dianiaya dan ditinggalkan di hutan belantara. Jika itu terjadi, dia tidak akan bisa tinggal diam.