••••
TERLIHAT pria tampan dengan koper di tangannya sedang menghirup nafas dalam. Dia baru saja tiba di Indonesia beberapa menit yang lalu. Pria itu berjalan dengan tenang menyusuri bandara tempatnya berdiri.
Menggeret kopernya pelan sambil tersenyum samar, dia merindukan tempat ini. Kaca mata hitam yang bertengger di hidung bangir nya di lepaskan, membuat beberapa pasang mata melihat nya tanpa kedip. Pria itu melihat sang Papa yang sudah menunggunya.
Pria paruh baya yang masih terlihat tampan itu menghampiri anaknya kemudian memeluknya sekilas yang di balas dengan usapan pelan di bahunya.
"Rafa, kamu berubah banyak ya," ucap Angga, papanya. Yang di balas senyuman kecil dari pria yang di panggil Rafa itu.
"Sekarang makin tampan dan gagah seperti Papa waktu masih muda," Angga, yang masih terbalut setelan kantor itu tersenyum melihat putranya yang sudah dewasa.
"Kamu gak kangen sama Papa?"
"Kengen kok Pa."
Mereka berjalan beiringan keluar dari Bandara, banyak pasang mata yang melihat takjub Anak dan Ayah itu. Yang satu masih muda dan sangat tampan, yang satunya lagi terlihat berwibawa walaupun sudah di makan usia.
"Betah banget ya di sana? Sampe 5 tahun gak pulang-pulang," ucap Angga sambil terkekeh.
Rafa tau, pria itu sedang menyindir nya secara halus.
"Rafa harus nyelesain skripsi Pa, dan urus usaha Oma yang di sana, bukannya Rafa gak mau pulang. Papa kan tau Opa sakit," Pria tampan itu menaruh kacamata nya di sela-sela kaus yang di pakainya.
"Iya-iya terserah kamu."
Rafa tertawa pelan, Papanya walau sudah berkepala empat masih saja bisa merajuk. Dia bersyukur bisa merasakan ini kembali, setelah sekian lama tertekan dengan banyak hal di sana.
"Lagian, sekarang Rafa udah di sini kan sama kalian? Rafa gak akan ninggalin kalian lagi. Rafa udah janji buat nerusin perusahaan papa di sini."
Rafa mengikuti sang Papa memasuki mobil, pria itu duduk di samping kursi kemudi yang di tempati Papanya, setelah menyemprotkan cairan anti-septik yang selalu di bawanya.
"Iya deh iya. Awas kalau kamu balik lagi ke sana. Papa gak mau kamu salah pergaulan. Bukannya Papa melarang kamu bertemu Oma-Opa, tapi pergaulan di sana melenceng jauh dengan di sini. Papa gak mau anak Papa sampai terjerumus apalagi sampai melakukan hubungan yang di larang agama, seperti seks bebas contohnya. Di sana hal itu lazim di lakukan tapi di sini kamu malah di anggap kotor."
Ucapan terakhir Angga, membuat tenggorokan Rafa tercekat. Otaknya memutar ke kejadian-kejadian yang membuatnya melarikan diri ke tempat ini.
"Rafa kamu gak dengar Papa ya?"
"Rafa lagi nggak fokus pa, mungkin kecapean."
Angga menghela nafas pelan, "Yaudah kamu tidur dulu aja, rumah masih jauh."
Rafa hanya mengangguk sekilas, kemudian berpura-pura memejamkan matanya menghindari kalau-kalau Angga membahas hal yang membuat nya mengingat kejadian itu.
***
Rayen menatap jengah Clarissa yang berguling-guling di lantai rumahnya sambil bernyanyi lagu 'ding ding ding tuyul' dengan suara keras. Entah dari mana Clarissa mendengar lagu itu. Yang jelas Rayen mengutuk si pembuat lagu yang membuat rumahnya seperti akan roboh dengan suara merdu (merusak dunia) milik Clarissa.
"La, lo gak bisa berhenti apa nyanyiin lagu itu?" tanya Rayen kesal.
Clarissa langsung duduk mendengar pertanyaan itu. "Gak bisa Ray! Lala juga gak tau kenapa yang jelas lagu ini tuh muter terus di kepala Lala!" Gadis itu kembali berguling-guling setelah menjawab pertanyaan Rayen, untuk menghilangkan kegabutannya.
"DING DING DING DING DING TUYUL! DING DING DING DING UNYU! CLARISSA MEMANG UNYU!" Rayen memutar bola matanya melihat kelakuan absurd tetangganya ini.
"La diem ngapa lo kayak cacing kepanasan tau gak!"
Clarissa mengubah posisinya yang sedang berguling-guling di lantai harum rumah Rayen menjadi duduk kembali. "Iya! Lala kepanasan AC rumah Ray kayaknya mati deh soalnya Lala keringetan gini."
Kemudian beguling-guling lagi, ke kanan-ke kiri tidak tentu yang penting dia tidak kepanasan dan merasa sejuk terkena sentuhan lantai marmer ruang tamu keluarga Rayen.
"La, lo dengar lagu itu dari mana sih?!" pertanyaan Rayen membuat Clarissa duduk kembali, sudah setengah jam seperti ini. Gadis itu langsung mengubah posisi jika di ajak bicara, lalu kembali berguling jika sudah menjawab.
"Lala dengar waktu Lala buka tik-tok. Lucu banget gitu lagunya!" jawabnya antusias.
Clarissa yang hendak berguling-guling lagi langsung di tahan oleh Rayen.
"Udah. Lo duduk yang anteng jadi cewek baik dulu ya. Bentar lagi abang gue dateng. Plis jangan buat malu di depan abang karna bawa temen kek lo," ucap pria itu selembut mungkin, agar gadis di hadapannya ini menurut.
"Ih harusnya Ray bangga punya teman menggemaskan macam Lala! Jarang-jarang loh spesies kayak Lala ada di dunia! Lala ini langka tau!" sungut gadis itu.
"Lagian abangnya Ray mana sih kok lama banget! Lala udah gak tahan liat puding buatan tante Dina yang menggiurkan itu," lanjutnya mengerucut kan bibir.
Hampir setiap hari Clarissa pergi ke rumah Rayen untuk numpang makan puding, karna puding buatan Dina memang enak dan menjadi favoritnya. Dina sendiri yang menyuruhnya untuk ke sini setiap hari, katanya untuk meramaikan rumah. Kalau biasanya Clarissa langsung mencomot puding strawberry yang ada di kulkas.
Lain dengan hari ini, tangannya di tepis begitu saja oleh Rayen saat hendak mengambil puding yang di buat lebih banyak dari biasanya di meja makan. Katanya baru boleh makan kalau kakaknya Rayen sudah sampai. Jadi di sinilah Clarissa, menunggu kakak dari temannya yang tak kunjung datang demi puding kesukaannya.
"Astaga bocah sableng!" Rayen menyentil jidat temannya yang kebetulan adalah tetangganya itu.
Clarissa baru pindah sekitar 1 tahun ke samping rumahnya, orang tua gadis itu kebetulan adalah sahabat orang tuanya pada masa muda mereka dulu, jadi mau tidak mau Rayen harus berhadapan setiap hari dengan Clarissa.
Sedangkan Dina yang sedari tadi menonton percakapan anaknya dan Clarissa tertawa pelan, kehadiran Clarissa membuat suasana rumah jadi hangat.
"Lala, udah ya nanti kamu masuk angin loh main di lantai gitu. Ntar Mamah yang di marahin sama Mami kamu. Lala boleh duluan makan pudingnya di meja kok," ucapan Dina membuat wajah Clarissa cerah seketika.
Tanpa basa-basi gadis cantik itu mengambil satu piring puding Strawberry yang di persiapkan Dina, lalu memakannya dengan lahap di sofa tempat Dina duduk.
Rayen meringis pelan melihat cara makan Clarissa yang jauh dari kata anggun.
"Pelan-pelan La, gak ada yang bakal ambil punya lo."
"Kata siapa? Biasanya Ray yang selalu ambil puding Lala!"
"Ya itu kan biasanya. Tapi sekarang kan gak biasa," Rayyen menduduki kursi di depan Clarissa dan mamanya.
Sedangkan Clarissa hanya menjulurkan lidahnya mengejek.
"Mah, Bang Rafa kok lama banget sih?"
"Gak tau, kata Papa mereka udah jalan ke sini, paling mampir dulu ngurus beberapa surat-surat kepindahan Rafa," saut sang Mama sambil sesekali melirik ponsel nya menunggu pesannya yang belum di balas oleh suaminya.
"Kira-kira Bang Rafa bawa cewek gak ya Ma?"
Pertanyaan ngawur Rayen sontak mendapat pelototan dari Dina. "Kamu ini! Kakak kamu di sana buat belajar dan ngurus usaha Oma-Opa mu, bukan untuk pacaran. Lagian Papa pasti gak setuju kalau Rafa sama bule. Kamu tau kan alasannya?"
"Iya juga sih ma, lagian aku kan cuman tanya. Soalnya masa iya umur udah 22 tahun gak pernah sekalipun bawa cewek ke rumah."
"Karna Rafa itu cari yang terbaik, satu untuk selamanya gak kayak kamu yang tiap minggu ceweknya lain-lain."
Rayen menggaruk kepanya yang tak gatal, memang benar sih apa yang di katakan mamanya. Tapi kan dia cuma nyari yang terbaik dan cocok sama dia. Kalau tidak di coba gimana bisa tau kan.
Obrolan ibu dan anak itu terhenti ketika mendengar ketukan pintu, dan kemunculan pria paruh baya, diikuti pria tampan dengan tampilan kasual di belakangnya.
"RAFAAA!"
Dina berteriak histeris kemudian tanpa aba-aba memeluk anaknya yang sudah mirip bang toyib ini, Rafa sedikit terhuyung kebelakang menerima pelukan tiba tiba dari mamanya. Pria itu membalas pelukan Dina tak kalah eratnya, dia merindukan mamanya.
"Mama kangen banget sama kamu, kenapa sih susah banget di hubungin dan gak pernah pulang buat jenguk Mama. Hampir aja Mama lupa kalau masih punya anak satu lagi yang ganteng nya udah ngelewatin batas maksimum ini," cercanya setelah pelukan mereka terlepas.
"Maaf ma," Revan tak menjawab banyak.
"Kamu ini gak berubah juga. Masih aja hemat ngomong," Dina memeluk kembali putra pertamanya itu.
Clarissa yang fokusnya sudah tidak ke puding, menatap tanpa berkedip sosok yang di peluk Dina. Dengan mulut sedikit terbuka Clarissa berdiri di samping Rayen, dengan masih memegang piring pudingnya.
"Ekhem!" deheman Angga menginstrupsi pelukan Dina dan Rafa.
"Suaminya di diemin giliran anaknya di peluk peluk," rajuknya manja.
"Astaga Pah, kamu ini sudah tua masih saja cemburuan. Mana sama anaknya sendiri," Dina tertawa. Kemudian mengecup kedua pipi suaminya. Yang di balas kecupan sekilas di bibirnya.
"Mahh! Pahh! Plisss di sini ada anak di bawah umur," ucap Rayen sarkas sambil menutup kedua mata nya sendiri.
Dina memukul pelan dada suaminya, "Malu ah!"
"Kenapa malu sih sayang. Emang cuma anak muda yang bisa romantisan kita juga bisa kali," Angga tertawa mengusap lembut kepala sang istri.
"Ayok lah kita lanjutin di kamar. Aku udah rindu sama kamu, padahal baru 3 hari ngejalanin proyek," Angga menggiring istrinya menuju lantai atas di mana kamarnya berada. Sedaangkan wajah Dina sudah memerah menahan malu.
"Oh iya! Lala sama Rayen bantu bawa barang-barang Rafa di dalem mobil ya," perkataan terakhir Angga sebelum menghilang di balik pintu kamar. Keluarga
Menyisakan Rafa dan Rayen yang melongo menatap kepergian mereka. "Gak ngangka mereka orang tua gue?" ucap Rayen yang di angguki Rafa.
Keluarga memang unik. Bukannya mengobrol menghilangkan rindu dengan anaknya yang baru kembali setelah 5 tahun kepergiannya, ayah dan ibunya malah memilih melepaskan rindu mereka berdua.
Rafa dan Rayen tersadar kemudian berpelukan ala laki-laki setelah lama tidak berjumpa.
"Bang lo nambah keker aja."
"Lo juga, nambah tinggi, gak secebol terakhir gua liat lo."
"Yailah udah ngapa Bang, udah lama juga gak udah di bahas kali. Malu gue," Rafa tertawa membuat Rayen ikutan tertawa.
"Rayen... "
Sontak mereka berdua menoleh ke arah Clarissa yang memegang piring berisi puding.
Satu kata yang terlintas di benak Rafa saat ini. 'Cantik.' batinnya.
Rayen menepuk dahinya hampir saja melupakan makhluk astral di sampingnya ini. "Bang, kenalin ini Clarissa. Yang waktu kecil nyebur di kolam ikan rumah kita," ucap Rayen yang mendapatkan cubitan maut dari Clarissa.
"Awh sakit woy!"
Clarissa memindahkan piring di tangannya ke Rayen yang sedang meringis memegangi pinggangnya. Gadis itu memajukan langkahnya mendekati Rafa dengan semangat dan senyum yang di buat semanis mungkin. Kemudian mengulurkan tangannya yang di balas oleh pria itu.
"Clarissa, panggil aja Lala, calon istrinya kamu!"
'Gak jadi cantik!' batin Rafa bersuara lagi.
••••••••