Tubuhnya terasa remuk ketika menghempas tanah basah dengan sedikit rumput. Rasanya dia baru saja ada disebuah museum, melihat peninggalan sejarah tentang para pahlawan yang terbunuh di Lubang Buaya, lalu mengapa sekarang dia berada di alam terbuka, malam dan dingin.
"Nona, kamu cantik juga ya." Suara parau lelaki tepat di belakangnya.
"Siapa kamu? Tunggu... kalian..." kegugupan Jingga jelas terbaca oleh para lelaki yang berwajah berang dengan tatapan menjijikan mengarah padanya.
"Tangkap dia!" tiba-tiba salah seorang diantara mereka bertiga berteriak memprovokasi yang lainnya. Dengan cepat mereka berusaha menyambar lengan Jingga, jika saja Jingga tidak dengan gesit menghindar sudah pasti dirinya berakhir di dalam pelukan para lelaki mesum ini, sialnya bajunya sobek dan tali tas yang menyelempang di tubuhnya hampir saja putus. Aiiiissshhh tas mahal-ku... umpatnya dalam hati sambil membuang sepasang sepatunya dan berlari kencang.
Jingga berlari semampu yang dia bisa. Para penjahat mesum itu mengejarnya. Dengan napas yang tersengal, Jingga memaki dalam hati Aiiiisssshh... mengapa lari mereka sangat cepat. Aku harus lebih cepat! Hingga Jingga melihat ada cahaya lampu di depan sana kalau saja dirinya tidak terantuk akar dia pasti bisa denga cepat menuju jalanan mobil, kampung atau apalah itu. Siaal! Tubuhnya jatuh berdebam, lagi-lagi menghantam tanah lembab yang kemudian disambut dengan derai tawa kemenangan para penjahat busuk di belakangnya. Salah seorang dari mereka menjambak rambut Jingga dengan kencang menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
"Aaaaaaaahhhhh...." Jerit Jingga seketika membuat para penjahat mesum itu sedikit panik sambil melihat kiri dan kanan.
"Tolooooooooooong....!!!" Teriak Jingga lagi.
Penjahat yang marah segera melayangkan pukulan kearah wajah Jingga namun dengan tiba-tiba tangan kekar menghadang pukulan yang hampir saja mendarat sempurna di wajahnya. Lalu dengan hebatnya lelaki itu berkelahi dengan ketiga preman mesum yang mengejarnya. Para preman merasa takut karena selain memang jago berkelahi lelaki ini juga mengenakan seragam tentara, sepertinya... Jingga tidak yakin. Kepalanya sakit sehingga pandangan matanya sedikt kabur.
Ini di mana? Dan siapa lelaki itu? Yang sudah dengan gagah berani mengusir para pria hidung belang yang hampir saja merusak kehormatanku. Jingga menghapus seluruh air matanya dan mengumpulkan segenap keberaniannya untuk bangkit.
"Kamu ndak apa-apa toh? Ayo aku bantu berdiri." Ujar lelaki itu menghampiri Jingga.
Pandangan mereka saling bertemu, ketika lelaki ini melihatnya dalam terang wajahnya terkejut memandangi wanita di depannya. Tampanganya berantakan dengan rambut merah kecokelatan menutupi pipi dan keningnya. Meski berantakan dia tetap terlihat cantik. Apakah wanita ini turunan Belanda tapi... wajahnya? Pierre berusaha menebak-nebak.
Jingga merapikan rambut serta baju yang berantakan dan dengan segera Jingga membungkukan badannya mengucapkan terimakasih pada si penolong.
Pierre menatap wanita ini dengan heran yang tak berkesudahan, membungkuk mengucapkan terimakasih adalah budaya Jepang. Sekali lagi Pierre memerhatikan wajah perempuan yang berdiri di hadapannya ini. Hidung mancung, bibir tipis sempurna, kulit putih dan pipi yang sedikit kemerahan seperti tomat ranum serta bola mata yang hitam pekat. Bukankah sangat kontras dengan warna rambut merah kecoklatan yang panjangnya tak melebihi bahu itu. Pakaiannya? Pakaiannya sepertinya tidak pernah ada sebelumnya di sini. "Siapa dia?" Gumamnya pelan.
"Kamu siapa? Kenapa kok bisa ada di sini tengah malam begini? Ndak baik wanita berjalan sendiri di tempat-tempat berbahaya seperti ini." Tanya Pierre karena ingin menyudahi rasa penasarannya.
"Hmmm... maaf..." Jingga menjawab dengan spontan dan sedikit gugup. Jujur dia benar-benar tidak tahu ini di mana. Kenapa segalanya tampak asing lengkap dengan pria blasteran bule berseragam tentara yang saat ini sepertinya sedang menginterogasi dirinya dengan logat Jawa yang kental. Apakah dia turunan Jawa - bule? Hatinya bertanya-tanya.
"Kamu siapa?" Ulang Pierre kini terdengar lebih tegas. Pierre mulai mengira kalau gadis ini bisa saja seorang mata-mata atau komplotan rampok yang menyamar.
"Maaf, Tuan, Mas atau Pak. Namaku Jingga." Secepat kilat Jingga mengutuk dirinya karena telah menyebutkan nama aslinya. Bodooohnya akuu....
"Siapa?" Ulang Pierre sedikit meragu dengan pendengarannya sendiri.
"Namaku Jingga..." Jingga mengulangi namanya sambil memerhatikan sosok lelaki ini. Wajah gantengnya terlihat bingung atau lebih tepatnya tidak percaya dengan namanya. Harusnya ku sebut namaku Selena Gomez tadi.
"Jingga?" Ulang Pierre.
"Ya, Pak. Itu namaku." Jingga mengamini.
"Kamu sepertinya bukan orang Indonesia, ya?"
Pierre membaca wajah itu ada tanda tak setuju dengan pertanyaannya tapi dia tidak mau begitu saja percaya dengan penglihatannya.
"Aku berkebangsaan Indonesia, Pak." Jawab wanita itu sembari sibuk membenahi pakaiannya. Kemudian merapikan kembali rambutnya lalu kali ini menguncirnya. Kini Pierre dapat melihat dengan jelas wajah wanita itu. Kelopak mata yang indah, tidak sipit juga tidak juga belo. Seperti turunan Tionghoa tapi juga bukan. Aaahh kenapa kok yo aku bingung menggambarkan wajah ini, ujarnya dalam hati.
"Ya sudah, kamu tak bawa dulu ke tempat aman nanti aku bisa tanya-tanya lagi. Bajumu ada yang sobek. Pakai jaketku saja dulu ya."
Pierre berjalan menuju mobil jeep yang terparkir di pinggir jalan mengambil jaket warna hijau lalu kemudian menyerahkan kepada wanita itu. Wanita bernama janggal itu, Jingga.
"Kamu bekerja sama dengan para pria itu?"
Membuka percakapan setelah mereka berada di dalam mobil jeep.
"Apa?!" Jingga terkejut mendengar pertanyaan paling tidak mengenakan sepanjang hidupnya. Dirinya adalah korban para pria busuk tadi, kenapa malah dikira komplotan? Astagaa... Jingga bermonolog di dalam hati.
Pierre menatap wajah wanita di sebelahnya sekilas namun nampak jelas kalau wanita ini kesal.
"Kenapa anda bisa berkata seperti itu?!" Penuh dengan penekanan dan sedikit ketus. Pierre menginjak pedal rem yang secara mendadak membuat hentakan pada keduanya.
"Kamu tidak terlihat takut ataupun sedih padahal mereka berusaha berbuat tidak baik padamu." Tajam dan dingin. "Apa kamu salah satu bagian dari mereka? Melakukan semua sandiwara ini untuk kemudian merampok?!" Ujar Pierre dengan tegas dan menatap langsung pada Jingga berusaha mencari pembenaran atas kecurigaannya.
"Pak, jika anda menyesal menyelamatkanku seharusnya anda biarkan saja tadi. Tidak usah datang menolong, menjadi pahlawan kemudian anda menuduhku sekarang." Serang Jingga tak kalah sengit membuat mata Pierre terbelalak tak percaya.
"Apa menurutmu hanya karena aku tidak menangis dan lainnya lantas aku tidak takut dan tidak sedih? Apa anda bagian dari dalam diriku sehingga anda sangat tahu sekali apa yang aku rasakan??" Tanya Jingga dengan nada dingin membuat Pierre kembali menatap perempuan aneh ini lebih seksama. Dia sungguh berani, pikirnya.
"Berikan namamu yang sebenarnya." Balas Pierre tidak melepas satu detikpun saat menatap manik mata wanita yang katanya bernama Jingga itu. Jingga memutar bola matanya menahan kesal.
"Pak, haruskah aku bilang kalau namaku Selena Gomez?!"
"Siapa itu Selena Gomez? Apakah dia termasuk komplotanmu?!" Ujar Pierre sedikit geram kali ini.
"Apaaa?!! Aku rasa aku sudah gila sekarang!" Jerit Jingga tertahan sarat akan rasa putus asa membuat Pierre sekali lagi terkejut dengan kelakuan wanita di depannya ini.
"Sekali lagi aku..."
"Jingga! Jingga Azzahra! Sekarang terserah anda percaya atau tidak padaku!" Sela Jingga sambil melangkah turun dari mobil jeep dengan cepat, namun Pierre segara menyusulnya dan menahanya. Dia tidak menyangka kalau gadis ini akan turun begitu saja. Ketika Pierre mencoba maraih lengan wanita itu seketika wanita itu terlihat ketakutan menepis tangan Pierre. Dia sangat ketakutan berbeda sekali dengan sikap sebelumnya tadi. Sesaat dirinya tertegun.
"Maaf..." ujarnya dengan nada melembut, bersaha menenangkan wajah serta tatapan yang penuh dengan ketakutan itu.
"Tolong... tolong jangan pernah lakukan hal itu lagi padaku..." nadanya kini terbata. Jingga berusaha keras menepis rasa takutnya atas kejadian yang baru saja menimpanya. Jingga berusaha mengatur napasnya sedemikian rupa karena saat ini yang dia rasakan hanyalah sesak berdesakan di dada. Aku tidak ingin menangis, setidaknya tidak di hadapan Pria dingin ini ujarnya dalam hati.
Dengan hati-hati Pierre mendekati wanita ini, ada rasa sesal di dalam hatinya karena sudah membuat seorang wanita tidak nyaman.
"Maafkan aku..." ujarnya hati-hati dengan tatapan yang sedikit menghangat. Jingga hanya balas menatapnya dengan nanar.
"Aku sungguh minta maaf padamu atas segala ucapanku. Aku antar kamu sekarang. Di mana rumahmu?"
Pertanyaan Pierre membuat Jingga kehabisan napas. Bagaimana aku tahu di mana letak rumahku sementara aku sendiri tidak tahu di mana sekarang.
"Apa aku boleh tanya sesuatu?" Jingga memulai percakapannya.
"Tentu."
"Sekarang ini di mana dan hari apa?"
Pierre merasa aneh dengan pertanyaan wanita ini. Apakah wanita ini kurang waras? Apakah dia lari dari rumah sakit saat perawatan? Batinnya bertanya-tanya khawatir.
"Akan ku beritahu tapi, kamu harus menjawab pertanyaanku dulu." Tawarnya. Biasanya dia tidak pernah tawar menawar seperti ini.
"Lagi? Pertanyaan lagi? Apakah ini masih seputar soal keterlibatan aku sebagai perampok ataukah Selena Gomez itu komplotanku??" Berondong Jingga membuat Pierre melongo karena melihat kalau wanita ini sepertinya kurang dididik unggah ungguh. Biasanya wanita berbicara sopan dan terarah atau bahkan menyampaikan segala sesuatu dengan elegan tapi ini??? Bagaimana mungkin wanita ini berbicara begitu ceplas ceplos?
"Bukan, bukan begitu. Aku ingin tahu latar belakang keluargamu. Nama kedua orang tuamu dan lainnya." Terang Pierre pada wanita ini.
"Wawancara macam apa ini?"
"Jawab!" Pierre baru saja kehilangan kesabarannya. Herannya gadis ini tidak terusik dengan bentakannya pun matanya tidak tertunduk. Wanita apa ini? Batinnya mulai gusar.
"Nama ayahku Lee Young Min, nama ibuku Raina Atifa, asli dari Jawa Barat."
Pierre menautkan kedua alis lantaran bingung mendengar nama yang terbilang asing ditelinganya. Aku rasa dia benar kurang waras...
"Jadi kamu memang keturunan Tionghoa, baiklah kalau begitu." Mata Jingga membulat sempurna tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Pak, percayalah aku bukan keturunan Tionghoa."
"Lalu? Nama ayahmu Lee Young Min, kan? Terdengar seperti Tionghoa."
Jingga menggelengkan kepalanya dengan lemah, sudah malas dan lelah dengan pembicaraan ini.
"Ayahku bukan Tionghoa melainkan Korea. Korea Selatan lebih tepatnya." Jelas Jingga pada pria yang menurutnya aneh ini.
Pierre sempat berpikir keras tentang Korea Selatan lantas melirik wanita yang menurutnya blesteran Indonesia – Korea ini, apakah mungkin? Sementara Korea saja sekarang... aku ndak yakin.
"Kamu aneh. Maksudku penampilanmu aneh. Kenapa rambutmu bisa berwarna seperti itu jika keteranganmu itu benar adanya? Lalu, bahasamu terasa sangat asing ditelinga."
"Jawab pertanyaanku, Pak." Jingga kini menuntut balik Pierre.
"Kamu sendiri belum jawab pertanyaanku, toh?" Pierre-pun berkeras.
Jingga membuka jaketnya dengan kesal, melipatnya dan memberikannya pada siempunya.
"Aku akan cari tahu sendiri, aku tidak berminat menjawab semua pertanyaanmu. Terimakasih karena sudah menolongku." Jingga kembali berjalan entah kemana namun menjauh dari Pierre tidak peduli.
Pierre hanya memandang gadis itu berjalan menjauh darinya lalu melihat tangannya yang sudah memegang jaket hijaunya lagi. Kali ini Pierre melihat dengan jelas penampilan dari wanita aneh itu. Celana kebesaran nan longgar yang sepertinya berbahan katun cokelat semata kaki yang sudah nampak kusut dan kotor serta kemeja biru dongker longgar sepinggul lengannya digulung asal sampai di bawah siku lalu yang satunya terkoyak hingga menampakan setengah lengannya. Tas kulit kecil panjang berwarna senada dengan celananya masih menyelempang di tubuhnya meski tali sebelah kiri hampir putus. Tangan kanannya memakai gelang tali berwarna merah muda lalu tanpa alas kaki. Rambut berwarna merah kecokelatannya diikat menggunakan tali atau mungkin karet berwarna hitam. Tidak, dia bukan penjahat... hati kecilnya berbisik kini.
Jalanan ini gelap, apalagi arah jalan yang dipilihnya itu. Udara Bogorpun terasa makin menggigit tengah malam begini. Anggap saja benar wanita itu kurang waras, membiarkannya sendiri hanya akan kembali mengantarkannya kepada kejadian yang seperti tadi lagi. Pierre menghembuskan napasnya dengan kasar lalu mengejar gadis itu.