Menjadi ayah tunggal, apalagi ayah dari seorang anak yang bukan merupakan darah dagingnya sendiri tentu saja itu adalah hal sulit. Namun bagi Raga—hal itu sama sekali tidak sulit. Dia malah menyukainya. Dia menyayangi Hiro, pun sebaliknya.
Bulan-bulan pun berlalu menjadi tahun. Dia sudah terbiasa dengan anak kecil yang sudah fasih memanggilnya papa itu.
"Hiro berangkat ke sekolah dulu ya, Pa!" pamit Hiro pada Raga.
Raga baru saja mengantarkan Hiro sampai di depan apartemen di mana bus sekolah biasa menjemput Hiro.
Anak itu melambaikan tangannya pada Raga sangat senang. Dia bangga pada ayahnya itu.
"Hati-hati di jalan, dan jangan nakal. Dengerin apa kata ibu guru, oke." Raga mengusak kepala anaknya dan memberikan salam pada guru TK Hiro.
"Hiro, gak nakal kan, Bu?" tanya Raga ketika guru itu masih menunggu satu anak yang suka telat untuk datang ke bus jemputan.
"Gak kok Pak, Hiro pintar terus pandai bergaul sama temen-temennya," jawab Inka. Guru dari Hiro tersebut.