Chika sudah siap dengan tas sekolahnya. Ia memang sengaja bangun lebih pagi lagi karena harus menunggu angkot di jalan dekat komplek rumahnya.
"Non Chika udah siap?" tanya bi Sari.
"Udah kok Bik! Tumben bibik nanya gitu?" heran Chika.
"Itu lho Non, di depan udah ada yang nungguin!" ujar bi Sari.
"Hah? Siapa Bik perasaan Chika gak ada janjian sama siapa-siapa?" tanya Chika.
"Nanti Non Chika juga bakalan tau. Udah sarapan dulu!" ucap bi Sari.
Chika pun akhirnya hanya memakam roti berselai coklat dan sedikit meminum susu. Rasanya sudah sangat kenyang, di tambah lagi ia penasaran dengan siapa yang menunggunya di depan.
"Elo?" ujar Chika.
"Iya," jawabnya.
"Kan gue gak minta buat di jemput Dit!" cetus Chika.
"Iya bukan elo yang minta di jemput, tapi ayah elo yang nyuruh guw buat jemput lo!" jelas Radit.
"Ihh, Ayah kok gak bilang-bilang sih!" batin Chika.
"Ohh, gitu!" Kelakar Chika. Ia sebenarnya malu karena udah nyolot duluan. Tapi ya gimana lagi ia sangat terkejut dengan penampakan pagi ini.
"Wooi, mikir apa sih? Ayo berangkat, keburu telat ntar," cetus Radit.
"Ehh, enggak kok! Ya udah yuk berangkat!" jawab Chika.
Gadis itu pun naik ke atas motor sport milik Radit. Lumayan tinggi memang, namun ia masih bisa menjangkaunya.
"Tumben bawa motor beginian sih Dit!" protes Chika.
"Ya biar kelihatan keren gitu, apa lagi hari ini kan boncengin anak terpandai satu kelas!" canda Radit yang mendapat capitan panas di pinggang.
"Ngawur kamu, gak juga kali. Banyak kok di kelas kita yang pandai," ujar Chika.
"Tapi yang terpandai itu kamu Chik," kekeh Radit.
"Terserah ah, gue mau menikmatin pemandangan yang indah di pagi ini," oceh Chika.
"Terserah deh, alay lo!" ejek Radit.
"Bukan alay Dit, kan ini salah satu nikmat Tuhan yang tercipta setiap pagi! Harus di nikmatin dong!" bela Chika. Gadis itu tidak mungkin mengalah begitu saja akan perdebatannya dengan Radit.
"Kalah mulu gue kalau ngomong sama elo," ujar Radit.
"Makanya jan ngomong ama gue," cercanya.
"Ye, ya kali gue kayak ngeboncengin patung gitu diem aja!" sungutnya.
"Ya anggap aja gue patung cantik gitu," cetus Chika.
"Mana ada sih patung cantik, misal ni ya warna mukanya putih terus yang lainya item kan aneh Chik, Hahaha!" timpal Radit.
"Yeeh, kok gitu sih? Ya kan ada kali patung ala princes gitu!" gerutu Chika.
"Hahaha, canda kali Chik!" ujar Radit.
Mereka telah sampai di Sekolah. Dan yang paling heboh adalah Dita saat mwlihat sahabatnya itu berangkat sekolah bareng Radit.
"Cieee, habis di anter pulang terus sekarang di jemput!" goda Dita.
"Apaan sih Dit, cuma kebetulan lewat aja kok!" jelas Chika.
"Ah masak! Kebetulan apa emang sengaja?" tanya Dita penuh introgasi.
Dan Chika yang merasa bahwa dirinya di introgasi pun nyelonong gitu aja ke kelas tanpa menanggapi ocehan sahabatnya.
"Chika, tungguin napa!" omel Dita. Ia kemudian berlari mengejar Chika.
"Ngoceh aja sih lo!" cerca Chika.
Gadis dengan kepang dua itu pun terus mengejar sahabatnya yang terus melangkah.
Sampai di kelas Dita langsung mengomel pada Chika.
"Lo tega ya, udah di tungguin juga main ninggal gitu aja!" protes Dita. Ia sedikit meninggikan suaranya.
"Ya habis nyerocos terus sih, makanya gue tinggal," jawab Chika santai.
"Awas lo ya," ancam Dita. Kemudian ia mengelitiki perut Chika hingga keduanya pun tertawa.
"Ampun Dit, ihh geli!" ujar Chika.
"Biarin, biar kapok!" sungut Dita.
"Ampun, iya janji gue gak bakalan gitu lagi, janji gue!" ucap Chika.
Dita pun baru menghentikan aktivitasnya. Keduanya masih sama-sama terbahak. Dan waktu ini tak ingin mereka cepat berlalu.
"Semoga selalu seperti ini ya Dit, jangan pernah ada dusta diantara kita," tegas Chika.
"Iya Chik, semoga malaikat persahabatan selalu berpihak pada kita. Gue sayang banget sama elo!" ujar Dita tulus.
Harapan Chika memang keutuhan persahabatan mereka. Meskipun kini ia tau kalau ia dan sahabatnya telah mencintai lelaki yang sama.
Dan Chika memilih untuk memendam perasaanya demi tetap menjaga persahabatannya.
Meskipun sesungguhnya hati itu tidak bisa berbohong walau mulut berkata tidak. Hati adalah bagian dari diri manusia yang paling sensitif dengan yang namanya perasaan.
"Oh iya Dit, nanti istirahat lo mau ke perpus gak?" tanya Chika.
"Enggak ah Chik, gue ada janjian sama temen yang lain mau ke kantin. Sekalian intip doi," jawabnya.
"Oh gitu, udah lupa lo ya sama buku!" ujar Chika sedih.
"Ya enggak gitu Chik. Cuma gue kan mau suasana baru aja," jelas Dita. "Lagian kan di rumah aku masih baca buku," imbuhnya.
"It's okay! Itu keputusanmu Dit. Semoga lo gak terpengaruh dengan pergaulan ya gak baik ya Dit," saran Chika.
"Iya Chik, lo tenang aja. Gue pasti bisa kik jaga diri baik-baik," ucap Dita yakin.
Dita bukannya menjauh dari Chika, hanya saja entah mengapa belakangan ini ia merasakan hal beda saat dekat sama Chika.
Ia merasa kalau saat ini Chika itu saingannya untuk mendapatkan cinta Alex, maka itu ia berusaha tidak terlalu dekat dengan Chika.
Karena dekat dengan Chika membuat sudut hatinya terasa nyeri.
"Lo gak papa kan Dit? Sory kalau kata-kata gue bikin lo tersinggung!" ujar Chika.
"Enggak kok Chik. Santai aja lagi, gue cuma lagi mikir aja! Kalau suatu saat nanti kita jatuh cinta pada cowok yang sama kira-kira persahabatan kuta bakal kaya gimana ya?" jelas Dita.
Chika gugup saat pernyataan itu terlontar begitu saja dari mulut Dita.
"Ya semoga aja kita bisa menyikapinya dengan bijak. Karena buat gue itu persahabatan lebih penting dari cinta!" ucap Chika menjawab pernyataan Dita.
"Semoga saja ya Chik, tapi lo gak suka kan sama Alex?" tanya Dita.
"Enggak lah, ngapain gue suka sama Alex. Kita dekat itu karena jabatan kita aja," jelas Chika. Gadis itu sedikit terkejut dengan pertanyaan Dita. Namun sebisa mungkin ia tidak boleh memberikan respon yang membuat Dita curiga dengan jawabannya.
"Baguslah, ya masak kita mau berebut sih!" cetus Dita.
"Nah bener, kaya gak ada cowok lain aja!" tambah Chika.
Hatinya mendadak sakit, sebelumnya ia tidak pernah mengira jika dirinya akan merasakan hal semacam ini.
Sakit yang biasa ia rasakan adalah hanya ketika ia rindu dengan ibunya namun sang ibu tidak mau meluangkan waktu untuknya.
Namun kali ini beda, sakit hati karena cinta yang harus terpendam itu sangat sakit. Apalagi setiap hari ia harus berhadapan dengan orang tersebut.
Melihat senyumnya setiap hari, melihat caranya memandang kita yang memiliki arti yang beda.
Dan Chika sangat yakin kalau Alex pun memiliki perasaan yang sama dengannya.
Namun kembali lagi kepada persahabatannya dengan Dita.
Ia tidak ingin hancur begitu saja persahabatan yang sudah setahun berjalan tanpanya ada masalah di antara mereka.