Duduk di bawah pohon besar, anak perempuan dengan rambut pirang itu terus meneteskan air matanya. Wajahnya ditekuk dalam-dalam. Tangannya terus meremas-remas gaun berwarna merah yang dikenakannya.
"Kami semua mencarimu, Lois," celetuk anak peremupuan lain yang berambut ikal coklat, mendatangi pohon itu sambil menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung. Ekspresinya untuk anak seusianya.
"Padahal, aku sudah sangat menantikan pesta ulang tahunku, Lyra! Kenapa mesti dibatalkan! Aku sudah menyiapkan gaun yang cantik! Aku ingin semua orang datang ke pestaku!" gerutu Lois kecil, makin memajukan bibirnya.
Lyra kecil sedikit menghela napas. "Kan, ayahmu sudah bilang, sekarang bukan saat yang tepat untuk berpesta. Di bagian lain negeri ini, kaum bermata hazel dan amber baru saja diserang. Banyak dari mereka yang meninggal dunia."
"Aku tahu ...." Lois memain-mainkan jarinya. "Tapi ...."
"Umur kamu memang baru sepuluh tahun. Tapi, sebagai bangsawan, kamu seharusnya lebih peka dengan situasi yang ada," ujar Lyra dengan nada datar. "Lagipula, pesta ulang tahunmu itu bukan dibatalkan, tapi ditunda."
Serta-merta, Lois kecil menggembungkan mulutnya. Ia bersedekap dan tak mau memandang Lyra.
Lyra mengeluarkan satu buket bunga dari belakang punggungnya. "Ini."
Mata Lois langsung berbinar melihat berbagai macam bunga warna-warni yang dirangkai sedemikian rupa di buket itu.
"Ini hadiah dariku. Ayo pulang, ibumu sudah menyiapkan pesta kecil-kecilan dengan para penghuni rumah." Lyra menyodorkan buket bunga itu dengan ekspresi yang sama sekali tidak berubah.
Perlahan, Lois menerima buket bunga itu, memandanginya sejenak. Bukannya berterimakasih atau sekedar tersenyum senang, ia malah memajang ekspresi mau menangis yang jelek sekali.
"Huaaaaa!!!"
***
Membuka matanya di atas tempat tidur, Lois mendesah pelan. Sudah lama sekali kenangan masa kecilnya itu tidak muncul di mimpinya.
Lois turun dari tempat tidur tanpa mengenakan selembar benang pun. Ia berjalan ke salah sudut kamar yang luas itu, sama sekali tak berniat untuk berbusana. Ia menelengkan kepala, mengamati refleksi dirinya sendiri di cermin. Jari-jemarinya memijit-mijit ringan beberapa bagian tubuhnya yang melekuk indah itu. Sesekali matanya berkedut. Ada beberapa yang masih terasa nyeri. Efek ledakan semalam belum sembuh benar.
Ia lalu berpindah ke sudut lain untuk membuka jendela, membiarkan angin sejuk dan cahaya matahari menerpa kulitnya. Sudah terlalu siang. Semalaman dia tidur larut karena terus memikirkan Lyra.
Bidadari itu menguncir rambutnya, kemudian mulai melakukan peregangan tubuh, masih tanpa mengenakan busana. Setelah itu, dia mulai melakukan push-up. Dadanya yang belum terlindungi apa-apa bisa merasakan dinginnya lantai ketika tubuhnya turun.
Dulu, pelajaran beladiri pertamanya adalah push-up yang benar. Lyra langsung bisa melakukannya karena sebelumnya sudah sering berlatih fisik di desa. Sangat berbeda dengan Lois yang kesusahan dan cuma bisa menangis karena kalah dengan Lyra. Karena kejadian itu, Lois jadi terus mengikuti porsi latihan Lyra. Lois tidak mau kalah lagi dengan saudari angkatnya tersebut.
Sang ayah yang sebelumnya memaksa Lois ikut beladiri jadi khawatir. Beban latihan Lois terlihat begitu berat layaknya penggemblengan prajurit militer. Padahal, ayah Lois cuma ingin anaknya terlihat kuat dan tidak manja di depan publik. Namun, Lois tetap bersikeras untuk berlatih seperti Lyra.
Namun, itu dulu. Ketika Lois masih kekanak-kanakkan. Ketika dirinya selalu ingin menang sendiri.
Lois sudah menjadi petarung tangguh. Semuanya berkat Lyra. Kalau tidak ada Lyra yang ingin disusulnya, Lois yakin dirinya hanya akan menjadi putri bangsawan yang manja, hanya duduk-duduk minum teh, membicarakan hal yang tak penting antar sesama putri bangsawan, dan nantinya akan dijodohkan dengan putra bangsawan lain.
Kalau tidak ada Lyra, Lois tidak akan tahu potensinya sendiri. Lois tidak akan tahu bahwa mendorong diri sendiri sampai ke batas terakhir itu bisa menimbulkan kebanggaan tak terkira.
Cukup lama melakukan push up, Lois akhirnya bangkit. Pandangannya kembali terpaku kepada cermin, mengamati tubuh langsingnya sendiri yang kini dihiasi banyak aliran-aliran peluh berkilau.
Setelah melakukan beberapa gerakan olahraga dan latihan pernapasan, Lois pergi mandi. Kemudian, ia turun ke bawah dengan celana jeans panjang, tank top hitam dengan belahan dada rendah, serta jaket kulit hitam mengilat yang disampirkan di bahu. Sebenarnya, ia merasa sangat tak nyaman dengan celana panjang itu. Namun, Marcel selalu memaksanya memakai celana panjang bila bepergian menggunakan sepeda motor.
Padahal, lipatan di selangkangan itu daerah rawan jamur dan bakteri, sehingga memerlukan sirkulasi udara yang cukup. Dia masih tak habis pikir, kenapa orang-orang—bahkan sebagian di dunianya—malah bersikeras bagian itu harus ditutup.
Ia memakan roti bakar yang disediakan asisten rumah tangga Marcel, lantas pergi keluar dengan mengendarai motor sport merah pemberian tuannya. Kalau Marcel bekerja seperti ini, dia lebih suka pergi saja mengeksplorasi kota. Membosankan kalau cuma berdiam diri di rumah.
Dan Lois sangat menyukai motor bertenaga besar itu. Sensasinya sangat berbeda dengan melompat dari rumah ke rumah. Ia bisa merasakan tarikan liar yang tak bisa ditemui di dunia asalnya, diiringi pula dengan suara knalpot yang gahar. Angin yang dirasakannya juga terasa berbeda dari sekedar melompat-lompat.
Kuda besi. Menurut Lois adalah salah satu nilai plus dari dunia ini.
Bidadari itu terus melaju, sesekali membalas pandangan pria-pria yang berhenti di lampu merah dengan senyum sedikit menggoda. Melihat ekspresi mereka yang bak orang mabuk setelah melihatnya adalah hiburan tersendiri bagi bidadari itu.
Ketika mulai bosan berkendara, ia akan berhenti. Tujuannya kali ini adalah sebuah kafe dengan arsitektur penuh warna. Begitu masuk, ia tak langsung duduk dan lebih memilih untuk memandang berkeliling sejenak. Tersenyum tipis, ia pun akhirnya menghampiri sekelompok pemuda yang sedang mengobrol di salah satu meja.
"Sttt ..." Salah satu pemuda menyikut temannya. Kepalanya mengedik ke arah kedatangan Lois.
Teman-teman pemuda itu langsung terkesiap melihat Lois yang tampak seperti berasal dari luar negeri.
"Hai," sapa Lois, memberikan senyumnya yang memesona.
***
"Kamu mau ke mana, Rava?" tanya Lyra kepada Rava yang sudah rapi memakai celana jeans dan kemeja.
"Mau ketemu temen," jawab Rava, tengah berjalan di ruang tengah rumah kontrakan.
"Ada urusan apa dengan temanmu itu?" Nada bicara Lyra terdengar sedikit tajam.
Ione dan Stefan yang sedang duduk di sofa dan memainkan ponsel masing-masing langsung melirik dua orang itu.
"Temenku nawarin kerjaan." Rava menggaruk rambut. Keningnya sedikit mengerut. "Emangnya kenapa, sih? Terserah aku dong mau ke mana dan ngapain?"
Lyra mendatangi Rava dan mendekatkan mukanya ke wajah tuannya itu. Merasakan napas lembut Lyra di pipinya, Rava pun mundur, merasa salah tingkah.
Tidak seperti biasanya, Lyra sedikit mendelik. "Aku ikut."
"B-buat apa? Aku ...."
Lyra makin mendekatkan wajahnya, membuat Rava makin grogir.
"A-ku i-kut." Intonasi bicara sang bidadari jadi penuh penekanan.
Stefan dan Ione masih saja memperhatikan mereka.
"Iya, iya! Jangan deket-deket gitu, ah!" Rava menjauh dengan muka memerah, kemudian mendekati Ione dan Stefan. "Mas Stefan, Ione, aku pamit dulu."
Ione manggut-manggut penuh arti, sementara Stefan mengacungkan jempol dengan ekspresi yang susah dijelaskan. Rava kembali menggaruk rambutnya kebingungan, tapi memilih tak berkomentar dan melanjutkan langkahnya. Lyra membuntut di belakang pemuda itu.
Stefan dan Ione menunggu sampai pintu depan rumah ditutup.
"Kayak suami istri, ya?" ceplos Stefan.
Ione terkikik. "Kamu menyangka tidak, ternyata Lyra yang terkesan dingin itu ternyata bisa cemburu?"
"Roknya jangan ditarik ke atas begitu!" Rava berseru dari halaman rumah. "Jadi kelihatan semuanya, kan!? Eeh! Duduk di motornya miring aja!"
"Duduk miring bagaimana!? Tempat duduk ini kelihatannya tidak dirancang untuk duduk miring!" protes Lyra, tak kalah kerasnya.
Stefan bangkit, berniat lari, hendak melihat apa yang terjadi di halaman, tetapi Ione keburu menarik bajunya. Stefan pun terlempar ke sofa kembali, mendapatkan senyum lebar penuh arti dari Ione.
Tak berapa lama, Lyra melewati Ione dan Stefan dengan langkah cepat. Helm buluk dengan stiker kambing bohay sudah nangkring di kepalanya. Tanpa berbicara sama sekali, memasuki kamarnya sejenak, sebelum akhirnya keluar. Rok selutut kasual yang tadi dipakainya telah berganti dengan hot pants jeans. Kali ini hot pants-nya normal saja, tidak terlalu pendek seperti bekas milik kakak Rava dulu.
Begitu Lyra hilang dari pandangan, Ione dan Stefan saling bertukar pandang, lantas tertawa bersama.