Seperti biasanya, pemuda kurus itu duduk di hadapan komputer. Pandangannya yang agak sayu terhujam ke portal berita yang dibukanya.
"… Sekelompok orang kembali mengalami fenomena yang cukup viral akhir-akhir ini. Mereka merasakan waktu berjalan dengan begitu cepat. Salah satu saksi mengatakan bahwa dia baru saja mengecek jamnya yang menunjukkan pukul 10.05 pagi, tapi tiba-tiba berubah menjadi 11.25. Keadaan juga sudah benar-benar menjadi siang dengan panas yang terik. Lalu, bangunan-bangunan di sekitarnya juga sudah mengalami kerusakan. Ada juga beberapa orang yang tiba-tiba terluka, bahkan meninggal dunia.
Menurut para ahli, tubuh dan pikiran orang-orang itu sebenarnya membeku dalam durasi tertentu. Mereka jadi tidak merasakan berjalannya waktu. Dalam durasi tersebut, terjadi sesuatu yang membuat kerusakan dan melukai orang-orang …"
Pemuda itu menggaruk-garuk rambutnya yang agak keriting dan berantakan, kemudian membuka tautan lain di portal berita tersebut.
"Penampakan sosok manusia yang melompat dari satu bangunan ke bangunan lain kembali terlihat di beberapa tempat. Sama seperti sebelumnya, mereka menggendong sosok lain dan pakaian mereka terlihat seperti busana perang …."
Menguap begitu lebar, si pemuda meregangkan tubuhnya. Tadi, teman grup chatnya kaget karena dia tak mengetahui fenomena-fenomena tersebut, yang sebenarnya sudah cukup lama viral. Ya, fenomena itu memang tak bisa dijelaskan. Barangkali juga cukup menarik untuk beberapa orang. Namun, pemuda itu tak peduli. Memikirkan semua itu bukanlah sesuatu yang penting, kecuali berdampak langsung kepadanya.
Ia lalu meraih pena digitalnya, mulai melukis di tablet grafisnya. Lebih baik melanjutkan pekerjaan ilustrasi pesanan orang, daripada memikirkan hal yang tidak mendatangkan uang.
"Selamat malam, Tuan Rava."
Seketika saja, bulu kuduk pemuda bernama Rava itu meremang. Seharusnya, di kamarnya yang sempit dan berantakan itu, dia sendirian. Dari mana datangnya suara perempuan itu? Dari ibunya? Tidak mungkin. Suara barusan berbeda sekali dengan suara ibunya.
Perlahan, Rava menengok ke belakang. Sudah ada satu sosok perempuan semampai berkulit putih di kamarnya. Sosok itu memandang tajam dirinya.
Rava melongo, tak habis pikir. Kenapa bagian depan tubuh perempuan berambut cokelat ikal itu terlindung armor, sementara punggungnya tidak? Lalu, orang macam apa yang menggunakan rok cokelat panjang, tetapi dengan dua belahan luar biasa tinggi seperti itu? Itupun kalau masih bisa dibilang rok, bukan lembaran-lembaran kain yang disambung ke armor. Penampilan perempuan itu benar-benar seperti tokoh game RPG jepang yang terkadang lebih mementingkan penampilan daripada fungsi.
Dan yang lebih gila lagi, ada urusan apa perempuan yang kecantikannya begitu sempurna seperti tokoh di game-game online ini berada di kamarnya? Dengan logat orang Indonesia pula, padahal wujudnya jelas-jelas bule.
"Perkenalkan, namaku Lyra." Perempuan itu memperkenalkan diri sambil sedikit membungkukkan badan.
Rava berbalik ke komputernya, mengetikkan sesuatu di mesin pencari: 'penyebab orang berhalusinasi.' Begitu hasilnya muncul, dia segera memilah-milah artikel yang sesuai.
"Aku bukan ilusi, Tuan."
Rava berjengit hebat sampai berdiri dari kursinya. Suara perempuan itu begitu dekat di telinganya. Bahkan hembusan napas si perempuan sampai ke pipi Rava. Perempuan itu baru saja membungkuk dan mendekatkan dirinya kepada Rava. Terlalu dekat, ikut membaca apa yang Rava cari di internet.
Wajah Rava seperti diterpa hawa panas. Ia memalingkan muka. Bagaimanapun, pakaian wanita itu terlalu minim. Selain punggung dan paha mulusnya yang terbuka jelas, bagian samping payudara wanita itu pun agak terlihat. Apalagi waktu membungkuk seperti sekarang.
Rava bertanya-tanya. Apa wanita ini tidak mengenal yang namanya bra? Selain leher dan pinggang bawah, armor yang dikenakan wanita itu hanya ditahan dengan strap kulit yang melingkari punggung. Apa payudara wanita ini tidak sakit, terutama kalau tubuhnya bergerak? Bisa dikatakan, payudara yang ukurannya di atas rata-rata tersebut kan hanya ditutupi plat logam.
Rava menggeleng-gelengkan kepala. Dia mulai berpikir yang tidak-tidak. Lebih baik fokus ke pekerjaannya saja. Sambil menarik napas dan menghindari kontak mata dari wanita yang mengaku bernama Lyra itu, Rava kembali duduk di kursi plastiknya, hendak meneruskan ilustrasi. Mungkin dengan beraktivitas, ilusinya bisa hilang.
Dan saat itulah dia mendengar suara lain lagi. "Krauk … Krauk …"
Itu adalah suara kacang atom yang dikunyah, tetapi jelas bukan Rava yang memakannya. Rava menoleh ke sumber suara itu dan langsung mematung, menemukan sesosok makhluk bulat bertanduk yang tengah menikmati kacang atom dari bungkus plastiknya.
Rava mengedip-ngedipkan matanya. Apa pula ini? Makhluk aneh sedang menghabiskan camilannya?
"Perkenalkan, aku Piv," ucap makhluk itu dengan mulut penuh, lantas menunjuk Lyra dengan tangan kelincinya. "Dan dia ini nyata, kok. Kami dari dunia lain."
"Uwaaaaaaaaa!!!" Rava pun meloncat mundur sampai punggungnya menempel di tembok.
Terdengar bunyi derap cepat, kemudian ibu Rava pun melongok ke kamar Rava. "Ada apa, Rav!?"
"Dia cuma kaget dengan saya, Bu," jawab Lyra dengan nada biasa.
"Ooh, iya. Ini mbak Lyra, Rav," terang ibu Rava, sama-sama berbicara dengan nada yang biasa. "Mulai sekarang mbak Lyra bakal tinggal sama kita."
Mata Rava langsung membelalak. "Kenapa? Memangnya dia saudara kita? Kenalan ibu? Siapa dia?"
"Husss, kamu nggak sopan, Rav," timpal ibu Rava dengan mimik memperingatkan. "Bukannya wajar kalau ada orang yang ingin tinggal bersama kita?"
Rava cuma bisa melongo begitu mendengar jawaban super absurd itu. Berarti ibunya menerima perempuan dengan baju tempur minim ini hanya karena meminta untuk tinggal? Kegilaan macam apa pula ini?
"Kalau gitu udah dulu, ya. Silahkan kalian berkenalan lebih jauh. Kerjaan ibu masih banyak." Ibu Rava keluar dari kamar, hanya untuk kembali lagi. "Ah, mbak Lyra ini cosplayer, ke sini belum sempet ganti baju."
Bahkan saat ibunya sudah benar-benar beranjak dari kamar, Rava masih saja melongo. Ia sampai tak sempat menanyakan apakah ibunya itu melihat Piv.
Beberapa menit berlalu, Rava duduk kembali di kursi kusamnya. Dia mengatur napas, berusaha menurunkan degup liar jantungnya. Sementara itu, Lyra duduk bersimpuh di lantai.
"Ibu Sinta baik sekali …."
"Bukan masalah baik atau enggak!" potong Rava, terdengar histeris tetapi tetap menjaga volume suaranya. "Ya, ibuku baik, sih …. Bukan itu! Duh …. Kenapa ibuku jadi begitu?"
Piv melompat dan bertengger di pundak Lyra. Dengan suara cemprengnya, makhluk berbulu putih itu berkata, "Maaf, agar tidak terjadi kecurigaan mengapa ada bidadari di sini, kami harus memanipulasi pikiran ibu kamu, juga orang-orang di sekitar lingkungan ini."
Rava memijati keningnya yang sebenarnya tak dihinggapi pening atau nyeri. "Bidadari?"
"Ya, aku …. Kami adalah bidadari, Tuan. Paling tidak, itulah kata terdekat yang bisa kami temukan dalam bahasa kalian," terang Lyra.
"Kami? Berarti yang seperti kamu itu lebih dari satu? Apa tujuan kalian? Apa kalian berasal dari surga?" cerocos Rava. Sebelum Lyra menjawab, Rava berkata lagi. "Dan jangan panggil aku tuan. Kedengarannya aneh. Rava aja."
"Baik, Rava." Lyra mengangguk pelan. "Ya, kami datang ke bumi dalam waktu yang berbeda-beda. Total ada tiga belas bidadari yang datang. Asal kami bukan dari surga. Bisa dikatakan, kami datang dari dunia lain lewat portal antar dimensi."
"Yah, tapi dunia Lyra sangat indah, sih. Mirip sekali dengan surga," sambung Piv.
Sekarang Rava menatap Piv. "Kamu tadi bilang, pikiran ibuku dan orang-orang di lingkungan ini dimanipulasi, kan? Oleh siapa? Mengapa pikiranku tidak dimanipulasi untuk menurut kepada kalian kalau begitu?"
"Aku tidak bisa memberitahumu siapa yang melakukan manipulasi itu. Lalu, alasan pikiran kamu tidak ikut dimanipulasi .... Bahasa gampangnya, kalau pikiranmu dimanipulasi, maka aliran energi kehidupan dari diri kamu kepada Lyra akan terhambat. Kamu adalah sumber utama kekuatan Lyra."
Rava membisu sejenak dengan wajah tanpa ekspresi, kemudian menenggak sebotol besar air putih dingin yang ditaruhnya di meja. Cukup lama dia melakukannya, sampai minuman itu benar-benar tandas. Ia mengerutkan keningnya yang diserang nyeri cukup hebat. Minuman itu terlalu dingin untuk ditenggak langsung seperti itu.
Kemudian, ia menoleh ke arah dua lawan bicaranya, langsung berdecak kecewa ketika mendapati mereka masih ada.
Dirinya sumber kekuatan Lyra? Energi kehidupan? Seperti Mana yang digunakan penyihir di cerita fantasi? Dirinya penyihir? Atau mungkin calon penyihir? Lalu apa? Dirinya akan mendapat surat panggilan dari sekiolah sihir di luar negeri?
"Sebelum menerangkan tujuan kami, aku mau bertanya," Lyra bangkit dari lantai. Tatapan matanya masih terhujam tajam kepada pria itu. "Apakah kamu punya keinginan besar, Rava?"
Rava menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kuat-kuat. "Aah, jadi kalian tiga belas bidadari akan bertarung, lalu keinginan pemenangnya bakal dikabulkan? Terus, ada orang-orang seperti aku yang bakal dijadikan master …. Atau tadi kamu sebut sebagai tuan. Para tuan ini akan mendampingi kalian dalam bertarung? Kalian tahu ini seperti apa? Ini seperti gabungan antara acara superhero jepang jaman dulu dan salah satu judul anime terkenal."
Lyra mengerjap-ngerjapkan mata setelah mendengar celotehan Rava itu. "Aku tidak tahu apa itu 'anime' atau 'acara superhero,' tapi kesimpulan kamu itu benar. Hanya saja, hanya si tuan yang keinginannya akan dikabulkan. Bidadari yang menang akan menjadi ratu di dunia kami."
Rava memegangi keningnya lagi. Ia berharap jawaban ngawurnya itu dibantah. Ia tak percaya hal yang seharusnya ada dalam fiksi ini terjadi padanya. Apalagi yang akan menimpanya? Diserang monster? Mencabut pedang legenda? Pindah ke dunia lain? Menjadi makhluk kecil aneh berwarna biru yang bentuknya mirip agar-agar?
Saat akan menurunkan tangannya, Rava menemukan semacam tanda berbentuk tulisan pendek di lengan kanan bawahnya. Tanda berwarna cokelat muda itu menggunakan huruf yang samasekali tak dikenalnya. Ravalagi-lagi cuma bisa melongo. Semuanya makin absurd.
Piv melompat ke meja. "Dengan memencet tulisan itu pada saat bertarung, maka kemampuan khusus Lyra akan aktif. Tulisan itu artinya 'kecepatan.' Kalau kamu dan Lyra terus bertarung, maka lama-kelamaan ada kemampuan lain yang akan terbuka."
Untuk kesekian kalinya, Rava cuma melongo. Otaknya seperti akan meledak dijejali hal-hal tak masuk akal.
"Jadi, apakah kamu mau menjadi tuanku?" Lyra mengulurkan tangannya kepada Rava.
Memajang wajah tanpa ekspresi kembali, Rava mengamati tangan yang terbungkus sarung tangan putih milik perempuan itu. Alih-alih menjabatnya, ia malah berbalik dan kembali berkutat dengan komputernya. Tak lupa dia memasangkan headphone ke telinganya untuk mendengarkan musik jejepangan.
Tidak, ini pasti benar-benar halusinasi. Hati Rava masih berusaha menyangkal.
Piv kembali melompat ke pundak Lyra. "Sepertinya, dia sudah tidak mau mendengar kita, padahal masih banyak yang harus dijelaskan."
Menghela napas, Lyra kembali bersimpuh di lantai.