Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Jejak Bersamamu

Widi_Nuramalia
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.2k
Views
Synopsis
Penyesalan tidak pernah datang di akhir. Itu sebabnya segala kesempatan yang datang lebih awal harus di manfaatkan sebaik mungkin. Tuhan tidak menghadirkan seseorang dalam hidup sebagai hal yang sia-sia. Tuhan menghadirkannya di iringi kehendak yang membuat mu harusnya bersyukur walaupun tidak semua hal itu baik. Selamat jalan sayang, aku tahu ini hukuman. Bukan cobaan.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1 Hujan

"Hujan untuk beberapa orang garam adalah yang tidak sengaja tumpah ke bagian luka yang menganga. Padahal itu hanya air."

Sudah hampir satu jam wanita bernama lengkap Ansara Jingga Kusnadi itu duduk di depan sebuah warung kosong yang ada di pinggir jalan. Di duduk di antara dua bangku yang ada di sana, dengan satu bangku yang ada di sebelahnya di dudukki oleh pasangan kekasih. Cala-- begitu orang memanggilnya, beberapa kali melirik penghentian yang terliaht senang melihat hujan berdua tanpa mempedulikan apapun. Padahal jelas-jelas Cala tidak suka dengan hujan.

Bukan tanpa alasan seorang Ansara Jingga yang kuliah di jurusan sastra Indonesia, yang notabenenya di anggap sebagai mahasiswa-mahasiswi pecinta, hujan, senja dan hal-hal yang sebagian menganggap cringe, harus cinta pada hal-hal seperti itu. Alasan Cala tidak suka hujan, karena cadangan hujan adalah perusak mood. Jika sudah hujan dan dia sedang di rumah, Cala tidak akan melakukan apa pun yang berada di tempat tidur bersama selimut yang membungkus tubuhnya. Karena hujan juga, udara menjadi penyebab dingin, dan itu merupakan kerugian bagi Cala yang mempunyai reaksi dingin. Karena jika sudah begitu, dia akan tiba-tiba terserang Flu dan berakhir bersama puluhan bersin yang membuat nya lelah. Alasan lainnya, karena hujan pernah hadir seperti ikut kepergian dua orang laki-laki yang Cala cintai.

"Haaaachim!" Entah sudah berpbe kali Cala bersin. Hidungnya juga sudah mulai memerah dengan ingus yang terus keluar.

"Aish." Kesalnya dengan maniknya yang tak lepas dari hujan yang turun seperti mencegah Cala untuk pulang ke rumah dan memerintahkan Cala untuk tidur di emperan warung itu, kalau mati karena flu dan hipotermia.

Dari sebrang tempat yang Cala jadikan sebagai payung nya, Cala bisa melihat dua orang yang baru saja memberhentikan motor nya dan turun lalu sama-sama berteduh di sana. Lagi-lagi Cala bisa melihat bahwa mereka adalah pasangan kekasih. Cala bisa tahu dengan melihat bagaimana laki-laki itu mengusap kepala wanitanya yang terlanjur basah. Tapi apa daya, rusaknya ilusi yang di ciptakan sendiri. Mau di usap dua ribu kali pun rambutnya tidak akan kering! Tapi begitulah, asmara membuat semuanya seperti yang Anda inginkan, walaupun sebenarnya hanya fatamorgana sendiri. Haaaahhhhh rasanya Cala ingin segera pergi ke menstater motor Scoopy kesayangannya. Tapi dia mengingat laptop baru yang di belikan - Mas Evan - anak sulung Ibu dan Ayahnya yang berarti kakaknya.

"Halo." CALA menerima telepon yang masuk ke handphone nya dengan nama 'Bang Iki Geblek' tertera di layarnya.

"Lo dimana sih Dek? Mau nginep di kampus?" Tanyanya dengan suara toa yang membuat Cala harus menjauhkan handphone dari telinganya lalu mengkonfirmasikan wajah kesal dengan keinginan menjejali mulut Bang Iki dengan kaos kaki yang sekarang sedang di pakainya.

"Lo bisa gak sih Bang, ngomongnya pelan-pelan aja?" Kesal Cala.

"Jadi Lo di mana?" Tanya ulang. Tidak memperdulikan Cala yang sekarang ingin memilih handphonenya ke genanagg air yang ada di hadapannya.

"Gue di jalan, hujan. Jadi neduh dulu."

"Lo neduh di jalan? Pake apaan? Awas ketabrak." Katanya, lalu terdengar gelak tawa renyah dari sebrang sana yang membuat Cala kini Ingin menendang motornya sampai terbang jauh dan jatuh tepat di kepala Bang Iki.

"Udah deh, kalau gak penting gak usah nelpon." Kata Cala dengan nada malasnya.

"Yeee, gitu aja marah. Masih jauh ke rumah?" Tanyanya serius.

"Lumayan."

"Lumayan apa?"

"Lumayan jauh bego." Ketus Cala.

"Hahahaha siapa yang bego?" Goda Bang Iki yang memang terkenal jahil sejak masih jadi embrio.

"Lo! Udahlah gue capek ngomong sama Lo." Ketus Cala dan segera mematikan teleponnya secara sepihak.

Tanpa Cala sadari dua orang yang duduk di sampingnya memperhatikan Cala sejak tadi dengan tatapan aneh. Mereka tidak habis pikir ada wanita cantik yang teriak-teriak di telpon dan di pinggir jalan seperti itu. Bagaimana tidak, sejak awal menelepon, Cala yang terlanjur emisi karena ulah Bang Iki, menjawab semua pertanyaan kakaknya itu dengan suara toa nya juga. Sebenarnya tidak ada yang lebih baik dalam hal frekusfre suara di antara penonton, mereka benar-benar memiliki toa.

Cala benar-benar lebih benci jika hujan. Karena keadaan saat hujan selalu kesulitan seperti sekarang ini. Cala merotasi bola matanya setelah di dapati panggilan telpon masuk kembali ke handphonenya, menampilkan nama yang sama seperti sebelumnya.

"Apa lagi si bocah tengik." Gerutunya lalu segera meriject panggilannya. Dia tidak mau buang-buang tenaga karena merasa jengkel pada kakaknya yang menurutnya sudah tidak waras. Cukup dengan terjebak hujan sendirian di hari yang akan segera mulai gelap, dengan dua pasangan yang ada di samping dan sebarang matanya. Tidak ada panggilan masuk sekarang, tapi denting suara tanda pesan masuk terus terdengar.

"Kenapa sih gue harus punya kakak kayak dia." Keluhnya dan segera mengecek apa yang jadi isi pesan yang di kirim Bang Iki terus menerus.

Cala membacanya dan isinya hanya kalimat ANGKAT TELPON GUE SEKARANG dengan format pengiriman yang di eja, Dikirim huruf per huruf. Setelah Cala membacanya dengan emosi yang kian membuncah, Satu panggilan kembali masuk dan nama 'Ibunya aku' muncul membuat emosi Cala mereda.

"Hallo Bu?"

"Masih di mana Kak?" Tanyanya dengan suara keibuan nya yang benar-benar membuat emosi anak-anaknya langsung reda apabila dia sudah angkat bicara.

"Kakak di jalan Bu. Neduh dulu, lupa bawa jas hujan juga. Mau hujan-hujanan sayang sama laptop baru." Jawab Cala dengan tenang. Sangat jauh berbeda dengan Cala yang menjawab pertanyaan-pertanyaan Bang Iki tadi.

"Oh gitu, Yudah iya. Tungguin sampe reda aja dulu. Atau mau Abangmu antarkan jas hujan ke sana?" Tawar ibunya. Namun dengan cepat Cala menggeleng sempurna. Walaupun sebenarnya itu tidak berguna, Ibunya tidak melihatnya.

"Gak usah Bu. Gak apa-apa ini juga udah mulai reda ko. Bentar lagi Cala jalan." Jawabnya sambil melihat hujan dari akarnya yang memang sudah mulai menipis.

"Yaudah kalau gitu hati-hati yah. Ibu tungguin di rumah. Kamu bawa jaket kan?" Tanyanya khawatir. Karena tentu saja ibunya tahu,kesehatan anak perempuannya selalu bermasalah jika di hampiri hujan.

"Oke Bu. Iya aku bawa jaket ko Bu" Jawab Cala dan segera mematikan telpon setelah benar-benar mengatakan kata-kata yang panatas untuk mengakhiri percakapan di telpon dengan seorang Ibu.

Cala mengulurkan tangannya untuk mengecek kadar hujan yang turun. Tanpa dia sadari dua pasangan yang ada di samping dan sebrang matanya sudah pergi saat Cala menlpon dengan ibunya. Menyisakan penjaga warung yang ada di dalam. Cala bersiap untuk segera menaiki motornya setelah mengecek pesan masuk yang isisnya kegabutan Bang Iki yang mengatainya adik durhaka karena tiba-tiba telponnya sibuk begitu saja. Dia juga menawarkan jemputan dengan mobil peninggalan Ayah. Walaupun terdengar bodoh, karena bagaimana bisa, lalu motor Cala harus di kemanakan? Di tinggal begitu saja? Tapi itu bentuk kasih sayang Bang Iki pada adik perempuan satu-satu nya, dan dengan penuh kesadaran Cala juga mengetahui itu, dia benar-benar merasakan kasih sayang bodoh itu sejak dia mengingat dirinya sendiri sampai hampir di 21 tahun hidupnya di dunia. Dan Cala tetap merasa bersyukur.