Tidak terasa, Vero sudah dua pekan bersekolah, Vero sudah bisa beradaptasi dengan keadaan di sekolah, itu berkat bantuan Kirana.
"Kirana … soal PR tadi, aku belum paham, apakah kamu mau membantuku untuk mengerjakannya?" tanya Vero saat mereka tengah bersiap untuk pulang.
Kirana tampak berpikir sejenak, kemudian menatap wajah Vero yang menatapnya dengan tatapan puppy eyes. Membuat Kirana tidak tega melihatnya, hati Kirana saat itu juga leleh dengan wajah Vero.
Kirana menghela napasnya. "Baiklah, aku akan membantumu. Lalu, dimana kita akan mengerjakannya?" tanya Kirana dengan wajah bingung.
Sejenak Vero berpikir, dimana tempat yang nyaman dan cocok untuk mengerjakan tugas bersama dengan Kirana.
"Bagaimana kalau di danau yang tidak jauh dari sekolah kita?" tanya Vero.
Kemudian Kirana ikut berpikir sejenak, mengingat lokasi yang Vero maksud.
"Boleh…." jawab Kirana, setelah mengingat tempat itu memang cocok dan nyaman untuk mengerjakan tugas.
"Kalau begitu, ayo!" ajak Vero dengan semangat.
Kirana pun, tersenyum melihat Vero yang begitu antusias. Kirana membalasnya dengan sentakan penuh semangat.
"Ayo!"
Akhirnya mereka pun, berjalan menuju danau yang mereka maksud, yang tidak jauh dari sekolah mereka, dengan berjalan kaki.
Vero sudah menyuruh pamannya untuk tidak menjemputnya hari ini, sehingga dirinya bisa puas mengerjakan PR bersama Kirana.
Setelah berjalan beberapa menit dari sekolah, mereka pun sampai di danau yang airnya begitu terlihat jernih dan segar, di sekeliling danau itu, ada banyak pohon yang menjulang tinggi ke atas, tempat itu begitu sejuk, membuat siapa pun akan merasa nyaman bila di tempat itu.
Kirana nampak menghirup udara segar yang merasuk ke paru-parunya. Vero hanya menatap Kirana sambil memperhatikan wajah Kirana yang begitu mirip dengan bundanya.
"Aku sangat suka dengan suasananya," ucap Kirana, yang baru saja membuka matanya, setelah menghirup udara sekitar.
Seketika Vero langsung tersadar dari lamunannya, saat mendengar suara Kirana yang begitu ringan di telinganya.
"Syukurlah kalau begitu," timpal Vero.
"Ayo duduk di kursi itu," ajak Vero, sambil menunjuk sebuah kursi yang tidak jauh dari mereka berdiri.
Kirana pun mengangguk untuk mengiyakan ajakan Vero. Kemudian mereka berjalan menuju kursi tersebut.
Kini mereka telah duduk bersama, dengan diiringi dengan suara gesekan ranting-ranting pohon, dan angina yang terus membuat rambut Kirana berterbangan.
Vero yang sedikit risih melihat rambut Kirana yang terus nampak berterbangan karena angina cukup kuat pun, membuat tangannya refleks menyisipkan rambut Kirana ke belakang telinga Kirana.
Kirana yang sedang menulis beberapa materi yang akan membantu Vero untuk mengerjakan PR pun seketika menghentikan tangannya, kemudian beralih menatap wajah Vero yang juga tidak sadar dengan yang ia lakukan tadi.
Jadi lah, mereka bertatapan beberapa detik, kemudian mengalihkan pandangan masing-masing karena malu.
"Apa kamu sudah siap?" tanya Vero pada Kirana.
Kirana yang mendengar pertanyaan Vero, ambigu di telinganya pun, langsung mengerutkan keningnya.
"Siap untuk?" tanya Kirana dengan wajah bingungnya.
Vero balik mengerutkan keningnya, saat Kirana malah bertanya balik padanya.
"Bukankah kita akan mengerjakan PR?" tanya Vero
"Astaga … kenapa kamu bilangnya, ambigu tadi?"
Vero yang tidak paham dengan maksud ucapan Kirana pun, malah mengerutkan keningnya bingung.
"Aku tidak paham maksudmu," jawab Vero.
Kirana hanya mengembuskan napasnya pasrah, ia lebih memilih untuk mengakhiri pembicaraan itu, kemudian mengajak Vero untuk fokus mengerjakan PR sebelum hari begitu sore.
"Selesai!" teriak Kirana dengan semangat.
Membuat Vero ikut bersorak setelah itu.
"Ya … selesai!" sorak Vero.
Kirana yang melihat tingkah Vero yang aneh pun, tertawa sambil menutup mulutnya.
Setelah mengerjakan PR selama kurang lebih satu jam, akhirnya mereka kini bersiap-siap untuk pulang.
Vero menunggu bis di pinggir jalan bersama Kirana, saat bis yang menuju arah Vero sudah datang, Vero menolak untuk naik, padahal Kirana menyuruhnya untuk naik ke bis itu, namun Vero menolak, ia tidak mau naik bis sebelum Kirana naik bis lebih dulu.
"Tidak apa, Vero … naiklah bis lebih dulu," ucap Kirana, meminta Vero untuk naik ke bis menuju rumahnya.
"Tidak, aku tidak akan naik bisku, sebelum kamu naik ke bis," tolak Vero.
Kirana menghela napasnya pasrah. "Maaf pak, temanku tidak jadi naik," ucap Kirana meminta maaf pada supir bis.
Kemudian supir bis hanya mengangguk dan segera menancapkan gasnya, meninggalkan Vero dan Kirana yang masih berdiri di tempat tadi menunggu bis lewat.
"Kenapa kamu tidak mau naik ke bis tadi, Vero?" tanya Kirana dengan penasaran
"Aku tidak mau kamu kenapa-napa, apa lagi kamu seorang wanita, jadi aku akan menunggumu sampai kamu dapat bis," jawab Vero tanpa ragu.
Sedangkan Kirana yang mendengar jawaban dari Vero pun, langsung tersipu malu, pipinya seketika memerah saat itu juga.
Untung saja, bersamaan dengan merahnya pipi Kirana, bis yang menuju arah rumah Kirana datang, sehingga Vero tidak sadar jika pipi Kirana merona akibatnya.
"Bismu sudah datang," ucap Vero, sambil menoleh pada Kirana.
Kirana buru-buru mengangguk menjawab ucapan Vero, kemudian langsung naik ke dalam bis yang sudah ada di hadapannya itu.
Namun, saat akan menoleh ke belakang, Kirana mendapati Vero mengikutinya naik ke dalam bis, membuat Kirana mengerutkan keningnya bingung.
"Bukankah kamu akan pulang juga?" tanya Kirana dengan raut wajah yang bingung.
Kemudian Vero hanya menjawab pertanyaan Kirana dengan anggukan kepala, lalu melewati Kirana begitu saja, mendekati tempat pembayaran bis itu, kemudian menempelkan kartu bis miliknya.
Setelah itu, Vero langsung turun dari bis tanpa mengucapkan apa pun pada Kirana. Kirana yang mendapatkan perlakuan manis dari Vero pun, pipinya makin memerah, dan makin tersipu malu dibuatnya.
Kirana memegangi dadanya, karena jantungnya seperti berdetak lebih kencang, seperti akan copot.
Kirana tersenyum sendiri mengingat perlakuan Vero padanya.
Sedangkan Vero yang masih menunggu di tempat tadi, menunggu bisnya datang juga tersenyum mengingat ekspresi Kirana yang tampak kaget tadi.
Cukup lama Vero harus mendapatkan bis, bahkan mungkin saat Kirana sudah sampai di rumah, Vero baru naik ke bis. Namun tidak masalah untuk Vero, yang terpenting baginya adalah keselamatan Kirana.
Saat sampai di rumah, langit sudah berwarna jingga, bahkan saat ia memasuki pelataran rumahnya, mobil pamannya sudah terparkir dengan rapih di garasi mobil. Membuat Vero mempercepat jalannya untuk masuk ke dalam rumah.
Vero membuka pintu rumahnya perlahan, dan melihat ke sekeliling rumahnya, dan tidak mendapati pamannya.
Vero berjalan menyusuri rumahnya yang tampak sepi itu, namun tiba-tiba….
"Dari mana saja kamu, Vero?" tanya Rudolf yang mengejutkan Vero.
Vero terlonjak kaget sambil memegangi dadanya. "Paman," sentak Vero yang kaget dengan kedatangan pamannya.
Namun wajah Rudolf tampak seperti akan menginterogasi seorang penjahat, tangan Rudolf dilipat ke depan perutnya, membuat Vero sedikit ketakutan melihatnya.
"Kenapa baru sampai di rumah, dari mana saja kamu?" tanya Rudolf dengan sorot mata tajam.
Vero yang memiliki perasaan bahwa pamannya akan marah kepadanya pun, hanya menundukkan kepalanya pasrah.
"Aku habis mengerjakan PR bersama Kirana di danau dekat sekolah, paman … sedikit lama karena aku menunggunya sampai mendapatkan bis," jawab Vero dengan jawaban jujur.
Sedangkan Vero tampak tidak percaya jika Vero akan mengatakan dengan jujur alasan ia pulang telat ke rumah. Membuat Vero tidak jadi marah pada keponakannya itu.
"Astaga, Vero … kamu membuat paman khawatir," ucap Rudolf dengan nada yang sama sekali tidak terdengar seperti orang yang sedang marah.
Vero langsung mendongakkan kepalanya, menatap wajah pamannya.
"Kenapa kamu tidak mengabari paman?" tanya Rudolf.
Vero yang kaget dengan ekspresi pamannya yang langsung berubah saat ia menjawabnya dengan jujur pun, hanya terdiam.
"Besok kamu harus membawa ponsel, agar bisa memberi kabar pada paman," ucap pamannya.
"Benarkah, paman?" tanya Vero yang masih tidak percaya dengan ucapan pamannya.
Kemudian Rudolf menganggukan kepalanya sambil tersenyum pada Vero, seketika Vero pun, tersenyum lebar, dan memeluk pamannya.
Rudolf yang tidak menyangka akan mendapat pelukan dari keponakannya itu pun, mengerjapkan matanya berkali-kali, dan beberapa detik kemudian Vero melepaskan pelukannya.
Hari itu menajdi hari yang membahagiakan untuk keponakan dan pamannya, sudah lama mereka tidak merasakan kehangatan seperti itu.
Rudolf melihat ada perubahan yang terjadi dalam diri Vero, sehingga kini ia dapat lebih berekspresi dan menyampaikan perasaannya. Membuat Rudolf sangat bersyukur akan hal itu.