Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Melepaskanmu

Choco_0992
--
chs / week
--
NOT RATINGS
17.1k
Views
Synopsis
Semuanya terasa indah, terasa sempurna. Aku tidak menyangka akan segera menikah dengannya. Itu adalah hal yang aku inginkan sejak dulu. Menjadi pengantin Willy. Tapi, mimpi buruk itu datang...
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1

Willy menatap jam tangan yang melingkar manis dipergelangan tangannya kirinya. Sudah lewat hampir 15 menit dari waktu yang dijanjikan.

"Dia kemana, sih?" gumam Willy. "Tadi dia bilang kalau dia bisa berangkat sendiri. Tahu begitu aku jemput saja."

Disaat sedang ngedumel sendirian dibangku kafe, tiba-tiba sepasang tangan menutupi kedua matanya membuat penglihatannya gelap seketika.

"Coba tebak siapa aku." bisik pemilik tangan itu dengan suara lirih.

"Ratu ngaret," sahut Willy sambil mendengus kesal.

Aku menarik tanganku dari wajah Willy lalu memasang wajah cemberut mendengar cowok itu menjulukiku 'Ratu Ngaret'.

"Tega banget kamu bilang aku ratu ngaret," aku bersedekap lalu menghempaskan tubuhku ke kursi kafe dengan wajah lelah dan sedikit berkeringat.

"Memang kenyataan, kok. Ini sudah yang keberapa kali kamu telat."

Aku angkat bahu. "Mau bagaimana lagi. Aku kan naik bis dan jalanan macet, jadi ga bisa datang tepat waktu."

"Sudah tahu macet, dijemput tidak mau."

Aku tersenyum. "Kalau kamu jemput aku, kamu harus memutar, jadi lebih baik kita janjian seperti ini'kan."

Willy tersenyum mendengar alasan gadis dihadapannya ini yang selalu menolak untuk dijemput olehnya. Padahal dia selalu dengan senang hati menjemputnya dimanapun dia berada.

"Baiklah. Tidak ada yang bisa menolak permintaanmu bukan. Jadi mau berangkat sekarang?" tanya Willy.

"Oh baiklah. Yuk. Udah kesiangan, nih." kataku.

"Baru sadar kalau udah kesiangan?" sindir Willy.

"Ih, mulai lagi deh ungkit-ungkit." Aku berkacak pinggang.

Willy menghela napas. "Iya-iya. Yuk. Ayo kita berangkat." Willy menggamit tanganku kemudian mengikuti langkahnya dengan penuh semangat.

***

"Gimana?" tanyaku ketika keluar dari kamar ganti dan memperlihatkan penampilanku yang berbalutkan gaun pengantin berwarna putih bersih. Willy tercenung menatap kekasihnya yang sudah hampir 6 tahun dia pacari itu.

"Dia cantik," bisik Willy.

Aku menatap Willy yang tak kunjung menjawab dengan wajah tak sabar.

"Wil!" panggilku dengan suara sedikit keras. Suara keras Sherly membuat Willy membuyarkan lamunannya.

"Apa?" tanya Willy.

"Ini. Gimana?" ulangku.

Willy memasang tanda silang dengan tangannya yang artinya dia tidak setuju.

"Jelek," sahutnya cuek membuat aku manyun. Padahal menurutku gaun itu adalah gaun yang paling bagus diantara gaun yang lain.

Setelah itu aku mencoba mengenakan 3 gaun yang lain dan ditolak semua oleh Willy.

"Ih... mau kamu apa, sih? Aku udah nyoba 4 gaun dan semuanya kamu bilang jelek. Jadi aku harus pakai gaun yang mana?" tanyaku gemas.

"Yang pertama," jawab Willy sambil melemparkan pandangan jahil padaku yang hanya bisa melongo.

"Yang benar aja," desahku sebal. "Tadi kamu bilang jelek."

"Aku berubah pikiran. Kamu cantik kok pakai gaun itu," kata Willy dengan santainya.

"Ihhhhh... dasar rese....," Aku mencubit tangan Willy dengan gemas membuat cowok itu menjerit-jerit minta ampun.

***

"Sher, tolong gantiin aku bentar ya, kebelet banget nih." Aku yang sedang mengepel lantai didekat tangga segera menghampiri Nia yang sudah bersiap akan pergi dari depan kasir yang mulai ramai didatangi pembeli.

"Selamat siang, mau pesan apa?" tanyaku ramah.

"Lo mau pesen apa, Chan?" 2 orang pria dihadapannya sedang menatap papan menu yang terpampang diatas kasir, setelah berpikir beberapa saat, pria berkacamata disebelahnya memesan segelas kopi dan yang satunya memesan satu paket makan siang.

"Mohon tunggu sebentar ya. Pesanannya akan segera dibuat." Aku segera berbalik dan kearah dapur untuk menyiapkan pesanan 2 pria tersebut.

"Lo ga mau makan, Chan?"

"Ga usah. Gue masih kenyang."

"Silakan ini pesanannya." Aku memberikan nampan berisi pesanan mereka berdua, kemudian kedua pria itu pergi ke meja dipojok ruangan.

"Selamat siang, mau pesan apa?" tanyaku kepada pelanggan berikutnya.

"Sher, thanks udah gantiin. Sini biar gue aja," Nia kembali setelah menuntaskan keinginannya untuk buang air.

"Oke. Gue balik ngepel dulu ya," Aku kembali mengambil kain pel yang tadi aku letakkan dibawah tangga dan mulai mengepel lantai yang sedikit becek karena ada tumpahan air.

Tidak sedikit keringat yang mulai mengucur di keningku, meskipun udara didalam ruangan cukup sejuk tapi dengan aktivitas mengepel lantai atas dan bawah, membuatku sedikit kelelahan.

***

Willy tiba 10 menit lebih awal dari jam pulang kerjanya. Padahal Sherly sudah melarangnya namun Willy tetap bersikeras menjemputnya dan sekarang pria itu sudah berada diparkiran restoran sambil melambaikan tangannya kearah Sherly yang baru saja keluar dari resto bersama beberapa rekannya yang lain.

"Apa kamu tidak mau berhenti dari pekerjaanmu, sayang?" tanya Willy sambil matanya menatap jalanan yang padat merayap.

"Ah, pembicaraan ini lagi." batinku. Ini sudah pembicaraan yang kesekian kalinya dimana Willy memintanya untuk berhenti bekerja dan aku sudah mulai bosan membahasnya.

"Menurutmu?"

"Aku tahu kamu tidak akan mau." jawab Willy.

"Kamu sudah tahu kan jawabanku seperti apa."

"Tapi, apa kamu tidak mau mempertimbangkannya? Kita akan menikah dalam 2 bulan depan dan aku tidak mau kamu jatuh sakit karena kelelahan."

Aku tertawa mendengar alasan kekhawatiran Willy yang dirasanya tidak masuk akal.

"Aku baik-baik saja, Wil. Kamu pikir aku sudah bekerja disini berapa lama?"

Willy tersenyum. Dia lagi-lagi kalah oleh keinginan keras Sherly. Tapi...

"Aku ingin kamu pikirkan kembali," Willy mengusap-usap kepala Sherly dan kembali fokus menyetir.

Mobilnya menembus kepadatan kota Jakarta yang mulai agak lengang menjelang tengah malam.