Chereads / Miracle of Maple Leaf / Chapter 2 - 1 | Sosok di Sudut Ruangan

Chapter 2 - 1 | Sosok di Sudut Ruangan

Tolong tandai di komen kalo nemu typo ya, Gais!

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Pintu kamar sebuah ruangan terbuka. Jam besuk sudah berakhir dua jam yang lalu. Namun, tidak berlaku bagi pasien yang baru saja dipindahkan ke ruang rawat inap VIP itu.

Sepasang suami istri terburu-buru memasuki ruangan. Wanita berusia akhir tiga puluhan itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Air mata seketika berderai, membanjiri wajah.

"Kamu sudah sadar, Sayang?" tanya pria paruh baya di sana, mengusap cairan hangat yang baru saja meluncur dari kedua sudut matanya bergantian.

Seorang gadis yang tengah berbaring lemah di ranjang pasien mengerjap berulang kali, berusaha menyesuaikan pandangannya dengan pendar cahaya putih lampu yang menggantung di langit-langit. Wajar saja, sudah tiga bulan sejak terakhir kali ia membuka mata.

Gadis itu menarik napas dalam. Masker oksigen yang menutupi sebagian wajah tertutup uap putih-embusan napasnya tadi. Wajahnya mengernyit ketika jarum infus yang terpasang di lengan kiri terasa berdenyut.

"Ellena, ada yang sakit? Katakan saja pada Mama," ucap istri dari pria tadi. Napasnya masih terengah, beradu dengan waktu saat mendengar kabar bahwa putrinya telah sadar.

Ellena hanya memandang kedua orang itu tanpa menjawab pertanyaan. Tubuhnya masih terlalu lemas meski hanya untuk berbicara. Ia ingin mengangkat salah satu tangannya, tetapi tidak bisa.

Banyak peralatan medis yang menopang hidupnya selama ia tak sadarkan diri, membatasi pergerakan gadis itu. Menit berikutnya, dokter masuk untuk memeriksa sang pasien.

Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, pria dengan jubah putih panjang itu mengangkat kedua tangan Ellena bergantian secara perlahan, lalu beralih pada masing-masing lututnya yang ditekuk, guna merenggangkan otot-otot yang telah kaku, juga memastikan semua sarafnya masih berfungsi dengan baik.

"Ellena, kelihatannya semua baik-baik saja. Kamu bisa bicara?" tanya dokter lembut.

Manik cokelat gadis itu menatap setiap orang yang tengah memandangnya secara bergantian, lalu dengan satu helaan napas pendek, ia mencoba berbicara, "Ka-kalian ... siapa?"

Tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan sang putri, ibunya menggenggam erat tangan Ellena. "Ini Mama, Sayang. Ini Mama." Wanita itu mendekat, matanya yang sembap tak kuasa membendung kembali air mata.

"A-aku ... tidak ingat." Ellena kembali melemparkan pandangan nanar pada pria di samping wanita itu. Semua terasa asing baginya. "Aku ... di mana?" tanyanya lagi.

Usai menjalani pemeriksaan lanjutan, yakni tes kognitif, tes darah, CT scan, dan EEG, dokter menyatakan Ellena mengalami amnesia global. Dugaannya, amnesia ini hanya bersifat sementara.

Namun, siapa sangka, trauma dan stres berlebihan sebelum kecelakaan yang merenggut ingatan tersebut, membuat alam bawah sadarnya menolak mengembalikan memori itu barang sedikit pun.

Setelah apa yang orang tuanya lakukan, bagaimana mungkin air mata mereka menyambut dengan tulus anaknya yang baru saja terbangun dari koma?

"Itu siapa?" tanya Ellena lemah. Jarinya mengarah pada sudut ruangan dekat pintu.

Semua mengikuti arah tunjuk gadis itu.

"Tidak ada siapa pun, Sayang." Ibunya tersenyum, lalu membelai rambut sang putri.

Ellena memejamkan mata sebentar. Saat kembali membuka mata, sosok yang tadi, tak terlihat lagi. Ellena mendesah, rupanya ia salah lihat.

"Bagaimana aku bisa sampai begini?" tanya Ellena, meminta penjelasan kepada orang yang mengaku sebagai orang tuanya itu.

Merasa terjebak dalam sebuah pertanyaan yang tak mampu mereka jawab, perasaan bersalah menyelimuti pasangan suami istri yang tampak canggung tersebut.

Sepertinya mereka harus menghindarinya, mengalihkan sebelum mereka benar- benar sanggup untuk mengatakan sesuatu tentang kecelakaan itu. Sebab mungkin saja membuat kondisi Ellena kembali drop.

Ayah dan ibu Ellena ingin memudarkan segala kenangan itu. Walau mustahil dan menyakitkan, mereka harus melupakannya. Itu adalah yang terbaik saat ini, demi anak mereka yang kini menjadi satu-satunya.

Dengan hilangnya memori Ellena, mereka bersyukur bahwa Tuhan masih memihak. Seandainya waktu dapat berputar kembali pada setahun lalu, mereka pasti akan mempertahankan keutuhan keluarga sekalipun badai besar menghadang.

๐Ÿ‚๐Ÿ‚๐Ÿ‚๐Ÿ‚๐Ÿ‚๐Ÿ‚๐Ÿ‚๐Ÿ‚๐Ÿ‚