Chapter 4 - Bag 4

Ran menekuk wajahnya sambil melangkah ke luar restoran. Sementara Aryan yang berjalan di belakang Ran tersenyum geli melihat wajah merajuk Pumpkin-nya. Bukan tanpa alasan wajah Ran seperti itu. Ran ditinggal keluarganya saat wanita ini izin ke toilet sebelum mereka semua pulang. Setelah kembali dari toilet, Ran hanya menemukan sosok Aryan yang duduk di kursi yang sejak tadi diduduki pria itu saat pertemuan dua keluarga tadi. Saat Ran bertanya ke mana keluarganya, Aryan mengatakan jika ayah Ran menitipkan Ran pada pria tampan itu untuk diantar pulang.

Ran terkejut luar biasa, wanita itu langsung menghubungi ayah, mama, serta adiknya. Namun tak satupun dari mereka menjawab telepon dari Ran. Ran mendengus sebal, dan langsung saja pergi dari ruangan itu tanpa permisi pada Aryan.

"Mereka benar-benar!" gerutu Ran di sela langkah kakinya.

Setelah sampai di luar restoran, Ran menghentikan langkah, lalu berbalik sampai dirinya berhadapan dengan Aryan, pria yang kata Kania menjadikan Ran cinta pertamanya. Mereka saling berpandangan beberapa saat, sampai Aryan terbatuk kecil berusaha meredakan tenggorokannya.

"Mobilku di sebelah sa—"

"Sepertinya ini sudah sangat malam saya bisa menggunakan taksi atau kendaraan online Anda bisa langsung pulang saja, Tuan Aryan."

Aryan mengedipkan matanya beberapa saat karena ucapan Ran yang seperti kereta berjalan, tak ada jeda, kecuali di akhir kalimat saat wanita di depannya ini menyebut namanya.

"Permisi," ucap Ran kembali, karena tak mendapat jawaban dari Aryan.

Saat Ran ingin berbalik, Aryan mencekal lengan wanita berwajah dingin ini. Ran refleks menghempas tangannya, sampai tak sengaja wanita ini terdorong ke hadapan Aryan karena pergerakannya yang tiba-tiba. Tubuh Ran dan Aryan langsung saja bertabrakan, yang membuat mereka berdua saling diam beberapa saat karena sama-sama terkejut. Kedua tangan Ran mencengkeram kuat bahu kokoh Aryan, sementara kedua tangan Aryan melingkari pinggang ramping Ran. Deru napas mereka berdua sama-sama terengah. Jantung mereka berdetak kuat. Walaupun tidak saling berpandangan karena tatapan Ran lurus ke belakang Aryan, tapi mereka berdua tetap saja merasakan suasana yang tiba-tiba terasa panas di sekitar mereka.

Setelah sama-sama tersadar, mereka berdua saling menjauhkan diri. Dengan gugup Ran merapikan pakaian yang dikenakannya karena sedikit kusut, sementara Aryan mencoba menormalkan detak jantungnya yang menggila.

"A-anda itu bagaimana sih! Tidak perlu menarik tangan saya seperti tadi! Kalau kaki saya keseleo bagaimana?! Anda—"

"Maaf," lirih Aryan.

Ran menghentikan ocehannya saat Aryan menyela.

"Kaki kamu gak pa-pa?" tanya Aryan kembali. Matanya menatap pergelangan kaki Ran. Tercetak raut cemas di wajahnya.

Ran masih saja terdiam tanpa sanggup menjawab. Saat Aryan hendak berjongkok untuk melihat kondisi kaki Ran, Ran mundur beberapa langkah. "Ti-tidak perlu seperti itu. Kaki… ka-kaki saya tidak apa-apa," jawab Ran gugup. Sial! Kenapa dia harus gugup?! Dan lagi, kenapa pria di depannya ini terlihat aneh? Sikap pria ini sangat bertolak belakang dari saat tadi mereka baru bertemu di depan restoran untuk pertama kalinya. Ke mana sosok yang menggodanya tadi, yang dengan lancang mengedipkan sebelah matanya pada Ran? Setelah mengetahui Ran adalah teman sekolahnya dulu, pria ini lebih banyak diam, seolah ada beban berat yang dipikirkannya. Bahkan saat mereka makan malam bersama, hanya suara kedua orangtua mereka yang memenuhi ruangan VIP itu. Aryan dan Ran hanya akan bersuara saat pertanyaan jatuh kepada mereka.

"Kalau begitu, izinkan aku antar kamu pulang."

"Hah?"

"Buat nebus rasa bersalahku karena tadi kamu hampir jatuh."

"A-ehm… tidak perlu, Tuan Ar—"

"Panggil aja namaku tanpa pakai 'Tuan', aku kan bukan bosmu," ucap Aryan jenaka sambil tersenyum geli. Jantung pria ini sih memang deg-deg'an, tapi entah mengapa melihat kegugupan yang ditunjukkan Ran, membuat Aryan ingin menggoda wanita berwajah serius ini.

Wajah Ran semakin memerah mendengar suara Aryan yang sengaja menggodanya. Tak berapa lama, wanita ini mendengus kesal. Sepertinya sifat pria di depannya ini kembali ke asal.

"Sepertinya sudah semakin larut, dan saya harus segera pulang, dan saya tidak perlu Anda mengantar saya, Aryan tanpa pakai 'Tuan'," ucap Ran datar. Wanita ini segera berbalik untuk pergi dari hadapan Aryan seperti sebelumnya. Namun baru tiga langkah, wanita ini dikejutkan dengan sosok Aryan yang tahu-tahu saja sudah menghalangi jalannya. "Ada apa la—"

"Aku tetap harus antar kamu pulang kalau aku gak mau kena siksa mamaku. Tolong bekerja samalah. Lagipula jam delapan gak larut-larut banget. Usiamu bukan anak balita yang harus tidur jam delapan kan?" tanya Aryan, kembali menggunakan nada jahil seperti tadi sambil mengerling genit.

Ran kembali terdiam beberapa saat, karena terlalu terkejut atas sikap Aryan yang seakan menggodanya. Tak berapa lama, wanita ini meredakan tenggorokannya, lalu mengangkat dagu angkuh. "Saya bukan balita, tapi saya punya pekerjaan, dan kebetulan besok saya harus bangun pagi."

"Aku juga punya pekerjaan, dan aku juga harus bangun pagi karena ada rapat di kantorku."

"Tidak ada urusannya dengan saya, jadi Anda tidak perlu curhat sama saya!"

"Curhat? Seperti apa yang baru aja kamu lakukan?"

"Hah?"

"Kamu juga tadi curhat sama aku kalau kamu harus bangun pagi, masa aku gak boleh curhat juga sama kamu?"

Ran membolakan kedua matanya. Wanita ini sampai tak dapat berkata-kata saat mendengar ucapan Aryan. Siapa yang curhat coba! Dia kan hanya menjelaskan!

"A-anda—"

"Aku gak akan makan kamu kok, Pumpkin, walaupun pumpkin cukup menggiurkan untuk dimakan, apalagi kalau jadi kolak."

"Kolak?! Pumpkin?!" tanya Ran tak suka. "Nama saya bukan Pumpkin!"

"Oh oke, kalau begitu, Labu?"

"Labu?! Hey! Apa kamu selalu mengesalkan seperti ini? Jangan suka mengganti nama orang! Nama saya RAN! Ingat itu!" desis Ran tak suka. Tanpa sadar Ran sudah tidak bersikap formal lagi. Wajah galaknya semakin terlihat garang saat ini. Namun di mata Aryan, terlihat lebih mempesona dan… menggairahkan. Ugh! Sial! Celananya tiba-tiba saja menyempit.

"Aku kan memanggilmu dengan sebutan LABU sejak dulu, jadi lidahku gak bisa diajak kompromi buat ganti nama panggilan kamu."

"Ka-kamu… sa-saya—"

"Iya aku tahu kamu gak ingat sama aku," ucap Aryan dengan tatapan kecewa, namun pria ini segera merubah air mukanya seolah itu bukan masalah besar. "Lebih baik sekarang kamu ikut sama aku, supaya kamu bisa segera sampai rumah dan beristirahat."

"Sa—"

"Aku gak terima penolakan, Pumpkin."

"Nama saya bukan Pumpkin!" pekik Ran tak suka.

Aryan terkekeh geli. "Oke… oke… sebelah sini, Labu, mobil aku ada di sana." Aryan menunjuk sebuah mobil sport berwarna hitam. "Dan jangan lagi menolak, karena aku termasuk orang yang gak akan menyerah untuk mencapai tujuanku. Aku udah janji sama mamaku dan ayahmu, dan aku paling gak suka ingkar janji."

Mereka kembali saling tatap beberapa saat.

"Kamu… Ck! Mengesalkan!" Dari pada pembahasan mereka tidak selesai-selesai, Ran memilih berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir tak jauh di depan mereka, yang tadi ditunjuk Aryan.

Saat mereka telah sampai di depan mobil itu, Aryan membuka kunci otomatis, lalu hendak membukakan pintu untuk Ran.

"Saya punya tangan sendiri!" Ran segera menepis tangan Aryan, lalu membuka sendiri pintu mobil itu. Dengan segera Ran masuk tanpa peduli Aryan terbengong karena tepisan tangannya.

Ran yang sudah terduduk di tempatnya, menolehkan wajah ke samping, tempat di mana Aryan masih berdiri terpaku. "Saya sudah masuk mobil kamu, sekarang apa lagi yang mau kamu tunggu?!" desis Ran kesal. "Minggir, saya mau tutup pintu mobilnya!"

Aryan segera tersadar, lalu segera menyingkir sebelum dia terjepit dengan pintu mobilnya sendiri. Kam tidak lucu kalau tubuhnya yang khot ini jadi gepeng.

Tak berapa lama, pria ini terkekeh geli setengah kesal. "Gila ni cewek, makin galak aja setelah menghilang lama. Baru kali ini ada cewek yang gak mau gue bukain pintu mobil."

"Hey! Apa kamu akan berdiri terus di situ sepanjang malam, Aryan tidak pakai 'Tuan'?!"

Aryan segera berjalan menuju sisi mobilnya yang lain saat Ran membuka kaca mobil, dan mengomelinya selayaknya ibu yang gemas pada anaknya.

"Nyonya Pumpkin, lo bikin gue makin gemes aja," monolog Aryan dengan senyum lebar di sela

langkah kakinya.

***

Mereka menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, karena lokasi rumah Ran dan restoran itu lumayan jauh. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang membuka suara. Sebenarnya Aryan beberapa kali memulai pembicaraan, tapi Ran tak merespon dengan baik, bahkan Ran sibuk dengan ponselnya. Akhirnya Aryan menyerah, dan memilih fokus mengemudi.

"Terima kasih sudah mengantar saya." Ran membuka sabuk pengaman, lalu segera keluar dari mobil Aryan saat mereka sudah sampai di depan gerbang rumah Ran.

"Gerbang mau di buka, Non?" satpam rumahnya dengan sigap bertanya saat Ran sudah berada di depan gerbang yang terbuka sedikit setelah kedatangannya, karena melihat sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang.

"Tidak per—"

"Ehm… Labu…"

Ran menutup kedua matanya, mencoba menahan kesal saat Aryan sudah berada di belakangnya, dan kembali memanggilnya dengan sebutan itu. Ran berbalik, sebisa mungkin memasang wajah datar.

"Kamu tidak ada niat buat mampir kan? Ini sudah malam. Saya masih ingat kamu tadi bilang harus bangun pagi karena ada rapat."

"Wah… kamu perhatian ternyata." Mata Aryan berbinar saat mengatakan itu, membuat Ran melongo tak percaya.

"Kamu ini super percaya diri ya! Saya bukan perhatian, tapi saya adalah orang yang memiliki ingatan yang amat sangat bagus!" desis Ran kesal. Entah sudah ke berapa kalinya dia kesal hari ini, dan dengan orang yang sama.

Wajah Aryan seketika mendung. 'Punya ingatan amat sangat bagus, tapi kamu gak mengingatku sama sekali. Hebat sekali kamu, Pumpkin, bisa bikin aku si anti galau jadi galau 1000% saat ini!' seru Aryan kecewa luar biasa di dalam hati.

Ran memperhatikan perubahan wajah Aryan. Wanita ini bertanya-tanya di dalam hati, apakah dia menyinggung Aryan? Tapi jika dipikir-pikir, dia tidak mengatakan hal yang bisa membuat Aryan tersinggung. Kalaupun Aryan tersinggung kan bukan urusannya.

"Sebaiknya kamu pulang, karena ini sudah malam." Ran kembali berbalik untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Apa kamu benar-benar gak mengingatku?" tanya Aryan, yang membuat pergerakan kaki Ran terhenti.

"Aku yang suka ganggu kamu di sekolah dulu, setiap hari. Aku juga yang ganggu kamu saat kamu bantu nenek kamu jualan di depan rumahku. Aku—"

"Tentu saja saya mengingat kamu dengan jelas, bocah mengesalkan yang selalu mencari cara untuk duduk di sebelah saya saat kita sekolah hanya untuk mengganggu saya belajar, dan bocah yang selalu mencari cara untuk berdiri di samping saya saat kita upacara hanya untuk menarik-narik rambut saya."

Aryan membelalakkan mata terkejut. Jantungnya berdetak amat sangat kencang. Saat ini dia sudah berhadapan dengan Ran yang ternyata sudah berbalik ke arahnya.

"Ka-kamu… ingat se-semuanya?" tanya Aryan tak percaya.

***