Andrea beranjak menuju kasur Azka dan langsung merebahkan tubuhnya di sana. Ia tahu Fathan hanya ingin berdua saja dengan Azka meskipun tidak mengucapkannya. Sebagai wanita yang sangat pengertian Andrea tahu jika mereka berdua butuh privasi tanpa ada gangguan. Ia langsung menarik selimut sebatas dada dan mencoba terpejam membuat Azka dan Fathan saling bertukar pandang dengan heran setelah melihatnya beranjak tanpa suara.
"Kalian tinggal bersama?" tanya Fathan menatap penuh tanya pada Azka yang kini juga menatapnya dengan datar.
"Ada apa dengan Ashil?" tanya Azka balik membuat Fathan mendengus kesal.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Fathan mencoba mencari situasi yang nyaman untuk mulai bercerita pada Azka.
"Ayo bermain game," ajak Azka melihat Fathan masih ingin menenangkan diri.
Fathan mengangguk senang dan memilih game apa yang akan mereka mainkan. "Ayolah ceritakan padaku sejauh mana hubunganmu dengan Andrea?" Fathan memaksa Azka untuk berbicara.
"Apa sebenarnya yang ingin kau tahu?" kesal Azka karena Fathan rupanya tidak menyerah untuk membuatnya berbicara.
"Kau menyukainya," ucap Fathan yang lebih menjurus pada pernyataan.
"Jangan bicara sembarangan." Azka semakin kesal dengan Fathan.
"Kau mirip seperti budak. Bagaimana Andrea padamu?" Fathan suka sekali melihat wajah kesal Azka.
"Jaga bicaramu, kami hanya berteman." Azka berlalu meninggalkan Fathan.
Fathan menyusul Azka yang kini sedang sibuk menyalakan Play Stationnya. Ia pun dengan segera membantu agar Azka tidak semakin kesal padanya. "Kau yakin aku bisa menceritakan tentang Ashil sekarang?" tanya Fathan sambil melirik Andrea yang sedang terlelap.
"Dia bukan orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain," sahut Azka membuat Fathan mengangguk.
"Kau benar-benar memahaminya," ejek Fathan membuat Azka terkekeh.
"Aku hanya tahu lebih sedikit di bandingkan oranglain," jawabnya sembari memberikan stick epada Fathan.
Setelah permainan di mulai perlahan Fathan mulai menceritakan hubungannya dengan Ashil yang sudah tidak sama seperti dulu. Ia mengatakan bahwa kini ia sudah menikah dengan seseorang karena suatu keadaan yang tidak mungkin bisa ia atasi jika tanpa bantuan istrinya itu. Fathan tersenyum setelah mengakui bahwa gadis yang mungkin sekarang sedang menunggunya di rumah adalah istrinya.
"Kau menyayangi istrimu?" tanya Azka saat melihat Fathan terdiam cukup lama.
"Entahlah. Tapi aku sangat tidak suka melihatnya bersama dengan lelaki lain," jawab Fathan setelah menghela napasnya.
"Lalu bagaimana dengan Ashil?" tanya Azka saat melihat tatapan berbeda Fathan saat ditanya mengenai istrinya.
"Aku tidak tahu. Aku sudah tidak bisa bersamanya lagi," jawab Fathan membuat Azka menghela napasnya.
"Aku akan mendukung semua yang terbaik," jawab Azka membuat Fathan menatapnya. "Kalau kau memang bahagia bersama istrimu, tinggalkan Ashil," imbuhnya membuat Fathan tersenyum. Ada kelegaan yang ia lihat di mata sahabatnya itu. Azka tahu Fathan telah melewati banyak kejadian hingga menuntun lelaki itu berada pada titik saat ini.
Fathan akhirnya berpamitan setelah menyelesaikan satu kali permainan. Ia melihat jam dan ternyata sudah pukul 8 malam. Itu artinya ia sudah meninggalkan istrinya terlalu lama.
"Kenapa buru-buru?" tanya Azka.
"Alleta pasti sudah menungguku," jawab Fathan sembari mengambil jaketnya yang tergeletak di sofa.
"Alleta? Jadi itu namanya?" Azka bertanya sembari mengikuti Fathan keluar dari apartemennya.
"Ya. Aku akan mengenalkan kalian nanti," ucap Fathan sembari merangkul pundak Azka dan kemudian mereka terkekeh bersama.
"Berhati-hatilah," pesan Azka saat Fathan masuk ke dalam lift. Ia tidak mengantarkannya hingga bawah karena mengingat Andrea masih terlelap di dalam kamarnya. Ia pun segera kembali dan berjalan mendekati ranjangnya. Ia pun menyunggingkan senyum saat mendapati Andrea sangat nyaman bergelut dengan selimutnya. Tangannya pun terulur untuk merapikan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Andrea. "Cantik," pujinya tanpa sadar. Ia pun segera menggelengkan kepalanya. Azka kembali mengusap saying pucak kepala Andrea. Dengan perlahan tetapi pasti Azka mendekatkan wajahnya pada Andrea.
Cup
Satu buah kecupan manis akhirnya mendarat dengan sempurna di dahi Andrea. Azka menyunggingkan senyum tipisnya saat Andrea sama sekali tidak terusik dengan kegiatannya itu. Ia pun beranjak menuju dapur dan membuat hidangan ringan untuk gadis itu. Ia sangat yakin jika Andrea belum makan sedari siang. Ia pun menuju kulkas dan mengeluarkan sisa persediaan makanan. Ya, Azka memang belum sempat belanja kebutuhannya karena sedang banyak tugas di kampus.
Mencium bau harum masakan membuat Andrea menggeliat dari tidurnya. Ia pun segera beranjak menuju kamar mandi dan membasuh wajahnya. "Masak apa?" tanyanya saat sudah berdiri di samping Azka.
"Hanya ini makanan yang ada di kulkas. Apa kau mau yang lain? Biar aku pesankan," tanya Azka saat melihat Andrea yang masih menatap masakan yang telah ia buat.
"Aku makan apa saja yang ada. Jadi kau tidak perlu khawatir," sahut Andrea cepat saat melihat ekspresi Azka yang merasa tidan enak.
Azka mengangguk dan menyiapkan semua hidangan di atas meja. Ia tersenyum senang saat melihat Andrea lebih bersemangat dibanding dengan dirinya. Ia pun meletakkan piring dan gelas kosong di hadapan gadis itu. "Kau mau semuanya?" tanya Azka. Ia tersenyum senang saat Andrea menganggukkan kepalanya dengan antusias. Ia langsung bangkit mengambilkan minum setelah menyerahkan piring berisi makanan ke Andrea.
Mereka pun makan dalam diam. Azka sesekali melirik Andrea yang tetap lahap menyantap makanannya tanpa ada rasa canggung dan malu. Azka terkekeh melihat Andrea sangat berantakan. "Kenapa kau tidak bisa anggun sama sekali?" ucapnya sambil mengelap mulut Andrea dengan tisu.
Andrea mencebikkan bibirnya. "Apa kau tidak suka dengan cara makanku?" tanyanya penuh kesal.
"Bukan begitu. Biasanya kau selalu makan dengan anggun jika di luar," ucap Azka masih dengan kekehannya.
"Apa aku harus melakukannya juga saat bersamamu?" tanya Andrea dengan menaikan sebelah alisnya menunggu jawaban Azka.
Azka menggelengkan kepalanya. "Terserah kau saja. Asal kau nyaman," jawaban Azka membuah Andrea terkekeh pelan.
"Mana Fathan?" tanya Andrea sekalian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Kenapa dia cepat pulang?" tambahnya saat Azka tak kunjung menjawab.
"Ada urusan mendadak," jawab Azka mengisyaratkan ketidakinginannya membahas tentang Fathan.
"Masalahnya sangat rumit sepertinya." Andrea masih semangat membahas tentang lelaki itu.
"Bukan urusan kita," sahut Azka membuat Andrea mencebik kesal.
"Aku prihatin padanya," Andrea menatap Azka dengan serius. "Dia masih terlalu muda untuk memikul beban seberat itu," imbuhnya saat Azka sama sekali tidak menyahut.
"Itu sudah resiko saat kau menjadi satu-satunya penerus keluarga," Azka mencoba untuk menghentikan pembicaraan Andrea.
"Aku pun anak satu-satunya, tapi orangtuaku tidak pernah memaksaku untuk itu," Andrea tak paham dengan kode yang sedari tadi di berikan oleh Azka.
Azka menatap Andrea mencoba mencari tahu kebenaran dari ucapan gadis itu. Dan hingga beberapa detik saling bersitatap, Azka sama sekali tidak menemukan kebohongan.
"Kau tidak percaya padaku? Aku ini anak satu-satunya, tapi kedua orangtuaku tidak pernah memaksaku untuk menuruti keinginan mereka. Kuliah di tempat ini memang permintaan mamaku, tapi yang memutuskan untuk tinggal sendiri adalah kemauanku," Andrea menjelaskan tanpa diminta.
"Kalau kau belum bisa mengurus dirimu sendiri mengapa harus tinggal sendiri?" tanya Azka.
"Aku bosan terus berada di rumah. Tidak ada yang bisa aku ajak berbicara. Orangtuaku sibuk," Andrea termenung. Ia mengingat bagaimana sepinya saat berada di rumah karena kedua orangtuanya sangat sibuk bekerja.
"Apa bedanya dengan kau tinggal sendiri?" tanya Azka. "Ya sudahlah. Asal kau senang saja," tambahnya sembari merapikan piring bekas mereka makan di bantu Andrea.
Andrea mencuci piring sedangkan Azka mengelap meja. Mereka saling diam karena tidak tahu harus memulai dari mana. Ia pun menatap punggung Azka yang kini tengah merapikan meja makan. Ia tidak menyangka jika Azka adalah orang pertama yang tahu bagaimana ia kesepian saat tinggal bersama kedua orangtuanya. Bahkan pada Daren yang selalu menghabiskan hari dengan indah bersamanya saja Andrea tidak bisa menceritakan apa pun. "Aku pulang ya," kata Andrea saat matanya menatap jam dinding di dekat televise. Ia tidak mengira jika hari sudah malam.
"Aku antar," sahut Azka cepat membuat Andrea terkekeh. Pasalnya kamar mereka bersebelahan jadi sangat lucu jika Andrea harus di antar.
Mereka keluar kamar Azka dalam diam. Bahkan sampai di depan kamar Andrea pun belum ada yang memulai pembicaraan. Andrea bahkan merasa ragu untuk memasukkan password karena sebenarnya masih ingin bersama Azka.
"Masuklah," ucapan Azka akhirnya mengusik keterdiaman Andrea. Azka mengikis jarak di antara keduanya dan menyematkan sebuah kecupan hangat di dahi Andrea. "Selamat beristirahat," ucap Azka sembari mengusap saying puncak kepala Andrea. Dan jangan lupakan senyum manisnya yang kini sangat mengusik ketenangan jantung Andrea yang hanya mampu menganggukan kepalanya.