"Aw!" pekik Freya saat Arkan mengobati luka lebam di area wajahnya.
Arkan menghela napas, tangannya masih terulur tanpa memperdulikan teriakan Freya yang selalu membuatnya terkejut.
"Arkan! Pelan-pelan dong!" protesnya.
Arkan berdecak sebal, "Ini gue udah pelan-pelan, Ya. Lo tahan dikit napa."
Freya hanya bisa mendengus.
Perkelahian kemarin membuat Freya dan Arkan babak belur, sama hal 'nya dengan semua para anggota termasuk geng Richo. Baru kali ini Richo membalas setiap tinjuan yang Freya berikan, biasanya Richo selalu menyuruh. Dengan dia yang menggoda Freya hingga balok kayu yang selalu mengenai pundak atau lengan cewek itu.
Apa karena Freya bilang perkelahian untuk terakhir? jadi Richo tidak ingin menyianyiakan kesempatan untuk menghajar Freya?.
Entahlah. Freya hanya berpikir jika perkelahian antara geng 'nya dan Richo sudah selesai walau dendam dalam dirinya belum juga memudar.
"Ya. Lo ngelamun?" Arkan bertanya sambil membereskan obat luka, Freya menoleh di sampingnya, "Gue cuma keinget kak, Devan."
Arkan membalas singkat, "Nanti gue telfon."
"Kak Devan pasti bakal khawatir liat keadaan gue sekarang. Gue gamau dia, cemas."
Arkan mengelus dagunya, "Lo nginep disini buat dua hari gimana?".
Freya berpikir sejenak, "Masalahnya bokap gue, Ar. Lo tau sendiri kalo Papa gue itu harus banget liat gue dulu baru percaya."
Arkan sangat mengerti. Tapi bagaimana dengan luka Freya, pasti Gibran juga akan curiga.
"Kalo gue bilang kak Devan buat ngomong ke bokap lo soal tugas sekolah gimana? pasti bokap lo bakal percaya 'kan?" usulnya.
Freya memicing, "Semoga aja bokap percaya deh, gue gamau sampe masuk sekolah asrama, Ar!".
Arkan tersenyum miring, "Gue juga gamau lo pindah sekolah asrama kali, Ya."
Freya beruntung mempunyai sahabat seperti Arkan. Karena Arkan yang selalu ada di sampingnya, selalu ada dalam keadaan terpuruk sekalipun. Arkan yang akan terus berusaha membuat Freya merasa nyaman kembali. Arkan akan menenangkan jika Freya merasa resah, seakan-akan Arkan adalah obat yang bisa membuat Freya hidup.
"Freya lo ada masalah?"
Setiap gelagat Freya yang menurut Arkan tidak terlihat seperti biasanya, pasti dia akan menanyakan langsung. Arkan peka, walau Freya menjawab dengan gelengan saja Arkan mengerti. Cewek itu ingin menenangkan pikirannya sejenak, karena nantinya Freya akan menceritakan semuanya dengan jelas tanpa Arkan bertanya kembali.
***
Jam empat sore Freya keluar dari rumah Arkan, kebetulan Arkan pamit untuk belanja bulanan karena stok makanan juga tinggal beberapa telur saja. Arkan awalnya mengajak Freya untuk ikut, tetapi cewek itu justru menolak karena masih ingin mengistirahatkan seluruh tubuhnya.
Tudung jaketnya menutupi bagian kepala, "Sorry, Arkan..gue boong." gumam Freya saat kaki 'nya sudah melangkah jauh dari pekarangan rumah Arkan.
Diam-diam Freya pergi tanpa mengabari Arkan terlebih dahulu, Freya juga tidak menulis apapun saat masih di rumah tadi. Freya sengaja, karena jika Arkan tahu tujuannya sekarang mau kemana pasti dia akan melarangnya jika pergi sendiri.
Sebelum memasuki area, Freya mengambil napas dalam membuangnya pelan. Dua bucket bunga asli masih terlihat segar dalam genggaman tangannya.
Freya memaksakan untuk tersenyum, kaki 'nya kembali melangkah dengan mantap menuju dua makam yang sejajar.
Dua bucket bunga yang di taruh masing-masing. Freya berjongkok, "Halo, Ma..Rino." ucapnya sendu, kepalanya menunduk sedikit.
"Apa kabar?" Freya berucap tegar walau sekarang dia bersusah payah menahan tangis.
"Maaf. Freya datang kesini dengan wajah yang tidak enak di pandang." Hati Freya sakit mengingat disaat dia dan Richo berkelahi.
"Rino jaga Mama aku, ya. Mama juga jaga Rino." Freya terduduk di tanah, air sudah membendung di pelupuk matanya, "Freya disini baik-baik aja kok, kalian gausah khawatir. Arkan juga semakin peduli sama Freya, dia selalu nolongin Freya."
Freya terisak. Semakin dia menahan tangisnya semakin hancur juga hati kecilnya.
"Hidup Freya hancur, Ma. Disaat Mama dan Rino ninggalin Freya buat selamanya disaat itu juga Freya takut!"
Kedua tangannya memeluk lututnya erat, tubuh Freya mulai tremor.
"Freya takut. Freya takut kehilangan lagi seseorang yang Freya sayang! kenapa tuhan ga ambil nyawa Freya aja, jangan Mama atau Rino!" raung Freya yang semakin menjadi.
Bagi Freya kebahagiaannya adalah selalu bersama Ibunya, Freya tidak pernah sekalipun terpisah oleh Ibu yang melahirkannya. Ibunya yang selalu mengerti, selalu membuatnya menjadi putri yang sangat di cintai, mendukung apapun yang Freya lakukan asalkan hal yang berguna untuk sekarang dan masa mendatang.
"Freya. Suatu saat nanti, kamu akan menjadi putri yang sangat di cintai oleh dunia."
Freya selalu mengingatnya, dia tidak pernah melupakan setiap ucapan Ibunya secuil pun bahkan sampai hal terkecil.
"Maafin Freya, Ma. Kenapa sampai saat ini Freya belum bisa menerima semuanya dengan lapang dada!".
Freya itu gadis cengeng, namun dia tidak pernah sekalipun memperlihatkannya ke semua orang apalagi temannya. Freya gadis yang lemah, dia selalu merasa sakit di saat dirinya sedang sendiri tanpa sepengetahuan Arkan, Devan dan tentunya Gibran–Papa 'nya.
Seseorang menyodorkan sapu tangan tepat di depan pandangan Freya.
"Cantik kok nangis." ucapannya sedikit mengejek.
Freya melirik lalu mendongak, "Marvin." tangannya segera mengusap pipinya kasar.
Cowok itu tersenyum tipis, "Maaf. Aku ganggu. Tapi aku kesini denger ada orang yang menangis, aku pikir itu bukan tangisan kamu."
Freya masih menepis air mata di sudut matanya, "Maksudnya? gue setan gitu?"
Marvin tertawa kecil menanggapi.
"Ih, malah ketawa gada yang lucu." kesal Freya.
Kali ini cowok tinggi itu menatap Freya serius, "Kamu lucu." ucapnya.
Freya berkedip.
Apa Marvin sedang menggodanya? pikir Freya.
"Apaansi, orang nangis kok di bilang lucu." Freya cemberut membuat Marvin gemas melihatnya.
Marvin terkekeh, "Yaudah iya maaf, tadi aku becanda." ucapnya.
"Oh iya. Kok, lo ada disini?" tanya Freya merasa bingung.
Marvin menunduk sebentar lalu menatap Freya sedih, "Jenguk kakak." singkatnya.
Freya menautkan alis bingung, belum mengerti arti ucapan cowok di depannya itu.
"Ngobrolnya jangan disini." kata Marvin pelan, Freya mengangguk mengerti. Mereka berdua akhirnya pergi menjauh dari area pemakaman.
Kebetulan ada tempat duduk kosong di sekitaran taman, mereka berdua menghampiri bangku taman tersebut.
"Setiap sore, aku pasti selalu jenguk kakak perempuanku." baru saja duduk, Marvin menjelaskan tanpa Freya bertanya lagi maksud keberadaan cowok itu di tempat tadi.
"Maksudnya..kakak lo, udah meninggal?" Freya bertanya hati-hati, takut menyinggung perasaan cowok di sampingnnya duduk.
Marvin mengangguk lemas, "Dia adalah kakak perempuan terhebat. Aku sangat syok mendengar kabar kakak 'ku meninggal saat aku masih di sekolah." Marvin bercerita tanpa ragu, padahal cowok itu baru saja mengenal orang. Yang orang itu sendiri adalah rival si temannya–Richo.
"Eum..karena apa?" Freya mulai tertarik mendengar curahan cowok itu.
Marvin menatap ke atas, melihat langit yang menurutnya akan turun hujan, "Bunuh diri."
Freya menatap Marvin sedih.
Ternyata bukan hanya dia yang di tinggalkan oleh orang tersayangnnya. Freya mengerti, ini semua bukan keinginan sendiri. Tapi ... takdir.
Takdir dari tuhan yang tidak akan pernah manusia kehendaki. Tuhan yang sudah mengatur semuanya, segalanya. Manusia bisa apa jika tuhan sudah berkehendak? manusia hanya cukup bersyukur dan mendekat ke Pada–nya, Tapi? manusia hanya mementingkan ego. Ego yang sudah merasuki tubuhnya, Ego yang selalu membuat manusia seperti orang bodoh.
Freya juga sadar, bahwa dirinya sedang di landa dengan ego. Tapi Freya juga masih belum menerima semua apa yang sudah terjadi.