Chereads / Troublemaker Girl / Chapter 31 - MENGAKUI KESALAHANNYA

Chapter 31 - MENGAKUI KESALAHANNYA

Freya berusaha untuk tidak emosi, ternyata memang Nayla yang sudah mengetahui. Tentunya selain Arkan. Ngomong-ngomong soal Arkan, apa cowok itu juga nantinya akan berterus terang soal hubungannya dengan sang rival? Freya tidak bisa menyanggah lagi. Bagaimanapun juga rahasia yang di tutupi akan terbongkar di waktu yang tidak di kirakan.

Cewek itu menatap serius, "Nayla, apa yang lo tau lagi selain itu?"

Nayla tampak berpikir, dia menggeleng dua kali. "Itu aja dari temen di kelas. Mereka hampir tiap hari ngomongin kisah cinta lo." akunya.

Freya sampai tak habis pikir. Semuanya penuh dengan gosipnya dengan Richo, si cowok keparat itu.

"Apa..cowok yang kemarin itu namanya, Richo?" tanya Nayla hati-hati, dia sebenarnya takut menyinggung perasaan Freya.

"Iya." Cewek itu tidak menyanggah, "dia Richo."

Nayla terbelalak, "Jadi, dia pacar lo?"

>>>>>>

Trian mengaduk mie ayam punya Freya, cowok itu tidak keberatan sama sekali dengan niatnya, padahal Freya tidak menyuruhnya.

"Silahkan kapten." ucapnya menyodorkan mangkuk itu.

"Di traktir aja baik." sahut Galen di sebelahnya.

Milano menambahkan, "Biasa. Pencitraan di depan, Nayla." timpalnya.

Freya acuh, dia lebih memilih untuk makan mie ayam itu karena perutnya sudah terasa perih.

"Kalo mau lakuin sesuatu itu harus tulus, ngapain kalo buat di puji." celetuk Nayla di samping Freya, cewek itu berdecih.

Trian membela diri. "Ini juga tulus kok, cantik.. gue setia jadi anak bawang."

Galen menahan tawa, sama halnya dengan Milano.

"Selama ini lo bukan anak emak bapak lo, ya?" cibir Galen.

Trian menatap malas, dia menepuk tangan Galen kencang. "Maksudnya sebagai anak buah yang setia dan nurut sama bos 'nya. Udah ah laper gue." ucap Trian kesal.

"Guntur, pulang sekolah lo langsung pulang atau ada acara lain?" tanya Galen di sela-sela makannya.

Guntur semakin pendiam saja.

"Gue langsung pulang."

"Yaela, tadinya gue mau ngajak lo buat ke toko kue." desahnya.

"Mau gue temenin?" tawar Freya.

Galen melotot, apalagi Milano. Dua cowok itu terlalu terkejut mendengar tawaran dari si ketuanya sendiri.

"Ya, lo serius?" tanya Galen yang tak percaya.

Cewek itu mengangguk dua kali. "Tapi jangan lama-lama, gue ada banyak urusan."

"Len, mending gue aja yang antar lo..jangan, Freya." sambar Milano cepat.

"Lah emang kenapa, No?" Trian menyahut, dia menyeruput kuah bakso.

"Hah, e-engga si, ga apa-apa." gagapnya.

Galen tahu. Milano pasti tidak suka, lagipula dia menyukai Freya tanpa teman yang lain diberitahu, wajar pasti dia cemburu.

"Kalo Milano yang antar, ga apa-apa juga." ujar Freya acuh.

Cowok yang di sebut namanya itu tersenyum kemenangan, dia tidak ingin Galen mencuri waktu dengan cewek yang di sukainya.

Galen mendengus, padahal dia sudah senang di dalam hati.

Kapan lagi jalan berdua bareng Freya?

Trian melihat seseorang yang baru saja masuk kedalam kantin, mie bakso yang sudah setengahnya di mulutnya segera di seruput tak sabar.

"Ya, Ya, Freya."

Cewek itu hanya berdeham menjawabnya.

"Lo kenapa?" tanya Nayla melihat gelagat Trian yang seperti ada sesuatu.

Jari telunjuknya mengapung sambil melihat ke arah belakangnya. "Lo semua liat! Bisa-bisanya kelakuan dia gitu."

Semua atensinya tertuju pada pasangan yang terlihat sedang memesan makanannya.

"Apa yang bakal lo lakuin, Ya?" tanya Trian menatap cewek itu penuh harap.

Freya mengelap bibirnya dengan tisu, dia menjawab. "Ini bukan urusan gue. Justru malah bagus kalo dia deket sama cewek."

"Tapi, dia tiba-tiba aja jauhin kita hanya karena punya cewek itu, Ya. Dia pikir selama ini kita apa? Mainan? Yang udah bosen terus di bairin gitu aja atau di buang setelah merasa ga bisa di gunain lagi." pungkas Milano yang juga ikut kesal.

"Kalau dia menjauh sendiri, kenapa kita yang repot?"

Nayla menoleh ke belakang lagi, dia tidak pernah melihat sosok perempuan itu.

"Dia siapa?"

"Pacarnya lah. Biasa, kalo udah punya cewek temen aja kaga di anggap lagi." sungut Trian yang merasa sangat kesal.

"Abisin aja semua makanan lo, gue bayar dulu."

Semua menghela napas gusar, Freya mau meloloskan Arkan begitu saja karena cowok itu masih di anggap teman, kah?

"Freya." Arkan memanggil, Freya menoleh.

Cowok itu diam sebentar, tangannya bergerak untuk menggenggam. "Gue minta maaf." Freya menatap datar, cewek itu menunggu lanjutan Arkan. "Freya, tadi pagi gue kebawa perasaan. Ga bermaksud buat bentak lo."

Freya mengangguk paham. "Ga apa-apa."

"Arkan." Celesse menepis tangan Arkan, buat cowok itu mendengus.

Mengganggu saja.

"Aku udah ga laper, kita ke kelas aja, yuk." ajaknya memeluk lengan Arkan dan melangkah pergi dari sana.

Freya tertegun. Arkan bisa jadi pengecut juga, ya? Dengan gampangnya dia luluh oleh orang yang sudah jelas pernah menyakiti hatinya.

Nayla melihat kepergian dua sejoli itu, dia menatap Freya iba. "Freya, lo ga kenapa-kenapa, kan?" risaunya.

Freya melirik, dia tersenyum tipis. "Emangnya gue harus kenapa?"

Nayla salah besar.

Freya justru baik-baik saja. Malahan dia senang, Arkan sudah mengakui kesalahannya. Semua itu sudah cukup untuk Freya, maaf dari Arkan pasti akan Freya terima dengan senang hati. Cewek itu juga tidak bisa berlama-lama untuk marah pada teman dekatnya itu.

Arkan hidup sendiri, orangtuanya menetap di luar negeri tanpa peduli. Walau setiap bulan dia mendapatkan uang jajan, tapi Arkan juga masih butuh perhatian. Dia ingin merasakan kasih sayang yang banyak dari orangtuanya, sejak kecil Arkan hanya di sayangi oleh kakek dan neneknya saja. Orangtuanya memang sangat gila kerja, mereka selalu saja lembur tanpa ada waktu sedikitpun untuk Arkan kecil. Tapi, kebanyakan anak akan membenci karena itu. Arkan tidak pernah benci, dia hanya kecewa pada dirinya. Mungkin dia terlalu bandel sampai orangtuanya juga tidak ingin dekat walaupun sejengkal.

Arkan selalu berprasangka jika dialah penyebab orangtuanya menggilai kerja, karena saat kecil Arkan selalu saja meminta mainan yang harganya lumayan juga. Oleh sebab itu sekarang dia menyesal. Kenapa dulu sangat boros membeli mainan. Memang, anak kecil semuanya pasti sering membeli mainan, menggilai mainan yang kekinian atau keluaran terbaru. Arkan bahkan selalu membeli saat barang itu baru saja keluar langsung dari pabriknya, hingga saat dia berusia lima tahun mainan itu sudah memenuhi gudang di rumahnya. Sampai sekarang 'pun dia masih menyimpannya, bahkan masih ada dalam kriteria favoritnya yang di simpan di nakas kamarnya.

Sengaja tak di buang, karena itu untuk kenang-kenangannya saat orangtua Arkan dengan senangnya membelikan barang-barang itu.

Wajah orangtuanya yang selalu terbayang, Arkan selalu merindukan. Sudah sejak nenek dan kakeknya meninggal Arkan hidup mandiri, bahkan orangtuanya dengan tega meninggalkan tanpa rasa penyesalan sedikitpun.