Freya mengacak rambutnya prustasi, dia terisak sendu, kepalanya mendadak sakit luar biasa. Cewek itu terduduk lemah di salah satu gedung yang sudah tak terpakai. Sebenarnya Freya ketakutan, dia juga kebingungan harus berbuat apa.
Seluruh tubuhnya kesakitan, Freya mendadak tidak bisa berpikir. Ponselnya terus berbunyi menandakan ada panggilan dan pesan yang masuk disana, namun Freya tidak peduli dia sama sekali tidak berselera untuk menatap ponselnya sekalipun.
Bahu Freya bergetar tanda tangissannya belum mereda.
"Kenapa.." Freya bergumam dengan suara bergetar.
Hari semakin larut, tetapi Freya sama sekali tidak berniat untuk pergi dari tempatnya saat ini.
Arkan kehilangan jejak saat dia diam-diam mengikuti Freya dari rumah cewek itu, Arkan menyumpah serapah saat dirinya terjebak oleh lampu merah di pertengahan jalan, membuatnya kehilangan jejak Freya yang entah berbelok ke arah mana saat Arkan menemui dua jalur jalan.
"Sial." umpatan terus Arkan lontarkan.
Cowok itu mendesis berkali-kali, dia sungguh kebingungan. Pada akhirnya Arkan mencoba untuk menghubungi Freya, namun tidak di angkat sama sekali oleh Freya bahkan Arkan bertanya keberadaan Freya lewat pesan pun tidak ada tanda-tanda akan di balas oleh teman ceweknya itu.
Arkan prustasi, dia tidak bisa memikirkan cara lagi untuk mengetahui Freya berada.
Arkan menggigit bibir bawahnya kuat, memikirkan cara lain. Dia menyesal karena tidak memasang GPS di motor cewek itu, lewat dari ponselnya Arkan tidak bisa melacak karena Freya tidak mengaktifkan GPS di ponselnya. Kepalanya mendadak pening, bagaimana jika Freya habis di tangan Richo? mengetahui sifat picik dari cowok itu membuat Arkan semakin gelisah memikirkan Freya.
Tak ingin membuang waktu Arkan melajukan motor gedenya dengan kecepatan lumayan, dia harus menemui seseorang yang sekarang telah menjadi rivalnya.
Richo tersenyum bahagia dia mengajak temannya, Vano dan Javiero untuk ke basecamp tempatnya nongkrong.
"Bos, tumben ngajak ke basecamp malem gini." ujar Vano yang heran.
Jav mengangguk setuju, "Hooh, terus cuma kita berdua lagi yang di ajak." timpalnya.
Richo sama sekali tidak memudarkan seyumannya dia berkata, "Karena cuma lo berdua yang gue percaya."
Jav terlihat menyungging,"Btw, lo kayaknya seneng banget. Daritadi gue perhatiin senyum terus."
"Pasti ada apa-apanya nih, makanya lo nyuruh kita berdua kesini." Vano menatap Richo curiga, tidak biasanya wajah Richo berseri-seri seperti sekarang.
"Right. Tapi yang jelas, besok gue ada kejutan yang bakal buat semua orang..kaget." Vano dan Jav saling melirik penasaran, mereka berdua semakin ingin tahu apa yang akan Richo tunjukan.
Iris Vano melihat beberapa luka di wajah temannya dia bertanya, "Bos, lo abis berantem?"
"Bukanya hal biasa buat lo semua, kalo wajah gue luka tiap hari." Richo tidak menyanggah, dia tetap bangga pada dirinya. Karena Richo tidak pernah menyesal atas tindakan yang dia buat sendiri.
"Iya juga, si." Jav dan Vano mengedikkan bahu. Yang mereka kenal, Richo memang cowok berandal yang terus berbuat ulah, entah itu di lingkungan sekolah maupun di luar. Tetapi Jav dan Vano tahu akan satu hal, Richo tidak pernah terluka parah saat dia berantem dengan orang lain kecuali terluka parah saat dia adu jotos dengan Freya.
Ah mereka lupa, bukan hanya itu. Jav dan Vano tahu akan satu hal lagi yang paling penting, Richo senang saat dia menyakiti Freya.
***
Freya lagi-lagi harus menutupi semua luka lebam itu dengan faundation, bisa gawat jika luka itu di ketahui oleh Devan apalagi Papa nya---Gibran. Freya belum siap jka harus di tendang dari rumahnya.
Dia mengehela napas berat, harinya ke depan pasti akan terlihat berantakan walau mungkin luka di wajahnya tidak akan terukir lagi. Freya mengeluh dia masih setia duduk di depan meja riasnya, hari ini dia malas untuk berangkat ke sekolah.
"Freya." Devan menyembulkan kepalanya, melihat Freya yang terlihat tidak semangat dia berjalan menghampiri.
"Loh, kok masih duduk aja..kamu sudah rapi ternyata, Kakak pikir masih tidur." imbuhnya, Freya tidak berniat membalas ucapan Devan dia masih bergeming.
"Dek, kamu ada masalah?" seakan peramal Devan menebak raut wajah adiknya sekarang.
Freya menggeleng lemas, "Ga ada kok, aku cuma males sekolah aja."
Dahi Devan mengerut, "Biasanya kamu paling semangat kalo berangkat sekolah, ini tiba-tiba jadi pemalas gini..gimana ceritanya?"
Freya terlihat senyum tak selera dia berimbuh, "Engga tau juga."
"Yaudah Kakak anterin kamu biar semangat, ya."
Freya merapatkan kembali bibirnya saat akan menolak ajakkan Devan karena Gibran lebih dulu berkata, "Biar Papa saja yang mengantarkan Freya."
Freya berusaha berjalan tegak, dia tidak ingin di tanyakan lagi oleh sang Papa kenapa terlihat lesu, cukup Devan yang mengertikan dirinya yang sekarang.
Arkan sudah setia menunggu kedatangan Freya menuju sekolah, dia duduk di bangku Freya sejak 15 menit lalu. Sesekali melirik jam tangannya yang terus berjala cepat, Arkan benar-benar khawatir. Trian yang baru saja datang menyapa, "Weh bro!"
Arkan tesenyum tipis sebagai jawaban, Trian menghampiri. "Lo keliatan ga semangat gitu, kenapa?"
"Ga ada apa-apa, emangnya gue kenapa?"
Trian geram, "Lo kalo di tanya suka balikin pertannyaan, ya..kesel gue."
Arkan terkekeh, Trian kalau ngambek seperti anak perawan. Dia cemberut karena Arkan memang tidak pernah terbuka, berbeda dengan Freya. Ngomong-ngomong soal Freya, Trian menengok kanan-kiri mencari sosok cewek itu yang tidak terlihat.
"Btw, Freya tumben jam segini belum dateng. Kalian ga bareng?"
Arkan bingung harus menjawab apa, dirinya pun tidak tahu kabar Freya saat kejadian kemarin. Freya tidak memegang poselnya setelah dia berniat pulang ke rumahnya, Freya melempar ponselnya ke sembarang arah dan dia segera membersihkan diri lalu tidur lebih awal.
Jam istirahat Freya di lemparkan berbagai pertanya oleh Arkan dan temannya yang lain, namun Freya bingung harus jujur atau dia berbohong lagi.
"Ya, ayok lah lo jujur ke gue sama yang lain. Lo kemarin kemana?"
Freya masih mengunyah mie instannya tidak begitu memedulikan, "Ga liat gue lagi makan? ga harus jujur, karena gue selalu ada di rumah kecuali ada keperluan." Freya mendadak tak berselera makan, cewek itu meminum jus jeruk yang terlihat menyegarkan tenggorokan.
Temannya saling melirik, Freya jika sudah berkata ketus pasti dia tidak ingin di ketahui apa masalahnya. Walaupun dengan senang hati mereka akan membantu.
"Lo yakin, ya?" Arkan berucap pelan, meyakinkan kembali.
Freya mengangguk cepat, dia pergi tanpa pamit setelah membayar.
Guntur menatap Arkan yang diam sikutnya menyenggol lengan Arkan yang di tumpu di atas meja. "Lo berdua berantem, ya?" tuduhnya.
"Enak aja, kita ga pernah berantem." Arkan menyanggah, semua temannya hanya bisa melirik satu sama lain, tidak lagi memikirkan dan lebih memilih mengisi perutnya yang berbunyi minta di isi.
Freya menghembuskan napasnya kasar, barau pertama kali dia menginjakkan kakinya di sekolahan rival sendiri.
"Kalo bukan gue kalah taruhan kemarin, gue ga akan sudi nginjakin kaki suci gue ke tempat ini." Freya mendesis, sepertinya besok Freya harus lebih berlatih menguasai jurus baru dari karate yang sudah lama di pelajarinya.
"Hey, baby..udah nunggu lama?" suara yang tidak ingin Freya dengar di telinganya itu muncul dengan sendirinya--Freya benci.
"Baby?"
Freya melongo, Marvin berjalan di belakang Richo.
"Apa maksudnya?" wajah Marvin pucat pasi, dia meminta jawaban jelas dari mulut Richo. Apa kejutan untuknya itu Freya? sebelum bel berbunyi Richo berkata dia mempunyai kejutan untuknya dan saat Marvin melihat seorang gadis di luar pagar sekolah yang menjulang Marvin terkejut bukan main, apalagi saat indra pendengarannya itu menangkap jelas lontaran dari Richo.
"Kenapa?" Marvin merangkul Freya mesra tepat di depan semua murid SMA SATU NUSA yang berlalu karena waktu pulang sekolah, Freya hanya bisa pasrah dia bergeming menatap ke arah lain.
"Lo ga terima?" Richo tersenyum smirk, Marvin melirik Freya sendu. Bagaimana bisa Freya menjadi kekasih Richo sedangkan hatinya tidak memilih cowok itu?
Marvin menghela napas, tangannya terulur tepat di depan pasangan yang baru saja membuat Marvin sendiri syok. "Selamat."
Freya mencolos, hatinnya kenapa mendadak sakit saat Marvin berucap seperti itu.
"Thanks." Richo tersenyum, membalas uluran tangan itu lalu Marvin segera pamit dan pergi dengan motornya.
Freya tidak tahu perasaan apa yang sedang dia rasakan. Yang sekarang di rasakan hanya malu, sangat malu karena kekakalahannya terhadap Richo. Penyesalan memang selalu di akhir, Freya menyerapahi saat dia bersedia dengan tantangan konyol itu.
Nasib. Nasi sudah jadi bubur.
Freya tidak akan menyerah, dia harus merencanakan sesuatu.